Pemuda berumur 175 tahun itu hanya terdiam di kamarnya yang megah. Sesekali tangannya mengeetuk-ngetuk pinggiran meja tulis, mencoba mencoret-coret sesuatu di permukaan meja dengan pena tinta merah. Ia tidak punya ide, dan menyerah. Diliriknya sekeliling. Sekarang, kamar ini lebih mirip penjara.
Nuansa merah dan ungu—warna kesukaan ayahnya—mendominasi kamar ini dengan cantiknya dengan tempat tidur dan meja tulis berwarna merah gelap, serta pernak-pernik mungil berwarna ungu elegan. Dindingnya dilapisi kertas merah mengilap, dan lantainya dibuat dari keramik termahal. Sebuah lukisan janggal—menggambarkan sosok wanita berambut hitam lurus dan mata sekelam batu akik, dengan panah tertancap di kepalanya—menggantung di atas meja tulisnya. Ayahnya sangat suka hal-hal yang aneh, artistik, dan menarik perhatian. Ayahnyalah yang melarangnya melakukan ini-itu. Ayahnya juga yang telah membanjirinya dengan segala macam fasilitas mewah, dengan harapan agar putranya berhenti bertanya yang tidak-tidak.
Sepenting apa aku di mata Tou-sama? pikir pemuda itu setiap saat, dengan hati jengkel. Ibu saja tidak tahu di mana, Tou-sama tidak pernah menikah, dan aku disuruh diam di istana tolol ini, beserta pelayan-pelayan tolol dan kaca-kaca patri di dinding yang juga tolol.
Ayahnya melarang keras putranya agar melihat cermin. Dari bayi sampai remaja, pemuda itu tidak mengetahui satupun ciri khas wajahnya. Ia hanya tahu rambutnya—karena pemuda itu bisa menarik salah satu ujungnya ke hadapan mata. Panjang, selalu dikuncir, dan berwarna hitam... atau setidaknya itulah yang dilihatnya. Ia tidak boleh melihat pantulan dirinya sendiri di air, atau benda-benda lain seperti cangkir marmer licin dan sendok emas. Dan sekarang, ayahnya tidak perlu khawatir lagi.
Ayahnya, sang Raja, telah membuatnya tak kasat mata.
♠ ♣ ♥ ♦
Denki, di depan jendela kamar tidurnya, termenung. Darahnya mendidih dan dadanya seolah terhimpit sesuatu—gusar, geram, serta perasaan terjebak yang sangat dibencinya. Jendela itu menyuguhkan pemandangan di luar istana. Semak-semak mawar mengelilingi sekeliling bangunan istana dengan susunan teratur—mirip labirin—dengan bunga-bunga abadi yang tidak pernah layu. Sekarang, mawar-mawarnya mengeriput dan tertunduk, berwarna cokelat suram. Sebagian besar mawar tersebut meneteskan darah.
Taman istana digenangi cairan merah yang setiap hari dibersihkan oleh para pelayan, tetapi cairan itu tidak pernah habis—menetes-netes dari bakal bunga, membentuk kolam merah di depan istana. Para pelayan sudah menyerah. Dan Denki dari hari ke hari semakin kesal saja.
Pasukannya gugur satu persatu.
Dan kali ini bukan hanya pasukannya, melainkan pemimpin-pemimpin pasukannya juga.
Satu-satunya penjelasan yang masuk akal mengenai kematian mereka adalah kembalinya para pengendali elemen yang sejati. Dan mereka jelas-jelas bersenjata.
Bersenjata, ya.
Denki tersenyum tipis menyembunyikan kekesalannya. Anak-anak nakal. Akhirnya mereka turun dan “berperang” juga. Para pejuang amatiran.
Jauh di dalam hatinya, pria itu merasa tenang. Ia percaya pada kemampuannya sendiri dan motivasinya “memimpin” Evaliot. Ia jauh lebih baik daripada Hakkou dan Takumi, atau kekuatan seluruh pengendali elemen digabung jadi satu. Ini hasil kerja kerasnya sendiri, bukan? Ia mendambakan kekuasan sebagai raja dan ia berusaha keras mendapatkannya. Pekerja keras selalu mendapat hasil yang memuaskan.
Tidak ada yang menyuruhku ini-itu, mengendalikanku seperti boneka, idiot.
Namun, jauh di sisi hatinya yang lain, ia belum merasa tenang sampai ia mendapatkan kepala keenam pejuang amatiran itu di lapangan eksekusi di halaman belakang istana. Mereka harus mati... atau ia harus membuat pasukan yang lebih kuat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elementbender
FantasySeorang pangeran amnesia, percobaan pembunuhan yang gagal, dunia yang sekarat, dan enam pengendali elemen sinting. ~ Ketika Pangeran Takumi menghilang tanpa jejak di tempat tidurnya, dan pencarian ke sepenjuru Evaliot tidak mebuahkan hasil, para pen...