14: Preparations

2.8K 146 4
                                    

Beberapa bulan kemudian

Hari pernikahan pun tiba. Taman apik di belakang restoran Italia ini disulap menjadi tempat resepsi pernikahan Takashi Naharu dengan pengantinnya, Aya Matsuzaki. Perabotan serba putih dipersiapkan sejak jauh-jauh hari—dengan segala kerepotan di sana-sini, ketika tiga pegawai Miraculous Wedding nyaris meninggalkan checklist barang-barang yang dibutuhkan di apartemen mereka. Yang lainnya sangat mudah. Segalanya berjalan sempurna.

"Berjalan terlalu sempurna," komentar Higina sambil menata bunga-bunga ke setiap vas di atas meja panjang. Meja ini nantinya untuk menaruh makanan-makanan dan cocktail. "Iya, 'kan, Ayumi?" tanyanya pada gadis yang duduk dengan malas di salah satu kursi berbalut kain putih. Gadis itu hanya menghela napas.

Ayumi dan Higina bisa menghadiri acara resepsi meskipun bukan salah satu dari daftar tamu atau apapun. Hanya keberuntungan saja. Higina disuruh mengantarkan sejumlah bunga ke tempat pesta pernikahan, dan ia meminta bantuan salah satu pelayan Nichiyoubi—dengan sepengetahuan teman-temannya yang lain tentunya, dan mereka berdua bertemu Nona Matsuzaki... kemudian mereka diminta ikut menjadi tamu resepsi pernikahannya.

Mungkin Nona Matsuzaki hanya ingin memiliki petugas kebersihan yang bisa menyelinap di antara kerumunan, membersihkan minuman tumpah tanpa harus membuat risih hadirin yang lain karena seragam cleaning service mereka. Salah seorang wanita yang mengklaim sebagai bibi Nona Matsuzaki memberikan mereka masing-masing dua gaun pesta yang lumayan. Tidak terlalu mencolok, tetapi bagus. Asal nanti dikembalikan ke pemiliknya.

"Pada akhirnya kita harus membersihkan tempat ini juga, Higina," jawab Ayumi kalem, sambil memainkan rambut hitamnya. "Meskipun berpakaian... seperti manusia dan lainnya," katanya.

"Hmm," Higina berhenti menata bunga-bunga, kemudian menatap ke sekelilingnya sambil berpikir. "Kalau aku yang mengatur pernikahan ini, warna temanya pasti biru dan hijau, atau...."

"L-lebih bagus putih," komentar Ayumi sambil lalu, ikut memandang sekeliling. Ia agak gugup soal pesta pernikahan nanti. Apakah semuanya akan berjalan baik atau...?

"Di mana Tabitha dan dua pengawalnya?" tanya Higina tiba-tiba. "Bukannya mereka sudah datang?"

***

Ame terpaku di depan cermin.

Hari ini Minggu, tepat pada saat pernikahan kakaknya. Haruskah ia datang? Harus; ia bukan adik durhaka, tentu saja. Tapi benarkah itu Ame? Pemuda berambut teal dan bertuksedo di bayangan cermin itu seperti bukan Ame.

Ya, ia bukan cowok lagi. Bukan lagi anak laki-laki yang selalu bergantung pada kakak perempuannya. Ia sekarang... pemuda. Aneh sekali memikirkannya. Paling tidak tuksedo hitam yang dibelikan Aya beberapa hari lalu cukup buatnya.

Dan soal barang curian itu...

Beritanya tidak ada di televisi, hanya para polisi yang melakukan penyisiran ke sana-ke mari, dan—seperti yang ia duga—menggeledah kediaman Jules. Gadis itulah yang terakhir kali berkunjung ke apartemen Kenta-sensei (hanya untuk meminjam beberapa buku teori dan memberikan tugas makalah) sebelum satu katana dan satu pisau koleksi tersebut lenyap. Namun, polisi tidak membawa Jules lebih jauh karena mereka tidak menemukan barang bukti.

Dan barang bukti yang dicari-cari, ada padanya.

Jules belum menelepon. Sialan kau Julian. Sialan. Segalanya kacau. Katanya, dia akan mengambil kembali senjata-senjata itu hari ini. Kapan? Sebilah katana itu panjang sekali—apa kata Aya nanti kalau Ame muncul di pernikahannya sambil membawa kotak alat pancing?

Namun, pisau penuh ornamen itu lumayan mudah dibawa-bawa. Bilahnya berwarna abu-abu pekat—bisa berkamuflase pada apa saja. Ame bisa menyembunyikannya di saku dalam jas dan tidak ada yang mencurigainya saat resepsi nanti.

Dengan hati-hati, dibukanya peti penyimpanan tersebut dan mengeluarkan sebilah pisau dari dalamnya. Ia menyimpan barang bukti tersebut di saku dalam jasnya—sambil berharap agar hari ini berjalan sempurna.

***

"Coba kita lihat."

Tabitha merebut checklist dari tangan Rira—meringis sedikit ketika kulit mereka bersinggungan—dan mulai menambahkan barang-barang baru ke dalam daftar.

"Kerudung, cek. Make-up, cek. Sarung tangan, cek. Buket... cek. Sepatu, cek," gumamnya. Nona Matsuzaki—atau yang lebih suka dipanggil Aya—ada di sana juga, duduk di pinggir sofa dengan tangan menggenggam lima lembar tisu penuh keringat.

"Kau tidak benar-benar perlu mengecek sepatu, Tabitha," komentar Genma yang duduk di atas meja. Dia tidak tahu bahwa meja di dunia manusia bukan untuk diduduki. "Gaunnya, 'kan, panjang."

Tabitha melotot.

"Aku—aku ingin berterima kasih banyak atas bantuan kalian selama ini," kata Aya terburu-buru. Wanita itu mengenakan gaun pengantin menjuntai dan kalung mungil di lehernya. Secarik kerudung transparan membingkai rambut hitamnya dengan manis. "Tanpa kalian, aku pasti—sangat—kerepotan. Aku... tidak mengerti masalah mengatur acara atau semacamnya," ia tertawa kecil. "Sekali lagi, terima kasih."

"Kami juga... berterima kasih," kata Tabitha sambil mengulas senyum, meskipun ia tidak mengerti untuk apa ia berterima kasih. "Banyak juga yang membantu, kok. Aya-san jangan menangis—nanti riasannya luntur!" celetuk gadis itu panik.

Aya terbatuk-batuk, tertawa lagi, dan menggeleng.

"Ini berkeringat, Tabitha-san. A-aku gugup sekali!" katanya sambil mendekap tubuh erat-erat. "Pernikahanku... Rasanya akan pingsan."

"Aya-san jangan pingsan—nanti acaranya bubar!" gadis itu panik lagi. Tatapannya beralih pada Genma dan Rira. "Cari Tuan Naharu. Semuanya harus sudah sempurna," perintahnya.

"Oh, sekarang kami benar-benar seperti pengawalmu, hah?" gerutu Genma sambil menggaruk puncak kepala Tabitha keras-keras. Gadis itu meringis. "Ayo, Rira. Turuti permintaan sang putri." Diliriknya Rira yang masih berkutat pada segala surat-surat bertanda tangan.

Setidaknya Tabitha masih mengingat asas kesempurnaan Higina.

ElementbenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang