"Apa-apaan kau, Bajingan?! Ingat ya, kita tidak ada apa-apa lagi sekarang. Kenapa—AARGH! Dasar menjijikkan!"
"Kau tidak ingin bertanya kenapa aku berpenampilan seperti ini, hah? Sayang?"
"Lepas! Orang sinting!"
"Akui saja kalau kau kalah cantik dariku."
"Tapi, 'kan, kau laki-lak—"
Tangan bercakar Grey Froth dengan cekatan membekap mulut Flakea erat-erat. Wanita itu melotot dan menampar-namparkan ekornya ke kaki—mulus—sang pengendali ilusi pengganti dengan membabi-buta, tetapi pria itu tidak peduli. Sang mantan penyihir kini ada di dekapannya... lagi.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Flakea Vivaldis selalu menarik hatinya. Atau setidaknya menarik nafsunya, mengingat bahwa monster seperti Grey Froth bisa dibilang tidak punya hati. Dan apalagi yang lebih menarik selain wanita duyung yang pernah berurusan dengan sihir? Dia bisa memanfaatkan Flakea untuk banyak hal. Pengetahuannya tentang sihir terlarang bisa digunakan untuk "memakmurkan" Lunaver; tubuhnya bisa digunakan untuk hal yang semua pria pasti sudah tahu.
Andaikan saja wanita itu tidak terlalu pembangkang.
Digiringnya bahu Flakea semakin jauh ke dalam gang. Segerombolan pengawal shoreal bergegas mengikuti keduanya, yang tidak dipedulikan Grey Froth. Semilir air mengalir lembut di sekitar mereka. Tempat ini benar-benar sepi.
Flakea telah berhenti meronta-ronta. Dia sudah cukup berpengalaman untuk menyadari bahwa melawannya tidak ada gunanya—atau setidaknya saat pria itu tidak berada dalam wujud aslinya.
"Langsung ke markas, teman-teman. Suruh seseorang ambil hiunya," gumam Grey Froth "lantang". Suaranya selalu terdengar keras betapapun pelannya ia berbicara. "Nah, bunga datura-ku, ada yang ingin kubicarakan padamu. Soal... tahu, lah—proyek kecil kita."
Sekarang Flakea berharap agar suaminya—yang telah meninggal—ada di sini.
***
Tabitha menghela napas pelan-pelan. Arus laut mengitari tubuhnya dengan lembut, seolah menyambut kedatangan sang pengendali air di Lunaver. Digerakkannya air agar mengelilingi tubuh teman-temannya juga, menghangatkan mereka—yang sekaligus membuat Rira menggerenyit kesakitan. Tabitha menoleh ke balik bahunya dan menatap teman-temannya.
"Lebih baik?"
"Terima kasih. Tadi nyaris kehabisan napas," tukas Sakura pendek. Ditepuknya punggung Ayumi dua kali. "Ke mana sekarang?"
Ayumi mendesah. Pemukiman shoreal tampak jelas di depan matanya. Para pria yang berbaris ke arah pertambangan, para wanita yang sibuk menenangkan anak mereka dan shoreal-shoreal kecil yang menangis karena belum makan siang. Lima tahun lalu, setiap Ayumi menyambangi daerah pinggiran, rakyat akan menyambutnya dengan sumringah. Sekarang, ada yang meliriknya pun tidak.
Higina menyikut-nyikut lengannya. "Hei. Psst. Ada apa?"
"Eh... kita harus menemukan Flakea dulu," kata Ayumi. "Aku sudah berjanji pada Sheila. Kemungkinan ada di menara...."
Sakura mengedikkan bahu. "Kalau begitu tunggu apa lagi?"
"TUNGGU DULU!"
Sakura, Ayumi, Higina, Tabitha, Takumi, dan Rira berhenti bergerak. Metsuki nyaris melompat dari pelukan tuannya.
"Bisa beli makanan dulu, 'kan?" Genma cengengesan, melingkarkan lengannya di bahu Tabitha dan Rira dan menariknya agar berdekatan. Dua pengendali itu berjengit kesakitan. "Memangnya perut kalian mau diisi apa, hmm? Air laut dan ganggang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Elementbender
FantasySeorang pangeran amnesia, percobaan pembunuhan yang gagal, dunia yang sekarat, dan enam pengendali elemen sinting. ~ Ketika Pangeran Takumi menghilang tanpa jejak di tempat tidurnya, dan pencarian ke sepenjuru Evaliot tidak mebuahkan hasil, para pen...