1 - Seorang Lelaki

470 72 15
                                    

Saya sering merasa kontradiksi.

Mungkin saya bisa dengan mudah menyesuaikan diri. Mengikuti pembicaraan bisnis yang rumit di kantor. Mengikuti perkembangan tren teknologi terbaru. Atau mengikuti apa yang sedang disukai banyak orang dari segi musik, makanan, dan sebagainya.

Namun sebenarnya, di balik penyesuaian diri di tengah keramaian tersebut, sebenarnya saya merasa kesepian.

Sebenarnya apa yang saya cari? Saya sendiri tidak tahu. Saya tidak mengerti.

Saya sudah memiliki segala hal yang pria lain inginkan, status sosial, kekayaan, bahkan calon istri yang baik dan rupawan. Sejak kecil saya sudah dilatih untuk menjadi sempurna dalam segala hal, untuk bisa menggapai segala hal yang sempurna.

Namun mengapa di balik kesempurnaan itu, tetap saja ada rasa yang kurang?

Suatu malam, setelah penat bekerja seharian penuh, saya mengendarai mobil tanpa tujuan yang jelas. Saya membiarkan jendela mobil terbuka separuh, membiarkan asap dari rokok yang kusesap keluar jendela. Berharap dengan begini, waktu berjalan dengan cepat. Karena bagi saya, waktu selalu saja berlalu dengan lambat.

Sesudah lelah menyetir, saya berhenti pada sebuah restoran junk food di tepi jalan. Saya masuk ke dalam dengan perasaan linglung, memesan seporsi besar burger dan kentang goreng, serta segelas coke. Saya membawa semua pesanan saya ke lantai atas, di mana didesain terbuka sehingga siapapun bisa merokok dengan leluasa di sana.

Saya berniat merokok nanti. Yang terpenting menghabiskan makanan ini dulu.

Dan ketika kali kedua mengigit burger yang saya pesan, seorang gadis seenaknya saja duduk di depan saya.

"Hei!"

"Uh. Maafkan aku," kata gadis itu dengan tatapan memelas. "Aku harus duduk bersamamu selama tiga puluh menit untuk tantangan truth or dare. Teman-temanku ada di sana."

Saya langsung mengernyit dengan ekspresi tidak senang. Siapa sih yang senang dirinya dijadikan bahan truth or dare? Saya pun mengarahkan pandangan mengikuti gadis itu, ke arah ia menunjukkan tempat teman-temannya berada. Saya melihat ada tiga orang di sana, tengah tertawa-tawa dan memandang ke arah kami.

"Pergilah," kata saya dengan nada sarkasme. "Saya tidak ingin bersama siapapun sekarang."

"Tetapi, kalau aku tidak melakukan tantangan mereka, aku bisa-bisa..."

"Apa?" tanya saya, nyaris membentak.

"Aku... dikucilkan oleh mereka," jawabnya pelan, suaranya mencicit seperti tikus. Sepertinya ia segan kepadaku.

Saya tidak mengerti. Mengapa dikucilkan kedengarannya menakutkan sekali? Padahal, dikucilkan berarti dijauhi orang-orang. Kau tinggal mencari orang baru untuk dijadikan teman. Kalau kau ditinggalkan, kau hanya perlu meninggalkannya kembali.

Saya menatap gadis itu. Iris matanya berwarna cokelat gelap, yang jika dilihat sekilas berwarna hitam. Kesan perama saya tentang gadis itu adalah betapa rapuhnya gadis itu.

"Kalau kau dikucilkan oleh mereka, kau tidak perlu berteman dengan mereka."

Gadis itu terlihat memucat, tersentak oleh kata-kata saya. "Kamu tidak tahu betapa sulitnya bagiku untuk berteman dengan mereka. Berteman dengan mereka adalah hal yang baik."

"Kalau sulit, untuk apa melakukannya? Apa hal baik dari itu semua?" tanya saya.

Tidak mengacuhkan dirinya, saya kembali makan burger. Masa bodoh dengannya. Saya bahkan tidak tahu siapa dia, dan ia seenaknya saja muncul di hadapanku.

Seribu Delapan Ratus Detik √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang