3 - Seorang Lelaki dan Gadis

209 60 17
                                    

Sejak malam itu, sang lelaki selalu bertanya-tanya.

Apakah perkataannya sudah benar, atau justru menyesatkan?

Apakah ia bisa bertemu gadis itu lagi?

Dapatkah ia berubah meskipun sudah terlambat?

Ia mulai kembali menata hidupnya yang monoton, menentang segala sesuatu yang terasa kontradiksi dengannya.

Ia berhenti bekerja, melanjutkan studinya ke jenjang S2, berusaha menggapai mimpinya untuk mengajar.

Ia membatalkan tunangannya dengan seorang perempuan, karena yakin dapat bertemu dengan gadis itu lagi.

Mungkin semua itu butuh waktu lebih lama dari seribu delapan ratus detik, tetapi ia merasa bukan masalah besar.

Karena gadis itu berkata, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

*

Seusai malam itu, sang gadis merasa kehidupannya mulai berubah.

Setelah jujur mengungkap rasa, beberapa temannya menjauh. Beberapanya lagi tidak, dan tetap tinggal sekalipun hanya sedikit.

Gadis itu mulai fokus belajar, tidak bermain-main lagi. Ia segera lulus dan kuliah.

Ia ingin bertemu lelaki itu lagi, meskipun kemungkinannya kecil.

Ia ingin berbincang dengan lelaki itu lagi, meskipun hanya sejenak.

Ia ingin lebih mengenal lelaki itu, walaupun usia mereka terpaut cukup jauh.

Ia telah berubah. Tidak lagi menutupi kontradiksinya.

Karena lelaki itu berkata, jangan menjadi seperti saya.

*

Hari itu, matahari bersinar dengan begitu terik.

"Fe, katanya di semester ini ada dosen baru!"

"Sungguh?" Gadis itu menoleh ke arah temannya, sedikit antusias. Sebagai mahasiswi dengan nilai IP terbaik di semester lalu, ia pasti menjadi asisten dosen di semester ini.

"Iya. Hari ini kamu harus ke ruang dosen untuk membantu persiapan kuliah, kan?" ujar temannya lagi. "Gih, sana. Nanti kamu cerita ya, seperti apa dosennya!"

Gadis itu mengangguk. "Oke!"

Lalu gadis itu pun meninggalkan temannya menuju ruang dosen. Ia tidak pernah menyangka jika ia akan bertemu dengan lelaki itu lagi.

"Hai."

Lelaki itu menyapa sang gadis duluan.

"Ha-hai," gadis itu menyapa dengan gugup, karena terlalu terkejut.

Lelaki itu tersenyum, masih dengan bibirnya yang tipis. "Saya sudah menggapai cita-cita saya sekarang. Menjadi guru..., alias dosen."

"Wah. Baguslah." Gadis itu menjawab. Ia tersenyum. "Eh?! Kamu dosen baru?"

"Ya. Kenapa?"

Gadis itu tersenyum, "Perkenalkan, aku Feila. Asisten dosen di semester ini."

"Feila. Nama yang bagus," sahut lelaki itu. "Saya Vano, dan saya memiliki banyak hal yang mau bicarakan denganmu."

Setelah dua tahun berlalu, tidak ada salahnya untuk saling mengenal lebih dekat sekarang.

Bukankah begitu?

*

A/N: Ya, ending-nya sampai sini saja. Silakan memikirkan kisah Vano dan Feila menurut imajinasimu sendiri, hahaha XD

Ehem. Bagaimana menurutmu cerita ini? Agak gaje dan agak berat, ya? Well, meskipun begitu, cerita ini adalah salah satu cerita yang nyaman saat dituliskan. T^T

Okei, okei! Silakan tinggalkan jejak(lagi). Makasih loh sudah berkunjung! Silakan mampir juga ke cerita saya yang lain jika senggang!

Salam,
Himawari Natalia.

Seribu Delapan Ratus Detik √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang