Jani bergelung di atas kasurnya. Dia benci hotel, sebenarnya. Tapi pilihan untuk kembali ke Jogja jauh lebih tidak mungkin. Jani tidak mau menyusahkan pamannya. Seperti janjinya dulu setelah Bapak meninggal, Jani akan berusaha menghidupi dirinya sendiri. Meski paman dan keluarganya tidak pernah keberatan atas kehadiran Jani, tapi Jani selalu merasa bahwa menjadi mandiri adalah pilihan yang jauh lebih tepat. Karena itulah akhirnya Jani memilih untuk berusaha mengejar beasiswa. Bekerja keras membuktikan diri bahwa dia layak mendapat beasiswa S2 yang sangat dia inginkan itu. Dan benar saja, tiga tahun yang lalu dia mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah fotografi di Leiden University, Belanda.
Dua tahun Jani habiskan untuk mendapatkan hasil terbaik, dan setahun terakhir Jani mendapat banyak tawaran kerja sebagai fotografer freelance. Pekerjaan impiannya yang sudah mulai terlihat berjalan mulus akhirnya hancur. Sebuah tragedi terjadi dan terus menghantuinya. Membuat Jani memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Tring..tring..
Bunyi whatsapp di HPnya membuyarkan lamunan, memaksa Jani beranjak dari kasur.
Citra :
have you think about it? Iyain aja dulu. Lo bisa kasih syarat apapun yang menurut lo susah. Bahkan kalau perlu gue siapin kontrak bermaterai. Besok gue kesana jam 7 pagi ya.Jani hanya membalas chat itu dengan icon flatface.
Jani tau tawaran itu aneh. Satu-satunya pekerjaan teraneh yang pernah ditawarkan padanya. Sebagian dirinya setuju dengan apa yang dikatakan Citra di kafe tadi. Tawaran ini bisa membuat Jani mampu membayar sewa apartment paling tidak untuk satu-dua tahun pertama hidupnya di Jakarta. Selebihnya, Jani yakin dia mampu menabung dari hasil memotret. Meski Jani masih punya tabungan yang cukup untuk menetap di hotel selama beberapa waktu, tapi Jani membutuhkan tempat menetap agar dia dapat segera mengirimkan sisa barangnya yang masih ia titipkan di rumah temannya di Belanda. Sebagian dirinya ragu, apa pria bernama Tama yang dibicarakan Citra itu adalah pria baik-baik, karena Jani masih merasakan trauma untuk membuka dirinya berdekatan dengan pria. Meski bukan dalam sebuah hubungan, tapi pekerjaan ini membuat Jani harus tetap bersama Tama selama 30 hari.
Jani menghela napas. Berjalan ke kamar mandi dan membuka bajunya.
Mandi seharusnya bisa membuatku berpikir lebih jernih, pikirnya.
Jani menyalakan keran dan masuk ke bawah pancuran.
Malam itu, Jani tidur dengan gelisah. Suhu kamar selalu terasa salah meski sudah berkali-kali dia bangun untuk mengubahnya. Posisi tidurnya pun terasa tidak nyaman. Jani menyerah, dan akhirnya bangun.
05.10 AM terpampang di layar HPnya. Dua jam lagi Citra akan datang untuk sarapan bersamanya, jika penyakit jam karetnya tidak kambuh. Ada banyak pertanyaan yang akan Jani tanyakan sebelum menyetujui tawaran itu. Jani merapihkan tempat tidur, kemudian menyalakan laptop. Bekerja biasanya dapat mengalihkan Jani dari pikiran yang bercabang. Tapi kali ini, pikiran Jani justru membuatnya tidak mampu berkonsentrasi.
Ting tong... Ting tong... Ting tong...
Bel kamarnya tak henti-henti berbunyi.
Ting tong... Ting tong... Ting tong..
Jani tau tangan jahil siapa yang membunyikan bel kamarnya. Jani bangkit berdiri, membukakan pintu untuk Citra.
"Lama banget sih lo buka pintu aja," ucap Citra.
"Tadinya malah gue mau bukain nanti sore aja," canda Jani. "Lo bawa apaan? Wangi banget."
"Nasi uduk nih bikinan nyokap gue," jawab Citra sambil mengulurkan kotak makanan kepada Jani. "Dapet salam lo dari nyokap gue, katanya lo kapan main ke rumah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lady Escort [TELAH TERBIT]
Romance(((SUDAH TERBIT))) Jani tak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk kembali ke Indonesia justru mendorongnya untuk terjun ke profesi yang tak pernah ia bayangkan. Meski awalnya hendak menolak, namun pesona pria itu justru membuat Jani setuju untuk...