LIMA

4.5K 424 52
                                    

There she is, perempuan anggun terbalut gaun merah yang sedang berjalan ke arahnya itu pasti ibu Tama, Sri Muliya Tjitro. Dengan wajah lonjong khas perempuan jawa yang begitu ayu dan rambut hitam legam yang tersanggul rapih.

"Tama sayang." Ia meraih tubuh putranya dan mencium pipi anaknya seolah anaknya masih kecil. "Lama banget sih kamu ga kesini. Kapan itu ibu ke kantor, tapi kamu lagi keluar."

"Iya Bu, lagi banyak pekerjaan," sahut Tama. "Bu, ini kenalkan Kinanti."

Jani dengan ragu mengulurkan tangannya untuk mencium tangan ibunda Tama, "Cantik. Persis yang digambarkan Putra tadi pagi. Jawamu mana, nduk?"

"Saya lahir dan besar di Jogja, Tante," sahut Jani.

"Ayah Kinanti orang Solo, Ibunya asli Jogja. Mungkin ibu kenal, ibunya Kinanti juga penari di keraton dulunya." Jani terkejut mendengar penjelasan Tama tentang keluarganya, dari mana Tama tahu semua itu. Bahkan Jani tak tahu apa pun tentang keluarga dan kehidupan Tama.

"Oh ya? Siapa nama Ibumu, nduk?"

"Ibu saya Asri Tinur, Tante."

Mata Sri Muliya Tjitro mendadak melotot mendengar nama itu, "MasyaAllah. Kamu Jani, anak Tinur? Pakdemu Aryo yang Abdi Dalem keraton, toh?"

"Betul, Tante." Jani mengangguk ragu.

"MasyaAllah." Sri Muliya Tjitro tiba-tiba memeluk Jani. "Ya ampun, nduk. Selama bertahun-tahun Ibu pikir ndak akan pernah ketemu kamu lagi."

Jani shock menerima pelukan yang begitu mendadak, ia melirik ke arah Tama mengharapkan sedikit pencerahan, tapi Tama hanya mengangkat bahunya, tak memahami histeria sang ibu yang begitu mendadak.

"Coba sini-sini kita duduk di ruang kerja bapak," Sri Muliya Tjitro melepas pelukannya dan menarik tangan Jani menjauh dari orang-orang yang mulai memperhatikan mereka. "Tama tolong ambilkan minum untuk ibu dan Jani, ya."

Mereka memasuki ruang kerja dan Ibu Tama mempersilahkan Jani duduk, "Tinur itu sahabat ibu sejak kecil. Kami sekolah bareng, belajar nari bareng, hingga jadi penari keraton juga bareng. Terakhir ibu ketemu Tinur mungkin kamu masih umur 5 tahun, setelah itu ibu ikut bapaknya Tama pindah ke Jakarta. Lama ibu ga pulang ke Jogja, lalu ibu dengar ibumu meninggal dan kamu sama Mas Wiryo pindah. Ibu berusaha cari kamu dan bapakmu tapi ndak ketemu."

"Iya, setelah ibu meninggal saya dan Bapak pindah ke Bandung, Tante."

Sri Muliya Tjitro membelai wajah Jani, "Panggil ibu saja, jangan tante."

"Injih, Bu." Jani kikuk diperhatikan ibunda Tama sambil berkaca-kaca.

Tama masuk ke dalam ruang kerja dan meletakan dua gelas minuman, "Ada apa sih, Bu? Tadi Putra dan Pandji sampe nanyain kenapa ibu kok histeris."

"Jani ini anak sahabat ibu, Tinur, penari di keraton Jogja." Sahut Sri Muliya Tjitro.

"Maksudnya ibu kenal dengan keluarga Kinanti?"

"Kinanti... Kinanti... kamu ini toh ya. Jani, nama panggilannya. Sama seperti ibunya, mereka lebih suka dipanggil dengan nama belakang, ya toh nduk?" Jani mengangguk sebagai jawaban.

"Saya lebih suka namanya Kinanti. Lebih cocok dengan parasnya yang seperti perempuan jawa." Sahut Tama.

Ibunya tergelak, "Memang kalau jodoh ndak kemana. Dulu waktu kecil, ibu dan Tinur pernah berjanji akan menjodohkan anak-anak kami. Ketika ibu punya 3 putra, dan Tinur melahiran seorang putri cantik, kami berniat menjodohkan Jani dengan salah satu putra ibu. Ibu pikir harapan itu sudah pupus sejak ibu mendengar berita wafatnya Tinur. Tapi cinta justru mempertemukan kalian berdua."

The Lady Escort [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang