Dia terduduk lesu di depan cerminnya. Riasan itu memudar. Berbekas. Luntur. Matanya bercorak hitam. Maskarannya basah, menyebar ke segala arah di wajahnya. Air matanya berubah hitam. Tragic.
Malam itu seperti biasa. Seperti malam-malam sebelumnya. Menyambut. Menghidangkan. Menunjukkan betapa besar arti bima dalam hidupnya. Bima membuatnya bernafas. Bergerak. Berlari. Percaya akan segala hal, bahwa bahagia itu memang ada. Tidak semu apalagi palsu.
Bima melengkapi hidupnya. Mewarnai dengan warna-warna tabrak lari yang menggemparkan tetapi tetap indah. Senyumnya memancarkan kasih. Tutur kata semerdu violin. Peringainya tak terbantahkan.
Rasa sayang itu begitu kuat mengikat. Hingga mencekik tak terkendali. Bima tidak tahan. Membrontak. Kesakitan.
Bima mulai bermain-main di belakangnya. Mengingkari akad yang sudah mengikat. 'dia berlebihan' begitu alasannya. Ia menyadari perubahan bima. Ia tidak bisa bernafas. Bergerak. Berlari. Percaya itu pergi. Bahagia itu tidak ada. Semu. Palsu.
Ia lebih banyak diam. Bima semakin pendiam. Kebersamaan itu tidak ada lagi. Ia tidak peduli. Ia masih sayang, cinta dan butuh bima di sampingnya. Ia masih menyambutnnya di depan pintu saat malam tiba. Ia tidak mau memejamkan matanya untuk selalu melihat bimannya. Tak mau pagi datang terlalu dini agar bima tidak cepat pergi.
Pernah bima tidak kembali selama sepekan. Bima berpaling. Pergi bersama yang lain. Bima tidak menutupi itu darinya. Bima tidak peduli pada keadaannya. Bima tidak berlabuh lagi di sana. Menepi saja tidak. Bima terus berjalan. Bima terus melangkah. Bima tahu dan Ia tahu itu.
Ia kemudian mulai meronta atas keadaan ini. Kelinuan hati yang menggilas pedih rongga dadanya. Tusukkan pedang samurai pun sudah tertancap pas dihatinya.
Kepasrahan tak membuatnya tenang. Hanya bima. Sekarang hanya bima yang ada dipikirannya. Bima yang paling disayang, dicinta, dan dibutuhkan. Ia tidak rela membiarkan bima pergi. Ia rela menebus apapun asal bima bisa di sini bersamanya.
Ia merindukkan bima. Menunggunya pulang hanya untuk mengatakan 'selamat datang bimaku'. Memasakkan daging asap dengan pedas yang sedang. Merendamkan kakinya yang seharian berselimutkan kulit kaku yang pengap. Mendengar bima mengucapkan 'terima kasih istriku' dengan senyum penuh kasihnya. Bergelayut manja. Berbagi isi hati sebelum tidur. Bincang-bincang tentang hewan kecil, impian dan kepedihan.
Hari itu tanggal 24 Agustus. Tanggal perlabuhan hidup mereka disatukan. Bersemikan cinta. Keyakinan. Tulus. Untuk mengais umur mereka hingga senja. Mati dalam satu senyuman kekal.
Malamnya, Ia mempersiapkan segalanya. Rasa cintanya kembali meletup-letup. Menguap panas. Membara. Ia menghidangkan segalanya. Daging asap pedas sedang kesukaannya. Brokoli tepung goreng. Pudding blueberry. Segelas air putih tanpa es.
Semua tertata rapih di meja makan. Dua buah lilin ikut menghangatkan suasana. Bunga turut memberi harumnya. Meja itu dibungkus dengan taplak sutra berwarna putih dengan corak abstrak yang berkelas. Sendok dan garpu berada di sisi piring yang khusus dibeli hanya untuk malam ini. Untuk bima.
Ia tampil special. Menghias wajahnya. Membalut tubuhnya dengan dress berwarna putih gading bermodekan kemben khas jawa. Rambutnya diikat kuda dengan digulung bagian atasnya sehingga terlihat seperti dikonde ke atas. Bibirnya diberi warna merah cabai. Eyeliner membentuk matanya seolah tegas tapi menawan.
Ia melihat cemas ke arah jam. Pukul 19:00 bima belum juga pulang. Kabarpun tak ada darinya. Ia masih menunggu. Sabar. Tenang. 'sebentar lagi juga pulang' begitu hiburnya dalam hati.
Suasan terasa hening. Lilin semakin mengikis. Makanan itu masih terhidang rapih di atas meja. Ia melihat jam lagi. Pukul 20:00 dan bima belum juga pulang. Kali ini wajahnya tidak tenang. Gelisah. Was was. Ia terdiam di meja makan. Di depan lilin, bunga, piring, sendok bahkan garpu. Ia menutup wajahnya. Berbisik 'kamu dimana bima'.