Mavisha

373 5 4
                                    

Aku suka kamarku, semuanya serba putih disini.
Kasurnya besar sekali, kalau Raya dan Gina menginap kami tidur dikasur besar itu dan tidak merasa sempit sama sekali.
Maklum, aku membuat kamarku cukup nyaman karena aku tidak suka pergi keluar.

Di apartment sederhana ini aku tinggal bertiga.
Salah satu penguni lain bernama, Kenny. Dia adalah yang paling berisik diantara kami. Setiap pagi, kami terbagun karena suaranya.
Satu laki-laki tampan lainnya bernama Ginger, kalau malam dia suka menelusup kebalik selimutku.

Hari ini, hari minggu biasanya aku membawa Kenny dan Ginger berjalan-jalan ditaman kota.
Ya, Kenny dan Ginger adalah dua anjing peliharaanku.

Jam 6 pagi, aku sudah tiba ditaman. Taman itu tidak jauh dari apertment, hanya 10menit berjalan kaki.

Oh ya, namaku Mavis. Umurku 27 tahun dan aku adalah seorang Dokter.

"Mav!" Suara yang ku kenal menyapaku dari belakang.

"Eh, Banyu." Sapaku ramah, mataku berbinar - binar.

"Kalau nyapa, liatnya ke muka dong, jangan kesini." Banyu mengangkat kotak yang dari tadi aku pandangi. Kotak yang membuat mataku berbinar - binar.

"Hehe, tau aja loe Nyu. Udah laper gw."

Setiap minggu, Banyu membawakan makanan yang super enak. Jelas saja dia bekerja sebagai koki di restoran bintang 5, Poisedon namanya.

"Mmm, enak banget." Kami duduk dikursi tempat biasa kami sarapan pagi setiap minggu.
Hari ini Banyu membawakanku Ratatouille makanan khas prancis yang super enak.

"Mav, nikah yu." Kata Banyu nyeletuk.

"Ini udah kali keberapa ya loe ngajak gw nikah" jawabku santai

"Hmm, kali ke 68. Gw ngitungin terus kok."

"Wiii, Banyu Biru romantis banget." Ledeku kepada laki - laki yang bukan pacarku.

"Gw ga becanda Mavis, gw ga pernah main - main. Makanya gw inget setiap lamaran ke loe." Jawab banyu dengan wajah yang sedikit cemberut.

Tidak biasanya Banyu seperti ini. Aku dan Banyu pernah pacaran 5 tahun lalu, ketika aku pertama kali pindah ke apartment itu. Kami pacaran cuma sebentar. 6 bulan.

"Yuk nikah." Jawabku nyeletuk, sambil ngunyah sebanyak banyaknya. "Kawin lari." Timpalku lagi. Banyu hanya terdiam.

"Lu, bilang ke Tante Yoshepine. Lu mau ninggalin dia, dan milih nikah ama cewek yang dia ga suka. Terus jangan lupa, bilang kalau lu mau pindah agama ke kristen, setidaknya sampai pemberkatan beres." Banyu menunduk mendengarku berkata seperti itu.

Dia hanya menatap tinggi langit. Seperti kebiasaannya ketika aku membahas perbedaan.
Dia pernah tinggal di Qatar selama 1 tahun, dulu ketika ayahnya masih hidup. Ayahnya turunan Arab dan ibunya turunan Cina. Waktu neneknya sedang sakit banyu sekeluarga pergi ke Qatar, katanya orang disana selalu menatap langit ketika mereka ditanya tentang perbedaan.
Hari ini dia memandang lagi keatas dan tidak berbicara sepatah katapun.

"Tuhan itu satu kan? Kita tetap menyembah Tuhan yang sama walaupun dengan cara berbeda." Bisik banyu sedikit lirih, sambil tetap menatap ke langit.

"Lalu kenapa kita tidak bisa bersama dengan alasan perbedaan. Apasih arti perbedaan itu, sedangkan Tuhan yang kita sembah satu. "

Sekarang aku yang diam dan tidak bersuara. Aku tau ada sesuatu yang aneh dengan Banyu.

"Tring." Tiba - tiba ponsel Banyu berbunyi. Dia bangkit berdiri dan merapikan kotak makanan yang hampir semua isinya masuk keperutku.

"Mau kemana Nyu, baru jam 7 kurang. Lu marah sama gw ya." Tanyaku sedikit takut kalau - kalau Bayu marah.

"Ga marah, gw mau siap - siap kencan." Jawabnya dengan muka yang masam. Aku tahu dia marah.

"Hahah, sama cewek Nyu?" Aku ketawa geli, dengan ucapan Bayu yang seperti lelucon buatku. Selama ini Bayu menikahi kerjaannya setahuku.

Kulihat muka Banyu, alis tebalnya mengkerut diatas matanya yang sipit. Masih dengan mukanya yang masam.
Membuatku berhenti cengengesan.

"Ya, namanya Kirana. Gw suka. Cantik." Setelah ngomong dengan nada datar. Sosok tinggi itu pergi meninggalkanku bersama Kenny dan Ginger yang masih asik lari - lari.

"Kirana..?" Suara dalam hatiku mulai bicara. Bertanya - tanya siapakah gadis itu.
Satuhal yang kusadari, bahwa aku salah bicara tadi. Sejenak aku berpikir.

"Ah tidak juga" pikirku.
Siapa kami sampai - sampai aku salah bicara. Aku bicara hal yang sebenarnya kok.

Aku tidak suka perasaan ini. Tidak ku pungkiri aku mempunyai "rasa memiliki" terhadap Banyu. Mau bagaimanapun kami selalu bersama dalam waktu 6 tahun terakhir. Kami saling ada satu sama lain.
Bahkan 3 tahun lalu ketika aku terserempet motor, aku lebih memilih untuk menghubungi Banyu ketimbang Wikael, pacarku waktu itu.

Banyu, seorang pria bertubuh jangkung kurus. Matanya sipit kulitnya putih, khas orang China. Satu yang aku suka dari wajahnya, dia memiliki lesung pipit dan gingsul. Kami dulu satu universitas difakultas kedokteran UI, sayangnya dia berhenti. Hanya 6 bulan kuliah dan kemudian melipir ke perhotelan Trisakti. Katanya dia lebih suka memotong daging ayam daripada daging manusia. Terbayang wajah Banyu dengan model rambut panjang berponi gaya F4 jaman dulu. Membuatku sedikit tergelitik.

Aku belum tahu rumah Banyu dekat dengan apartmen ku. Hingga suatu ketika setelah dia keluar dari UI tepatnya, aku melihatnya di taman ini. Percis ditempat yang aku duduki saat ini. Dia sedang bermain catur dengan seorang kakek. Semenjak saat itu kami perlahan menjadi sering ketemu dan menjadi dekat.

"Tring." Kini giliran suara ponselku yang berbunyi. Ternyata dari Gina.

"MAVISHA AVARA RETNO" begitu persis teks yang muncul dalam layar HPku.

"Buset, salah apa gw kali ini?" Aku membalasnya seperti itu. Biasa kalau Gina lagi marah dia pasti panggil aku dengan nama panjangku.

"Banyu UDAH jadian sama si perek Kirana. Kemana aja lu, bisa di salip sama cewek macam gitu." Balesnya lagi pakai emotikon wajah emosi.

Gina memang kalau bicara agak kasar. Aku memakluminya, Ia banyak bergaul dengan preman pasar. Beda jauh dengan orang tuanya yang tutur bahasanya lembut. Orang tuanya bekerja sebagai penjual bakso di pasar kopro. Jangan salah, walaupun berprofesi sebagai tukang bakso mereka bisa mengantarkan Gina hingga bangku kuliah kedokteran.

"Kok lu tau Kirana?
Siapa sih dia?
Lagian biasa aja woy.
Banyu bukan siapa-siapa gw jugak!" Tanyaku bertubi - tubi

Gina kembali membalas,
"Kirana Indah kakak kelas kita. Yang kerjanya pake rok mini!! Dan caper bgt klo dikelas"

"Whatttt! Kirana yang ituuu?"
Aku sedikit kaget mengetahuinya.
Ah, masa Banyu beneran jadian sama kakak itu. Kakak itu banyak banget "musuhnya" di kampus, salah satunya Gina.

"Iya yang itu!
Lu mah kadang oon.
Banyu malah lu lepas.. nyari dimana lagi cowok baik kek gitu..
Gw ga mau ya, lu nyingkah ke luar negri.. cepet - cepet aja lu cari penggantinya!" Balasnya terakhir kali, kemudian aku menutup ponselku dan bersiap - siap pulang.

Ah iya, waktuku tinggal 8 bulan lagi. Masa internshipku bakalan selesai disini dan orang tuaku bilang. Habis internship aku disuruh ikut pindah ke Swiss dan mulai mencari kerja disana.

Orang tuaku pindah ke Swiss 5 tahun lalu, bersama kakaku yang paling tua.
Ayahku seorang insinyur dan ibuku seorang dokter. Kakaku seorang insinyur dan aku seorang doktor.

Ibuku bilang, kalau sudah tidak alasan tinggal di Indonesia lebih baik tinggal dekat mereka disana dan bekerja disini mencari pengalaman sebanyak mungkin. Itu berarti tinggal 8 bulan lagi.

Gina dan Raya adalah satu - satunya yang aku beritahu. Kadang sedikit menyesal memberitahu mereka, karena mereka adalah 'Tim pencari alasan'. Dan mereka bilang alasan terampuh adalah, kalau - kalau aku nikah.
Ah, tidak tahulah.. akupun sebenarnya tidak terlalu memikirkan hal itu. Tinggal di Swiss, bukan ide buruk.

WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang