Banyu

168 2 0
                                    

Jatuh cinta dengan orang yang salah itu seperti merokok. Sudah tau salah masih dihisap juga.

Begitulah yang ada dibenakku.
Mavisha cewek cantik berambut halus. Aku suka banget sama wangi rambutnya. Itu hal pertama yang aku sukai.

Dulu ketika aku pertama kali melihatnya, dia pas sekali duduk dikursi depan dari tempatku, dikelas Ilmu Biomedik yang membosankan.
Wangi rambutnya langsung tercium. Bikin aku ngantuk karena harumnya seperti selimutku yang baru dicuci.

"Nunggu lama?"
Tiba - tiba terdengar suara cewek menoel pundaku dari belakang.

"Ga kok ra." Aku menghisap rokokku dalam - dalam untuk yang terakhir kali, supaya kita bisa pindah ke area tidak merokok.

"Ngapain buru - buru. Santai aja dulu abisin rokoknya."
Kirana langsung menduduki kursi didepanku.

Aku makin tidak enak merokok, karena asapnya pasti langsung ke mukanya. Aku mematikan rokokku kemudian kujauhkan asbaknya.

"Ngapain dimatiin."
"Nanti asapnya kena muka kamu lagi." Jawabku.

"No problem. Aku suka ngerokok juga kok."
Bibir merah Kirana tersenyum, tatapannya sangat menggoda.

"Hah" aku bengong mendengar Kirana merokok.
"Iya.." jawabnya lagi, sambil mulai mengambil rokok ditasnya.

"Kamukan jago masak, kapan2 masakin buat aku dong." Katanya lagi, mulutnya mengeluarkan bola - bola asap.

"Boleh, kapan - kapan aku bawain masakanku ya." Balasku singkat.

Aku merasa pertemuan ini agak membosankan.

"Jangan kapan - kapan, sekarang aja gimana di apartment-ku." Tiba - tiba jemarinya menyentuh jemariku.

"Ah, kapan - kapan saja ya Kira. Lagi ga mood masak nih." Alasanku menolak.

Aku kurang nyaman dengan ajakan Kirana. Bukan karena aku mikir yang aneh - aneh, tapi emang mikir aneh sih. Hehe.
Maklum otak cowok, sebagian besar mesum.

Satu jam berlalu. Bergulir sangat membosankan. Kebanyakan kita hanya berbicara tentang hobi dan kesukaan Kirana. Menurutku, ini amat sangat membosankan.

Beda yang terjadi kalau aku lagi bersama Mavisha. Waktu terasa sangat cepat.
Ah, tentu. Aku cinta dia.
Aku bisa memperhatikan wajahnya yang sedang tertidur berjam - jam.

Seketika aku merasa menyesal meng-iya-kan saran Boy untuk mendekati Kirana.

"Lu kan agak pendiem, nah cocok tuh Kirana." Terngiang kembali suara cempreng Boy diingatanku.

Setelah aku bertahan ditempat itu setengah jam lagi, akhirnya aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Untung saja dia menolak karena ada janji lain, kalau tidak aku harus bertahan lagi ditengah pembicaraan yang membosankan.

Jam masih menunjukan pukul 10, Mavisha masih dirumah pasti. Hari minggu dia kerumah sakit jam 14. Aku mau mampir ke apartmennya. Agak malas pulang kerumah, lagi banyak sodara dari ibuku datang berkunjung.

"Bip. Bip. Bip. Bip." Langsung ku masukkan kunci pintu 4 digit angka. Pintu itu langsung terbuka.

Rumah Mavis sudah seperti rumahku yang kedua.

Seperti biasa, Mavis sedang duduk di sofa birunya membaca buku kedokteran yang super membosankan.

"Kebiasaan Nyu, main masuk rumah orang." Cewek bermata belo itu sedikit protes. Formalitas saja. Sebenernya dia ga peduli aku mau masuk kapanpun. Aku menghabiskan sepertiga waktuku di apartment ini.

Seperempat isi apartment ini adalah barang - barangku. Apalagi lemari kamar tamu Mavisha, isinya semua bajuku.
Dapurnya juga, hampir seluruhnya yang dipajang adalah peralatan masakku.
Dan tidak ketinggalan, PS4 yang bertengger dibawah telivisi Mavis adalah miliku.

"Gimana kencan lu Nyu, sukses? Btw selamet ya udah jadian." Celetuk Mavisha tanpa menoleh sedikitpun kearahku yang sedang berdiri di balik bar dapur.

Apartment Mavis tidak terlalu besar. Hanya ada dua kamar tidur, 1 kamar mandi. Dan satu ruang tengah yang besar, ruangan terbesar di apartment ini.

Begitu masuk dari pintu yang terletak diujung kanan. Seluruh isi ruang tengah apartment Mavis akan terlihat. Sepetak ruang ruang menonton terletak ditengah ruangan, disitulah tempat sofa biru itu ada.

Lalu dipojok kanan ada dapur dengan mini bar. Mavis tidak punya meja makan khusus. Hanya mini bar yang cukup panjang dan kursi - kursi tinggi.
Terlihat juga di pojok kanan yang berlawanan berlawanan, rak-rak buku milik Mavis yang mepet dengan tembok yang sejajar dengan pintu kamar Mavis dan kamarku.
Kamar tamu maksudnya.

"Nyu kok diem aja." Mavis terdengar agak sewot.
Aku tahu gadis ini, dia sekarang sedang kesal.

"Abis, lu ngaco. Siapa juga jadian. Kencan mah enak - enak aja, muka Kirana enak dipandang." Aku berharap Ia cemburu.

"Oh, Gina bilang lu jadian." Suaranya agak melemah pelan dari yang sebelumnya. Dia agak cemburu, aku tahu itu. Bukannya kepedean tapi aku memang tahu watak gadis itu. Sudah 6 tahun aku mengenalnya.

"Gina aja ngasal, paling Boy nipu dia."
Boy temanku dari Trisakti, aku sering mengajaknya jalan bersama 3 ibu - ibu bawel ini.

Ah, kami sebenernya hampir mendekati sempurna.

Aku dan dia hampir tinggal bersama layaknya sepasang kekasih.
Aku dan dia mengenal hampir seluruh teman dekat masing - masing.
Aku dan dia hampir mengenal watak masing - masing.
Aku dan dia hampir saling memiliki sampai selamanya.

Tapi sayangnya, kata "hampir" itu tidak akan pernah lenyap dari hidup kami. Andaikan "hampir" itu dicoret dari kalimat tadi. Mungkin semuanya akan jauh lebih baik.
Dirinya adalah sosok "hampir" yang paling menyakitkan.

WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang