Hatta

97 1 0
                                    

Rindu.
Aku hanya pria lemah, yang selalu kalah dari rasa rindu.
Sosok dirinya terbagun megah dalam pikiranku.

Entah, hatiku meluap setiap bayangan dirinya muncul dipikiranku.
Ah, senyumnya yang paling aku rindukan.
Rasanya, diriku gemas sekali setiap sosokmu melintas dihatiku.
Membuat aku menggeram dalam hati, ingin rasanya menjerit dan berlari memelukmu dengan erat.
Aku pria lemah, dihadapnmu.

Sama seperti hari ini, aku begitu merindukanmu.
laptopku tidak berhenti mencetak angka dan huruf dilayar, tapi yang terpantul dikacamataku hanyalah senyumanmu.
Kantor hari ini sangat tenang, diluar sana hujan dan hatiku memberontak bak petir menyerukan namamu.

Dia suka hujan.
Ah, lagi - lagi dia.
Sepanjang hari aku memikirkan dia. Begitulah keseharianku.
Aku memang pria lemah.

Tiba - tiba ponselku bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Wira. Temanku seorang dokter juga, yang sama - sama bekerja di rumah sakit tempatnya bekerja. Wira mulai berteman akrab denganku, ketika dulu aku rutin ke rumah sakit tempat mereka koas menjemput Raya.

"Bro, doi cantik banget."
Tidak lupa Wira melampirkan fotonya, yang sedang berdiri berbicara dengan seseorang.
Ya, dia memang terlihat cantik dengan jaket dokternya.

Cukup lama aku menatap layar kaca itu. Dia benar - benar cantik seperti biasanya.

"Kirimin lagi bro, yang dia lagi senyum."
dan tak lama kemudian, beberapa fotonya yang sedang tersenyum dan berbicara terpampang lagi dilayar ponselku.

Bulan depan aku akan kembali ke Jakarta. Aku terus memohon kepada atasanku untuk dipindahkan kembali ke Jakarta. Aku sangat ingin berada didekatnya. Awalnya aku semangat, kupikir aku bisa melupaknnya jika aku pergi menjauh beribu kilometer darinya. Ternyata rindu itu semakin melunjak.

Dia pasti sekarang membenciku, mengingat seberapa besar aku menyakiti Raya. Ya, Mavisha pasti sangat membenciku.

Ah, persetan dengan Raya. Aku tidak mau terperangkap lagi dalam sebuah hubungan yang didasari kebohongan. Raya pantas mendapatkan seseorang yang benar - benar mencintai dirinya dengan sepenuh hati.

Aku bukan untuk dirinya. Lantas, apa aku pantas untuk Mavisha. Gadis itu bahkan tak sedikitpun menoleh kearahku. 

"Mau sampai kapan bro, memandang dari jauh kek gini." kembali sebuah teks dari wira masuk. 

Ya, Wira tau aku menaruh perhatian pada Mavisha. Malam itu ketika ia terserempet motor. Secepatnya aku menuju rumah sakit ketika Raya memberitahu Mavis kecelakaan. Betisnya robek waktu itu.
Pukul 11 malam, aku melihat dari kejauhan Wikael bersanding memegang tangannya. Aku benci pria bodoh itu, tapi aku lebih membenci Banyu. Orang yang namanya tersimpan paling dalam dihati Mavis. Malam itu aku terdiam, menjaga Mavisha dari kejauhan sampai pukul 4 pagi. Dari situ Wira mengetahui bahwa dimataku hanya ada Mavisha.

"Balik dari Jayapura." aku membalas pesan Wira tadi.

"Hah, maksud lu?" tanya Wira, aku tahu dia tahu apa yang kumaksud.

"Persis sama apa yang lu pikirkan, Wir." balasku singkat.

"Lu mau deketin Mavis?" tanya Wira memastikan

"Ya."

"Gila ya lu, kasihan Raya." tanggap Wira dan kemudian aku meletakan ponselku diatas meja.

Kasihan Raya? bagaimana denganku?
dua tahun terakhir aku sama sekali tidak mengasihani diriku. Aku benar - benar sudah mencoba untuk menyayangi Raya. Tapi tidak bisa. Semakin lama aku bersama Raya maka semakin lama aku membohonginya dan perasaanku.

Suatu ketika, aku pergi ke Rumah Sakit. Aku mencari Mavisha dan aku berhasil menemukannya di ruang koas. Aku tahu Raya tidak masuk hari itu.

"Nyari Aya, Tta?" tanyanya begitu melihatku masuk ke dalam ruangan.

"Eh, Visha. Iya nih. Aya mana ya?" aku selalu memanggilnya Visha jika sedang berdua. Dalam hati kecilku aku ingin dia menyadari bahwa aku memandang dirinya lebih dari sedar teman. Aku ingin berbeda dari hanya sekedar teman.

"Aya kan ga jaga hari ini" jawabnya.

"Oh iya, gw lupa Sha. Gw dah keburu bawain Pempek lagi. Gw tinggal buat lu aja ya Sha."  Aku ingat sekali malam itu, aku membawakan dia Pempek. Makanan kesukaannya.

"Ah, bawa aja Tta, gw ga laper. Takut ga ke-makan, ujung - ujungnya kebuang. Atau anterin aja ke-kosan Aya, kan deket." 

"Oh gitu, o.. oke deh." Jawabku pasrah.

Tapi bukan itu saja yang kuingat malam itu. Tidak lama setelah pembicaraan itu telepon Mavisha berdering dan benar saja, dari Raya. 
Mavis memberitahu pacarku, bahwa aku ada dirumah sakit. Entah apa jawaban Raya, yang jelas hal itu membuat alis Mavisha berkerut. Aku tahu, pasti Raya bilang "Gw dah kasi tau dia kok, gw ada di kosan."

Karena tepat ketika aku sampai Rumah Sakit sebenarnya Raya mengirimkan pesan padaku. Aku malu sekali waktu itu dan buru - buru pamit.

Tentunya aku langsung menuju tempat Aya. Dalam benakku waktu itu, pasti akan ada segudang pertanyaan. Nyatanya tidak, hanya ada satu pertanyaan yang langsung Aya tanyakan padaku.

"Suka Mavisha ya?" tanya Aya dengan muka sedihnya, suaranya kadang masih terngiang.

"Tidak. Aku lupa kamu gak jaga." Jawabku berbohong. 

Andai waktu itu aku jujur saja menjawab "Iya" kepada Raya.
Andai waktu itu aku memberanikan diri untuk menatap matanya, dan mencoba meraih genggamannya.
Andai waktu itu bisa kuputar kembali.

WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang