Chapter II

178 7 0
                                    

"Tunggu sebentar, Pak! Kok bisa seperti itu?" Ucapku dengan nada tak setuju. Pak Anwar, Wali kelasku hanya terdiam sambil mengusap jenggotnya perlahan.

"Bapak kan hanya meminta kamu untuk menjadi mentor teman sebaya buat Arya dan mengajarkannya Bahasa Indonesia. Karena meski Arya bisa berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia, tapi dari segi kemampuan pemahamannya dia masih setara anak SMP." Pria paruh baya berjenggot tipis dengan rambut beruban itu menatapku dengan tenang.

"Ya, tapi Pak, kalau untuk mentor sebaya yang bisa mengajarkan Bahasa Indonesia kenapa tidak dari kelas bahasa saja, Pak? Kan ada Ayunda dan Kinanti yang sudah terbukti kualitasnya," ucapku bersikeras.

"Tadinya bapak pun berpikir demikian," ucap Pak Anwar sambil menautkan kedua tangannya. "Tapi Arya bilang dia akan lebih nyaman belajar dengan kamu, Bayu." Kalimat yang diucapkan pria paruh baya itu membuatku hampir terkena serangan jantung. Aku pun reflex mengalihkan pandangannku pada sosok pembawa bencana yang saat bel pulang sekolah tadi tiba-tiba menarikku keruang guru dan kini dengan santainya duduk manis di sampingku.

Jika tidak ingat bahwa saat itu ada Pak Anwar disana, aku mungkin sudah bangkit dan membuat wajah lempeng itu jadi berkelok-kelok dengan tinjuku. Tapi semua itu hanya bisa aku telan pahit-pahit. Karena aku tetap duduk di bangkuku dengan perasaan dongkol, dan Arya tetap duduk di bangkunya dengan wajah lempeng yang secara official membuatku ingin mengamuk.

"Bapak rasa keputusan Arya memilih kamu sangat tepat, Bayu. Karena kalau dipikir-pikir kalian kan satu kelas, jadi lebih mudah bertemu. Jadwalnya pun bisa kalian atur-atur sendiri dengan lebih flexible. Apalagi Bayu kan termasuk anak yang pintar di kelas Bapak, jadi Bapak yakin tidak akan ada masalah, dan kalian bisa semakin dekat."

"Tidak ada masalah apanya? Bisa semakin dekat apanya? Melihat wajahnya saja sekarang aku ingin ngamuk." Batinku kesal. Tapi apa daya, aku tak bisa menolak dan hanya bisa mengangguk lemas, menyetujui penyiksaan batin yang akan segera aku alami. Sedangkan di sampingku Arya masih tetap membisu, dari awal tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.

"Jangan terlalu dibawa beban. Bapak tahu Bayu mampu, jadi anggap saja ini adalah proses membangun pertemanan, yang salah satu landasannya adalah saling membantu." Pak Anwar mengakhiri pertemuan hari itu dengan kata-kata bijak yang sebenarnya benar, namun kedongkolan hatiku saat itu membuatku malas untuk mendengarnya.

Aku pun mengangguk, lalu bersalaman untuk pamit. Arya pun mengikutiku, setelah bersalaman dengan Pak Anwar dia pun segera menyusulku namun dia tetap menjaga jaraknya denganku. Awalnya aku ingin mengabaikannya, tapi rasa kesal di hatiku mendorongku untuk berbalik dan menatap Arya tajam.

Arya pun menghentikan langkahnya dan menatapku lurus. Aku yakin dia tahu jika aku kesal padanya, tapi dia tak bilang apa-apa seakan membiarkanku untuk meluapkan kemarahanku padanya jika aku mau.

Suasana sempat hening sejenak hingga aku buka suara. "Kenapa kamu minta aku buat jadi mentor kamu?" tanyaku dingin.

"Kenapa enggak?"Arya bertanya balik.

"Hah? Apa dia bilang? Kenapa enggak? Anak ini punya nyali juga rupanya!" Batinku gondok. Ingin rasanya aku maju dan mendaratkan tinjuku di wajah Arya, namun entah mengapa kedua kakiku seakan terpaku di tempat dan bibirku terkunci rapat.

Arya menatapku dengan ekspresi lempengnya. "Aku tahu kamu kesal padaku, meski aku tidak tahu apa alasannya. Tapi, apa jadi mentor buatku benar-benar pekerjaan yang sulit?"

Aku hanya bisa terdiam saat mendengar pertanyaannya. Karena sebenarnya aku pun mengakui bahwa menjadi mentor bukanlah hal yang sulit. Seperti kata Pak Anwar tadi, aku dan Arya bisa memulai jalinan pertemanan dan pertukaran budaya dari sana. Hanya saja rasa jengkelku pada Arya yang sudah mengendap cukup lama di hatiku membuat hal positif itu jadi tidak berguna di mataku.

School IdolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang