Chapter IV

127 4 0
                                    

"Jadi, kita mau ngerjain tugasnya dimana?" Tanya Gilang saat kami bertiga makan siang di kantin sekolah.

Aku menautkan kedua tanganku untuk dijadikan topangan. "Kalau di perpustakaan, pasti waktunya gak cukup. Gimana kalau..."

"Kalau rumah loe kejauhan," potong Gilang cepat, seakan tahu jika aku akan mengusulkan alternatif itu. Damn! "Nah, kalau..."

"Rumah kamu juga jauh, Lang!" potongku balas dendam.

Gilang menatapku dengan tatapan 'sirik aja loe, Bay!' lalu melipat kedua tangannya sambil memasang pose berpikir."Perpustakaan waktunya terbatas, rumah kita kejauhan, kalau gitu pilihannya..."

"Rumah Arya!" ucapku dan Gilang bersamaan. Lalu kami saling tatap.

"Eh, tunggu bentar! Kok loe tahu rumah Arya yang paling deket diantara kita bertiga?" Tanya Gilang dengan nada curiga.

"Lha, kamu sendiri kok tau kalau rumah Arya deket?" aku bertanya balik, mencoba mencari pembelaan.

"Kemarin pas loe sakit, gue main kerumahnya," timpal Gilang sambil melipat kedua tangannya. "Loe?"

"Aku juga..." kalimatku sempat menggantung. Ya Tuhan! Aku lupa, kunjunganku kerumah Arya kan dalam kondisi tak biasa. Kalau Gilang tahu, aku bisa jadi bahan olok-olokkannya selama satu bulan full. "Pernah dikasih tau Arya kalau rumahnya deket sekolah." Tuhan maafkan aku. Hari ini sepertinya aku akan banyak berbohong.

Aku sempat gugup, dan reflex menatap Arya untuk melihat ekspresinya. Namun meski mendengar aku berbohong di depan mukanya, Arya terlihat tak terlalu perduli. Bahkan sejak awal dia terlihat datar-datar saja. Dan ayolah, Bayu! Memangnya sejak kapan orang seperti Arya akan perduli soal hal konyol semacam ini? Orang kayak Arya adalah tipe orang yang akan berjalan ketempat evakuasi dengan tenang saat ada gempa, bahkan tsunami sekalipun!

"Kalau gitu fix!" ucap Gilang tiba-tiba, seakan lupa dengan perdebatan kami sebelumnya. "Loe juga setuju 'kan, Pang? Eh, Ar?" tanyanya kemudian.

Arya hanya mengangguk.

"Oke, kalau gitu pulang sekolah nanti kita kerjain tugasnya di rumah loe ya!" Gilang menepuk-nepuk pundak Arya yang lagi-lagi diam saja.

Entah kenapa, melihat reaksi Arya pada Gilang aku gemas. Rasanya ingin aku bertanya padanya, apa dia gak bosen diem aja? Tapi mungkin kalau aku nekad, Arya bisa membuat wajah tampanku ini jadi Onigiri. Bisa saja kan? Aku dengar orang pendiam jika marah bisa sangat mengerikan.

"Nah, masalahnya kan udah kelar yak," ucap Gilang sambil bangkit dan membawa piring makanannya. "Sekarang gue mau kelarin masalah lainnya," lanjutnya kemudian sambil melirik seorang anak perempuan yang sedang duduk sendirian. "Bye!" dan dalam sekejap bocah tengil itu sudah berpindah meja.

"Dasar playboy kacangan," batinku.

Tinggallah aku dan Arya. Kami berdua duduk berhadapan tanpa berbicara sepatah kata pun. Tapi jujur saja, dari awal Arya memang belum bicara sepatah kata pun sih. Bahkan aku mulai berpikir, dia memang pendiam atau jangan-jangan selama ini dia merasa kesulitan jika harus berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia? Tapi seingatku, ketika dia diminta berpendapat oleh guru, Arya bisa mengutarakannya dengan cukup baik dan mudah dipahami meskipun tetap saja bagi penutur asli sepertiku aksennya terdengar agak kaku sih.

Aku berdehem untuk menarik perhatian Arya. "Gimana mentor bahasa Indonesianya?" Aku mencoba membuka pembicaraan.

Arya mentapku sekilas, lalu kembali menatap piringnya. "Kami sudah bertemu," ucapnya dengan nada datar.

"Terus gimana?" tanyaku agak sedikit mendesak. Seperti yang sudah aku bilang, perlahan aku mulai merasa gemas.

Arya tak langsung menjawab. Dan entah aku salah menafsirkan atau apa, namun dia terlihat tak nyaman dengan pertanyaanku, atau mungkin dengan topik pembicaraannya.

School IdolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang