7

424 68 11
                                    


Author POV

Louis mengerjapkan matanya berkali kali untuk memfokuskan cahaya di mana tempat ia berada sekarang. Kepalanya sedikit pusing, tetapi ia masih dapat melihat dengan jelas dimana ia berada.

Baunya sangat menyengat dan bunyi benda itu membuat kepalanya semakin sakit lama kelamaan.

Rumah sakit.

Televisi di depannya menayangkan berita pagi. Kepalanya sudah tidak kuat untuk melihat. Ia memilih hanya untuk mendengar.

Kereta jurusan Doncaster-Brighton sore kemarin mengalami kejadian tragis. Terjadi pembunuhan di gerbong 6 yang membuat satu orang meninggal dengan keadaan yang tragis, dan satu lagi mengalami luka serius. Polisi masih mencari tahu pelaku dari kejadian tersebut.

Ternyata Ryan sudah kabur.

Si pria bertopeng itu bernama Ryan. Ia merupakan teman kuliah Louis. Meskipun hubungan mereka tidak terlalu dekat, dapat dikatakan mereka masih berteman baik, dan lihatlah sekarang.

Si gila itu membunuh Harry, suaminya tanpa rasa berdosa. Louis percaya karma, jadi ia tidak ingin membalas dendam.

Ruangan pasien ini lumayan besar. Louis yakin ini merupakan kamar VIP, tetapi siapa yang membayar semua ini?

Louis sebenarnya tidak terlalu peduli. Ia hanya penasaran, siapa orang baik itu?

Louis melihat tangannya sendiri. Infus terpasang di punggung tangannya. Perasaan penasaran kembali muncul. Bagaimana wujud dari wajahnya sekarang?

Tangan Louis memegang wajahnya dari dahi sampai dagu. Semuanya masih terpasang baik, hanya ada beberapa luka yang tidak terlalu besar di daerah pipi dan dahi.

Reporter itu mengatakan bahwa lukanya sangat parah, tetapi tidak. Hanya beberapa luka yang akan sembuh dalam seminggu.

Louis haus, tenggorokannya kering bagaikan sedang berada di gurun pasir. Itu tidak salah, hanya saja aneh.

Ia baru mengingat bahwa Ryan menyeret pisau ke lehernya. Ia tahu luka itu akan sangat dalam. Ia masih mengingat dari mimik wajah Ryan yang sangat menikmati permainannya.

Louis pun memegang lehernya.

Jahitan belum kering dapat Louis rasakan. Tangannya sehabis memegang jahitan itu bau darah. Luka itu sangat besar. Dari ujung leher satu, ke ujung yang lain.

Louis juga tidak dapat merasakan kaki kanannya. Ada apa?

Louis bangit dari tidurnya hanya untuk sekedar melihat, dan ia tidak percaya apa yang ia lihat.

Kaki kanannya hilang.

Bagaimana bisa? Seingatnya, ia tidak melihat Ryan melakukan apa apa kepada kakinya, tetapi penjahat tetap penjahat. Si tolol itu akan melakukan apa saja untuk membuat Louis sengsara.

Ia tidak peduli. Ia sudah sangat bersyukur dirinya selamat. Meskipun ada kehilangan dalam dirinya.

Satu hal sekarang, ia haus. Segelas air putih tepat berada di lemari di sebelah kanannya. Tangannya meraih perlahan lahan gelas itu.

Ia dapat mendengar pintu kamarnya terbuka menandakan ada orang yang masuk ke ruangannya, tetapi ia sudah terlalu fokus untuk mengambil segelas air putih itu. Mungkin salah satu suster rumah sakit, pikirnya.

Louis dapat merasakan seseorang menarik tangannya dan melepas infus itu dengan kasar. Ia sudah dapat meraih gelas itu. Akibat dari tarikan dari seseorang itu, gelasnya jatuh membentuk pecahan.

Orang yang menariknya adalah salah satu dari pria berjas yang berada di kereta kemarin, dan ia tidak sendirian, ia bersama Ryan.

Ryan mengambil satu serpihan dari gelas itu. Ia memegang dengan erat serpihan itu sampai tangannya mengeluarkan darah.

Dengan tiba tiba, Ryan mencekik leher Louis dengan kencang. Louis terkejut, tangan kananya mencoba untuk melepaskan tangan Ryan dari lehernya. Ia perlu udara.

"Aku tidak mungkin meninggalkanmu begitu saja di kereta, aku membantu membawamu ke rumah sakit. Seberapa baik aku ini."

Cekikan itu semakin lama semakin keras. Louis tidak bisa berkata sama sekali. Ia masih mencari udara.

"Dan hebatnya, polisi mempercayaiku sebagai saksi dari kejadian tersebut. Aku sangat menerimanya."

Serpihan kaca dari gelas tadi, Ryan gunakan untuk membuka lagi jahitan yang berada di leher Louis. Darah kembali keluar lagi, sedangkan wajah Louis semakin pucat dan badannya mencoba untuk meronta ronta.

"Aku tidak akan membunuh satu dari dua. Ketika aku bisa membunuh keduanya, kenapa tidak?"

Kalimat Ryan sembari memperkencang cekikan. Louis sudah benar benar kehilangan oksigen. Matanya sudah bagaikan ingin keluar, kakinya tidak bisa lagi diam.

Ia sudah tidak kuat.

Lama kelamaan semakin lemah. Seluruh badannya sudah hampir membiru, dan Ryan melepaskan cekikan itu.

Ryan menatap Louis. Kesedihan tampak diwajahnya, tetapi tidak di matanya. Matanya menunjukkan akting yang sangat bagus untuk kesedihan.

Nafas terakhir Louis adalah sebelum Ryan meninju pipinya keras sampai ia dapat merasakan tulang hidungnya patah.

Ryan hanya meninggalkan Louis begitu saja. Ia langsung pergi bersama anak buahnya itu tanpa memperdulikan Louis yang darahnya terus mengalir dari leher, hidung, dan mulut.

Tidak ada yang menolong.

Mereka berdua telah tiada, mati dibunuh.

Abis ini epilogue lhooo

KOMEN DONG KAMU!
Saya butuh pendapatnya yha

The train 🚃 larryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang