Chapter 16

164 14 5
                                    

"Aku tidak mengerti kenapa kita harus ikut ke sini." Sean menyandarkan punggung dengan kesal di sebuah kursi besi memanjang yang terletak di sisi koridor. Aroma obat khas rumah sakit yang menguar, ditambah dengan keterpaksaannya untuk turut mengekori Stevan pergi ke tempat ini makin membuat kepalanya pening. Ia melirik Caitlyn yang betampang kusut sama sepertinya. Iris hitam Sean kemudian beralih pada pemuda di sebelahnya. Ia memutar mata. Menyaksikan Stevan yang diam seribu bahasa dengan rautnya yang cemas membuat ia jengah. Apa yang harus dia khawatirkan terhadap gadis itu? Memangnya dia siapa? Neneknya?

"Jujur Stevan, kau seperti bocah dungu sekarang."

Tak ada tanggapan. Padahal ia yakin, dalam keadaan normal Stevan akan menghardiknya atau paling tidak akan menghadiahinya dengan sebuah lirikan tajam jika ada yang nekat menyebutnya dungu. Pemuda itu cuma duduk, menoleh ke arah ruangan yang tadi dimasuki Leona, lalu menunduk sambil menopangkan dahinya pada kedua tangannya yang tertumpu di paha.

"Stevan?"

Tetap tak ada reaksi. Sean mengerutkan kening dan menjulurkan tangan, berniat menepuk bahu pemuda itu, namun sebuah suara ketus tiba-tiba menyapa dan otomatis membuatnya menoleh.

"Kenapa kalian masih di sini?"

Ashley berdiri di hadapan mereka—lebih ke hadapan Stevan sebenarnya—dengan wajah tak suka. Ia melipat tangan di dada dan melemparkan tatapan sinis, sebelum kembali berucap keras.

"Aku tanya kenapa kalian di sini? Belum puas?" serunya lagi.

Sean bangkit, berdiri dekat di depan  dan balas menatapnya tajam. "Kau pikir aku juga mau menetap dan menunggu sahabat bodohmu itu sampai sadar?" Ia melangkah maju, hingga tersisa beberapa jengkal jarak di antara mereka berdua. "Berani juga kau juga bicara seperti itu kepada kami."

Di luar dugaan, Ashley menarik kasar kerah baju Sean hingga membuat pemuda itu terkejut atas sikapnya yang berani. Caitlyn yang terkesiap juga bersiap maju tetapi cepat ditahan oleh Stevan.

"Tenanglah, Ashley." Stevan menyela, melepaskan cengkeraman tangan Ashley secara baik-baik dan memberi isyarat untuk Sean yang mulai terpancing emosi agar mundur dan kembali duduk. "Bagaimana keadaannya?"

Kedua alis gadis pirang itu bertaut. "Apa urusanmu?" Ia menyalak galak. "Kalau ada apa-apa dengan Leona, aku tak akan memaafkan kalian," ucapnya dengan bibir bergetar dan bola mata memerah, menahan tangis.

"Kau menuduhku melakukannya?" Stevan menggelengkan kepala tak percaya. "Kalau aku yang menenggelamkannya untuk apa aku menolongnya?"

Ashley menyeka anak rambutnya yang berantakan di pelipisnya yang lembab, menarik napas panjang, lalu berbicara, "Siapa yang percaya pada orang seperti kalian?" Ia membuang muka, beranjak dari hadapan Stevan setelah sebelumnya bergumam singkat, "Menjauhlah dari dia, terutama kau Stevan."

Stevan tak membalas, hanya menatap sosok gadis itu hingga menjauh dan bergabung bersama beberapa orang teman yang duduk di dekat unit emergency—berada agak jauh dari tempatnya berada. Ia sengaja memisahkan diri karena meskipun saling mengenal, kehadirannya beserta Caitlyn dan Sean yang ia paksa turut serta, sangat jelas tak begitu diinginkan oleh kawan-kawan Leona. Kecuali James dan Marcell—mungkin.

Pemuda itu hanya memandangnya sekali tanpa menampakkan ekspresi apa-apa. Ia lebih sering menenggelamkan diri dalam buku bacaan yang ia bawa. Ia terlihat santai tapi Stevan tahu persis ia pasti sangat resah walau air mukanya cenderung datar. Kebiasaannya sejak dulu, jika ada sesuatu yang genting, Marcell akan mencari pengalihan perhatian melalui sebuah buku.

Sedangkan Kevin, masih menyempatkan diri untuk memberikannya seulas senyum meski terpaksa. James tampak mondar mandir seperti setrika rusak sementara yang lainnya (Ashley, Briana, Ayana, John, dan yang ia tak tahu lagi siapa namanya), jangan ditanya. Menoleh pun mereka tak sudi. Kalaupun sempat bertemu pandang, mereka akan memperlakukannya bak orang asing yang tak dikenal. Rahangnya terkatup erat. Apa ini? Ajang balas dendam?

Ia menghempaskan diri ke kursi hingga timbul bunyi decitan yang menggema. Stevan sontak menggerutu namun tak diindahkan sama sekali. Yang ia butuhkan adalah kabar gadis itu. Apa yang terjadi di dalam sana? Bayangan detik-detik ketika Leona ditenggelamkan kembali meyeruak di otaknya. Jika saat itu ia bergerak cepat mungkin Leona tak akan berakhir di tempat ini.

"Hei…."

Ia mendongak dan cengiran Jamed serta merta menyambutnya. Pemuda itu mendudukkan dirinya tepat di samping Stevan. "Kalian kelihatannya lelah."

Stevan belum menjawab, suara Caitlyn lah yang telah lebih dulu mengambil alih. "Tentu saja kami lelah, Bodoh! Bilang pada teman-teman culunmu itu berhenti bertingkah sok di sini. Kau pikir aku tak tahu mereka membicarakan kami?!" makinya jengkel. Netranya terlihat berkilat biarpun berada di balik lensa kacamata.

James mendesah malas.Demikian pun dengan Stevan. Ia terlanjur letih hanya untuk sekedar membungkam gadis itu.

Sunyi sesaat, sebelum James kembali membuka mulut. Kali ini dengan intensitas suara lebih rendah agar Caitlyn atau Sean tak menyerobot pembicaraannya lagi. "Kau tidak ingin pulang? Pasti kau belum makan sejak—"

"Kau mengusirku?" potong Stevan tanpa basa-basi. "Atau mereka menyuruhmu untuk mengusirku?" tembaknya langsung.

James terdiam. Helaan napasnya terdengar berat. "Tak ada yang mengusirmu, Ste." Jeda beberapa detik, ia melanjutkan. "Hanya saja mereka..." Iris birunya mengarah ke dua orang bertampang keruh di sebelah Stevan. "Aku takut mereka membuat keributan di sini."

Stevan menyandarkan kepalanya ke belakang. "Kalau begitu mereka akan kusuruh pulang."

James tersenyum tipis.

"Dan aku tetap di sini."

Senyuman kecil itu seketika sirna. James memandangnya dengan sorot mata bingung. "Untuk apa kau di sini? Kau harusnya pulang."

"Kenapa?" Stevan bertanya balik. Ada nada menyelidik dalam suaranya.

"Karena..." Pemuda pirang itu mengerjap. "...kau tidak punya urusan di sini?" sahutnya tak yakin. Ia tak tahu harus berkata apa dan ia bukan orang yang mahir dalam berkilah. Ya, memang benar bahwa Ashley dan yang lainnya lah yang meminta tolong padanya agar menyuruh Stevan, Caitlyn, dan Sean untuk pergi. Tapi sungguh, ia tak berniat mengusir Stevan. Walau ia pun heran atas kehadiran pemuda itu di sini. Menunggu bukan keahlian Stevan dan ia paham betul tentang itu. Apalagi jika yang ditunggui adalah Leona, gadis yang selama ini berseteru dengan Stevan dan kelompoknya. Terlepas ia yang pertama kali menolong gadis itu, tapi tetap saja, kemunculannya di sini menimbulkan tanda tanya besar dan kecurigaan bagi beberapa orang.

Cukup lama mulut Stevan terkunci, hingga akhirnya ia menjawab pelan. "Aku akan pulang." Ia terdengar ragu. "Setelah aku memastikan gadis itu baik-baik saja."

James kontan mengernyit hebat. Ia memandangi pemuda itu lurus-lurus. "Hanya perasaanku saja atau…." Ia mengangkat alis. "Jangan bilang kalau kau—"

Stevan menoleh padanya. "Kalau kau ingin mengusirku tak usah banyak alasan, Jam." Ia mendecih, berdiri tegap, lantas berjalan pergi, diikuti Sean dan Caitlyn yang keheranan, meninggalkan James seorang diri yang tetap mempertahankan pandangannya yang lekat pada punggung pemuda itu.

-jan lupa vommen yaa- ;))

TO BE CONTINUED

Arrogant Is My Middle Name [ Slow-Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang