Hari pertama masuk sekolah tahun ketiga.
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang dan Bara masih saja duduk manis di lapangan basket untuk melakukan kegiatan rutinnya sejak dua tahun yang lalu, yaitu menunggui seorang gadis yang sering sekali bermain bola basket. Sayangnya, gadis itu sangat tertutup, berbeda dengan Bara yang sangat ceria dan mudah berteman dengan orang lain. Rasa itu beda, menurutnya, jika lelaki lain mampu mendekati gadis incarannya dengan cara apapun, Bara lebih memilih untuk selalu ada walaupun si gadis tidak pernah sadar.
Dapat Bara lihat, gadis dambaannya mengayuh sepeda mendekati area parkiran dengan celana training, kaos, dan sepatu yang serba hitam. Tak lupa juga rambut indahnya yang diekor dengan sangat manis. Tubuhnya yang ramping dan tinggi berjalan menuju lapangan sambil membawa bola basket Gadis itu terlalu tertutup, selalu sendiri, entah kenapa.
Gadis yang bernama Marshal itu melakukan pemanasan dengan berlari mengelilingi lapangan basket. Bara hanya mengamati sambil menggoreskan pensil di sebuah buku tebal. Mungkin gadis itu selalu berfikir anjir ini laki kok di sini terus sih bangsat. Marshal mendrible bola dan melucutkannya ke ring basket. Sangat cantik, pikir Bara.
"Hei, Nama Gue Bara, Lo Marshal, kan?" akhirnya setelah dua tahun diam Bara berani mengajak si gadis berbicara. "Oh?" jawabnya singkat sambil masih sibuk memainkan bola basketnya. "Lo abis basket mau kemana? Mau temenin gue, nggak?" tanya Bara dengan hati yang sungguh berdebar lebih cepat dari biasanya. "Maaf, saya nggak bisa," jawabnya sambil berjalan ke pinggir lapangan. "Kenapa? Gue tunggu, deh, sampe kelar!"
Meskipun Marshal ketus, Bara senang, setidaknya diantara mereka sudah terjadi interaksi sosial, meskipun Marshal seperti seorang narasumber bagi Bara. Marshal tidak mengiyakan namun tidak menolak ajakan Bara. Setelah dua jam mereka disana, akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing untuk melanjutkan aktivitas. Bara juga. Aktivitasnya adalah memikirkan Marshal. Bara selalu berfikir bahwa gadis itu beda dari gadis-gadis alay yang selalu mencari perhatian. Gadis itu berbeda, meski tidak pernah tersenyum tetap saja cantik, tidak suka berjalan cantik dan bergerombol, cenderung sendiri dan jalannya cepat. Pokoknya, gadis itu beda, dan Bara suka karena itu.
Selasa. Hari yang Bara tunggu-tunggu sejak kemarin. Dia sudah membayangkan semua yang akan dia lakukan bersama Marshal sore nanti. Bahkan, dia sudah mencari topik pembicaraan bersama Marshal. Gila, benar-benar Gila. Kenan, Gio, Elva, Akbar, dan Valdi, sahabat Bara sejak kecil pun tahu apa yang sedang mendominasi pikiran dan hati Bara. Bagaimana tidak? Dia selalu koar-koar membanggakan bagaimana dia bisa ngobrol dengan Marshal siang itu di grup chat mereka.
"Betapa bahagianya hatiku saat," Valdi mulai membuka suara dengan menyanyikan sebuah lagu, disusul dengan nyanyian Gio yang super ngawur, "Mau jalan sama mbak gebetan, gebetan yang dua tahun kupendam, mati enggak, ya, dia?" Bara hanya tersenyum kecil sambil mengacungkan sebuah gunting kepada mereka. "Eh, gue duluan, ya? Mau nganter Yayang Karin ke kantin, kan dia baru sakit, tuh, biar kaya di relationship goals gitu, loh," pamit Akbar kepada sahabat-sahabatnya. "NAJIS!" balas mereka serentak yang lalu disambut dengan kikikan Akbar yang lalu pergi meninggalkan ruang kelas.
"Lah, anjir, kenapa kita nggak ke kantin juga, goblok?"
"Et, iya juga, ya? Lu tumben pinter, Gi! Biasanya idiot lo,"
"Astaghfirullah, nggak boleh mengujat, Ken, dosa!"
"El, kenapa lu jadi tausiyah gini?"
"Kenapa gue punya temen kaya kalian, sih? Nyesel, gue. Ayoklah tinggal jalan, juga,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
Teen FictionMarshal Ranetia. Tidak punya teman, tidak hidup berkecukupan, tidak merasakan kasih sayang dari kedua orangtuanya, dan selalu menemui kerumitan. Namun, dalam setiap lembar ceritanya, dalam tiap langkah kakinya, bahkan disetiap tetes keringat, airmat...