"Makasih, bang, kalau nggak ditebengin pasti saya sudah telat," ucap Marshal sambil menyunggingkan senyumnya.
"Loh? Kok abang, sih? Kenan aja, kali, iya, sama-sama," balas Kenan sambil tertawa.
"Ya, Bang Kenan kaya sudah dewasa banget, sih," jawab Marshal sambil ikut tertawa.
"Aduh berasa om-om gue! Yaudah, sana ke kelas, gue juga mau ke kantin ini," perintah Kenan.
"Iya, makasih!" pamit Marshal lalu berlari menuju kelas.
Kenan sekarang tahu kenapa Bara bisa jatuh pada gadis yang bernama Marshal Ranetia itu. Kenan tidak bisa berbohong, gadis itu manis dan sangat sopan, belum lagi kepintaran dan kritisnya pemikiran si gadis, mungkin, para perempuan di sekolahnya akan berebut untuk menjadi temannya jika mereka tidak hanya memandang dengan sebelah mata. Bagaimana tidak? Di sepanjang perjalanan, yang Marshal tanyakan bukan hanya tentang aktivitas Kenan di sekolah, anak-anak kecil yang bermain tik-tok, tetapi tentang bagaimana cara kerja granat, nuklir, kapal selam, dan tank perang. Sungguh langka sekali gadis seperti Marshal.
Kenan menceritakan semuanya kepada Bara, mulai dari bangunnya yang kesiangan hingga hampir menabrak gadis kesukaan Bara dan memberinya tumpangan sampai sekolah. Bara sangat berterimakasih untuk itu bahkan setelah Kenan memuji kecantikan Marshal. Menurut Bara, Kenan adalah anggota The Grenade yang sangat dia sayangi, bukan kenapa-napa, Kenan memang pantas untuk itu. Dia sangat dewasa dan bijaksana, dia juga rela berkorban untuk yang lain, jadi, tidak salah jika Kenan sangat disayang.
"El, kantin yuk!" ajak Gio kepada Elva yang tidak paham dengan obrolan antara Kenan dan Bara. Setelah Elva mengiyakan, mereka berdua akhirnya ke kantin karena Valdi dan Akbar sedang berada di perpustakaan untuk mencari bahan lomba penelitian mereka. Elva dan Gio pun menjadi sorotan di kantin seperti biasanya. Meskipun mereka adalah anak-anak dari konglomerat dan anak-anak emas sekolahan karena menyumbang banyak piala kejuaraan dan uang, dan, langkanya, mereka tidak pernah congkak dan membeda-bedakan orang lain.
Kantin penuh dengan siswa yang kelaparan siang itu, alhasil, semua meja penuh. Ada satu meja yang hanya diduduki oleh satu gadis saja, gadis itu tampak tidak punya teman. Marshal. Elva dan Gio pun mendekati meja tempat Marshal duduk sambil membawa makanan mereka.
"Marshal? Lo kok sendiri, sih?" sapa Elva ramah sambil tersenyum.
"Iya, tumben, biasanya juga sama Rafi, kemana dia?" tanya Gio yang juga kebingungan karena mereka memang selalu berdua seperti hidung dengan upilnya.
"Nggak berangkat, sakit. Mau duduk?" jawab Marshal sambil mempersilahkan Elva dan Gio duduk.
"Gue bingung, Mar, kenapa pada ngejauhin lo gini, sih? Padahal lo kan baik, nggak neko-neko juga, mana pinter, lagi!" tanya Elva tidak terima.
"Plus, cantik, hehe," tambah Gio sambil nyengir yang lalu dihadiahi jitakan oleh Elva.
"Setiap orang berhak untuk berpendapat, saya harus mengormati pendapat mereka tentang saya, meskipun itu bukan yang sebenarnya. Ya, saya bisa apa? Kan, saya nggak mungkin dengan dua tangan berusaha buat membungkam ratusan mulut disana. Juga buat apa punya banyak temen kalau sebenernya kalau pas kita jatuh nggak ada yang ngebangkitin dan nggak ada yang dengerin setiap keluhan kita? Kan percuma yang begitu. Walaupun sendiri, kan paling nggak saya bisa membawa diri saya ke hal yang positif dan nggak merugikan orang lain," jawab Marshal sambil tersenyum kecil.-----
Karena Rafi tidak berangkat, Marshal pun tidak punya teman ngobrol karena Rafi adalah satu-satunya teman Marshal. Jadi, dia pikir pergi ke perpustakaan adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Selain untuk menghindari orang-orang yang tidak memerdulikan keberadaannya, bisa menambah pengetahuannya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
Teen FictionMarshal Ranetia. Tidak punya teman, tidak hidup berkecukupan, tidak merasakan kasih sayang dari kedua orangtuanya, dan selalu menemui kerumitan. Namun, dalam setiap lembar ceritanya, dalam tiap langkah kakinya, bahkan disetiap tetes keringat, airmat...