Mata Rafi terbelalak, membulat sempurna, dia tidak menyangka kalau Rania akan senekad ini datang kerumah. Malah, Rania membawa sekeranjang buah-buahan untuk Rafi. Marshal bingung, tidak tahu siapa gadis itu, dia sempat ingin bertanya kepada Rafi, tapi Marshal sadar kalau mereka sedang tidak akur. Akhirnya, Marshal memilih turun, beralibi untuk membantu Bunda Sonya memasak, dan akhirnya menanyakan siapa gadis yang baru saja datang.
"Bun, aku mau bantu, nih, aku bolehnya ngapain?" tanya Marshal sambil mengampiri Sonya yang sepertinya memang kerepotan di dapur. "Nah, pek banget ini anak. Itu, tolong kamu potong-potong wortel sama kentang aja, dadu ya," jawab orang yang dipanggil "bunda" tadi sambil menghaluskan bumbu.
"Cewek tadi siapa, bun? Pacarnya Rafi?"
"Cewek dari mana? Abang kan sama kamu terus, mana bisa kecantol cewek lain?"
"Alah, bunda. Tapi siapa, sih?"
"Itu, anak komplek sebelah, namanya Rania, sering kesini juga pas kamu kemarin lama nggak kesini,"
"Oh, Rania, ya,"
"Udah belom, potongnya?"
"Udah, bun, udah dicuci, apa lagi?"
"Udah, kok, tinggal dicampurin sama nunggu mateng. Sana, keatas aja nemenin abang, dari kemaren nunggu kamu itu si abang,"
Marshal naik ke atas, menuju tempat dia bersama Rafi tadi, tempat kesukaan mereka berdua, di balkon belakang. Marshal duduk dan meminum Choco latte –nya yang sudah dingin karena terlalu lama didiamkan. Dia hanya bisa memandangi betapa sepertinya dia sudah tergantikan oleh orang baru. Sedih, rasanya, dan dia memutuskan untuk berpamitan.
"Gue pamit," katanya sambil meraih ranselnya lalu beranjak turun untuk berpamitan kepada bunda.
"Hati-hati!" balas Rania sambil tersenyum ramah.
"Bun, Marshal pamit, ya, mau balik ke kedai, rame kata Mbak Andin," bohong Marshal kepada Sonya.
"Nggak mau makan malam dulu, nak? Ayah udah di jalan, loh, pengen ketemu," tanya Sonya meyakinkan
"Nggak, bun, kasihan Mbak Andin, soalnya Reno juga nggak berangkat, salam buat ayah, ya, daah!" ucap Marshal sambil menyalami bundanya itu. Matanya sudah berair, Marshal sudah tidak kuat untuk membendungnya di hadapan sang bunda.
Saat Sonya hendak memeluknya, dia sadar bahwa gadis tersayangnya itu sedang menahan tangis di hadapannya. Lantas dengan reflek Sonya mengapus airmata Marshal, memeluk, dan menenangkannya.
"Yaudah, nggak apa-apa, bunda paham, tapi, besok kesini lagi, ya, tetep jadi anak bunda," pinta wanita paruh baya itu lalu mengantar Marshal sampai ke depan rumah.
Hari ini rasanya lebih melelahkan dari hari-hari sebelumnya bagi Marshal, rasanya jarak rumah Rafi menuju Lattcapc juga semakin jauh, dan waktu sepertinya sedang ingin bermain-main, sang waktu sangat lama berputar, membuat perih yang ada di dada makin membakar hatinya habis-habisan. Dan pada jalan lurus itu, pohon-pohon di samping jalan menjadi saksi. Seorang gadis kuat menangis, tersedu lagi.
-----
"Jam berapa ini? Nggak sekalian nggak pulang aja kamu?" suara bariton milik seorang pria paruh baya mengagetkan Marshal ketika dia membuka pintu kamar. Seharusnya ayahnya tahu kalau saat itu adalah pukul setengah dua pagi sebab lelaki yang bernama Fandi itu juga memakai jam tangan mahal, entah pemberian siapa karena setahu Marshal ayahnya hanya seorang karyawan di sebuah toko, itu saja.
Marshal memilih diam, melepas sepatunya dan mengeluarkan buku-buku dari ranselnya. Tanpa mengeluarkan sedikitpun suara, gadis bermanik mata hitam itu menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan merebahkan tubuhnya. Ia sangat lelah hari ini, sangat-sangat lelah.
Bara Maheswara is calling...
Tepat sekali saat dia hampir tertidur pulas, ponselnya bergetar, menampilkan pemberitahuan bahwa seseorang di seberang sana meneleponnya. Sudah lima kali orang di seberang sana menelepon, namun Marshal terus menolaknya. Sampai akhirnya dia merasa kalau tidurnya terganggu, lalu menjawab telepon dari Bara.
"Luwak white coffee? Passwordnya, Mbak Marshal?" sapa Bara yang hanya dibalas deheman oleh Marshal.
"Shal, gue di deket rumah lo, nih, bantuin, dong, bensin gue nih, hehe," ucap Bara dengan nada memohon kepada Marshal.
Marshal membelalakkan matanya, tidak percaya. Berani-beraninya seorang lelaki meneleponnya pada pukul dua pagi, saat yang tepat untuk tidur dengan nyenyak-nyenyaknya hanya untuk meminta bensin.
"Saya harus gimana?" tanya Marshal sambil menahan menguap.
"Ke gang depan, bawain uang, yah, hehe," pinta Bara.
"Kalau nggak mau?"
"Ya gue ke rumah lo, terus gue ngetuk pintu rumah lo, lah, orang di sini nggak ada yang gue kenal selain lo,"
"Saya jalan sekarang, tunggu!"
Marshal sangat jengkel dibuat Bara. Sudah tidurnya diganggu dengan ditelpon berkali-kali, menyuruh Marshal untuk ke depan gang, bahkan mengancamnya datang ke rumah, hanya untuk memamerkan bensin di motornya yang full. Sedangkan uang yang Marshal bawa karena permintaan Bara? Itu untuk membeli sate di depan gang karena saat lewat tiba-tiba saja Bara lapar dan ingin sate. Untung ganteng, batin Marshal.
"Maap-maap nih, gue tadi ceritanya muter-muter gitu, cari angin, ya pede aja nggak bawa uang, kan secara teknis, BENSIN GUE FULL gitu, eh liat ini dagang sate, yaudah gue malah jadi pengen. Kan nggak bisa, tuh beli pake bensin, yaudah gue telpon lo aja, maap ye, setidaknya kan lo bisa memandangi kegantengan seorang Bara Maheswara pagi-pagi gini, perdana ini, perdana," kata Bara sambil melahap satenya, sedangkan Marshal diam dan memandangi lelaki yang berbadan tinggi itu sambil melotot.
Lama-lama pandangan si gadis yang melotot tidak terima ke arah Bara itu meredup. Kantuknya sudah tidak bisa ia tahan lagi sampai akhirnya tertidur pulas di hadapan Bara. Lelaki itu hanya memandangi gadis kesukaannya sambil bergumam, mengusap tangan si gadis supaya tidak kedinginan, dan menanggalkan jaket besarnya ke punggung Marshal. Bara terlalu suka gadis itu, Terlalu suka sampai tidak punya alasan untuk menyerah, entah kenapa.
"Cuy, bangun, udah adzan dzuhur, eh, subuh, nih," bisik Bara sambil menepuk-nepuk punggung tangan Marshal. Gadis itu tidak menjawabnya, hanya menggerakkan tangannya untuk menjitak Bara sambil masih menenggelamkan kepalanya. Lima menit kemudian, gadis itu tersadar dan bangkit, hendak pulang karena malam semakin dingin. Saat kesadarannya sudah utuh, dia menyadari ada jaket yang sedari tadi bertengger di bahunya, jaket milik Bara.
"Makasih," ucap Marshal sambil menanggalkan jaket itu dan memberikannya kepada Bara.
"Pede amat, mbak, orang jaket itu punyanya mamang yang jual sate," balas Bara sambil melipat kedua tangannya di depan dada karena kedinginan.
"Ini," ucap Marshal sambil menyodorkan jaket itu karena belum juga diterima oleh Bara.
"Kata mamang sate, jaketnya dibawa dulu, dibalikin pas sekolah ke Bara. Katanya, sih" balas Bara sambil menengok ke arah Mang Didi, si penjual sate.
Kalau kalian udah baca, makasih karena udah sempetin wkwkwk. Minta saran juga, yah, kurang apa gitu, silahkan tinggalin jejak berupa komentar atau vote biar aku makin semangat nulis di sela-sela kesibukanque yang membuatku pusyinq ini:( Selamat liburan, semangat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
Teen FictionMarshal Ranetia. Tidak punya teman, tidak hidup berkecukupan, tidak merasakan kasih sayang dari kedua orangtuanya, dan selalu menemui kerumitan. Namun, dalam setiap lembar ceritanya, dalam tiap langkah kakinya, bahkan disetiap tetes keringat, airmat...