Bab 9 (Seol Ji Ah)

266 7 0
                                    

Jarum pendek pada jam weker di samping ranjang menunjuk angka dua belas namun aku belum bisa memejamkan mata. Kulirik Yoon Sa Ra, sepertinya ia sudah nyenyak dalam mimpi. Berkali-kali aku membalikkan badan, berharap menemukan posisi yang nyaman.

Mataku tak lekas tertutup. Kapan insomniaku sembuh? Kukira setelah aku pindah ke Korea, penyakit ini akan hilang. Namun tidak, aku masih saja tersiksa karenanya.

Aku lupa bilang kepada Ibu untuk mengirimiku obat tidur. Setidaknya jika aku meminumnya setiap menjelang tidur maka ini akan mereda. Karena jujur saja aku merasa terganggu.

Dengan cahaya remang dari lampu kecil di tengah langit-langit ruangan, aku beranjak dari ranjang. Kubuka tirai jendela tanpa menghidupkan lampu neon, aku tak mau jika itu akan membangunkan Yoon Sa Ra.

Hawa dingin menyapa setelah jendela terbuka. Senyumku mengembang mengingat waktu yang kulewatkan sepanjang hari ini bersama Han Joo Hyun, membolos bersamanya di Namsan Tower. Aku selalu mengingatnya, dirinya, wajahnya, serta sikap dinginnya. Saat ini mungkin aku merasakan sesuatu yang tak bisa kukatakan apa itu, mungkin seperti... sebuah perasaan, mungkin.

Han Joo Hyun, seseorang yang beberapa jam lalu memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ia mengungkapkan perasaannya padaku, mengutarakannya dengan tulus. Sudah jelas, bukan, bahwa itu membuatku terkejut bukan kepalang. Jantungku selalu berdetak kencang mengingat momen di mana ia menyatakan cintanya. Juga, aku tak hentinya memikirkan itu. Bahkan insomniaku kambuh hanya karena memikirkan itu.

Ketika kupikir ulang, kuputar kembali setiap waktu yang aku dan dirinya lalui bersama, ketika itu pula aku merasakan sesuatu bergejolak di dada. Ada sebuah percikan aneh yang entah apa namanya, yang selalu membuat perutku serasa diisi oleh ribuan kupu-kupu yang terbang menggelitik. Indah, nyaman, dan menyenangkan waktu yang terlalui bersama ia, terhitung sejak sebulan aku bertemu dengannya.

'Rasa itu' ada, 'rasa itu' mungkin tengah terselip di hati ini. Aku baru menyadarinya setelah memikirkannya sungguh-sungguh malam ini.

Kupandang langit hitam yang terasa begitu luas dan tanpa ujung. Angin berhembus kuat dan membuat rambut yang kuurai berkibar-kibar. Bulan sabit terlihat cantik dari kejauhan, indah bersinar memancarkan penerangan meskipun mendung masih menghalangi.

Suara burung hantu sayup-sayup terdengar. Kegelapan menemani diriku di atas sini. Dan kerlip lampu kota memberiku cahaya yang remang, namun sinar bintang menerangi dalam keindahan malam. Aku berdiri sendirian, memandang jauh ke depan tanpa batasan. Pikiranku kosong. Aku hanyut dalam ketenangan. Tak ada satu hal pun yang dapat mengusik.

Sebuah titik kecil di langit berkelip terang, sebuah senyuman kecil tercipta di garis bibirku. Aku pernah berharap menjadi sebuah bintang. Bukan bintang di televisi, namun bintang di sana... di langit. Walau kecil namun bersinar terang. Terus menyaksikan apa yang ada di bumi ini hingga habis termakan usia.

Bintang itu... adakah sepasang mata milik orang lain yang sedang memandangnya? Adakah yang saat ini sedang terpesona menyaksikan keindahannya? Jika ada, pemilik sepasang mata tersebut sungguhlah seterang bintang itu, ia bersinar bagai pantulannya. Aku yakin.

***

Sudah kesekian kalinya aku mengintip weker yang jarumnya terus berputar, membuat Sang Waktu terus berjalan dan mengikis kesabaranku.

Sudah letih tubuh ini menunggu, tak kunjung mata ini terpejam. Satu menit... dua menit... tiga puluh detik... dan sepuluh detik lagi aku akan pergi. Yap, waktu habis bersamaan dengan habisnya kesabaranku. Aku keluar kamar setelah sempat mengenakan jaket hangat.

Kakiku menapaki tangga-tangga asrama yang membawaku sampai di rooftop. Bahkan kulangkahi dua buah anak tangga dalam satu loncatan sekaligus. Aku tahu kakiku saat ini begitu kelu, tapi aku tidak terlalu ingin mempermasalahkannya.

Apakah Han Joo Hyun ada di atas? Jika ya, mungkin akan kuberikan padanya jawabanku atas pernyataan cintanya.

Pikiranku kali ini tidak meleset, sungguh! Han Joo Hyun ada di sana, duduk membelakangi di atas kursi kayu dekat tembok pembatas.

"Joohyun-a..."

Namja itu berbalik saat aku berjalan ke arahnya, mendekatkan diri hingga membuat wajah rupawan itu terpampang jelas.

"Kau belum tidur?" tanyanya pelan.

"Aku sudah memikirkannya, Han Joo Hyun. Semua yang kau ungkapkan padaku, perasaanmu itu, aku pun..." Kuhentikan ucapanku karena keraguan muncul tiba-tiba.

"Jika kau belum yakin, kau bisa mengatakannya kapan pun kau siap. Aku tak memaksamu," potongnya. "Cinta bukanlah objek yang dapat dilihat secara kasat mata, karena cinta hanya dapat dihayati, dirasakan melalui hati dan perasaan saja. Jadi jika kau terus memikirkannya dan tak menemukan jawaban, maka berhentilah berpikir dengan otak dan mulailah merasakan dengan hati. Jika kau sudah menemukannya dengan hati, maka katakanlah jawaban itu sekarang."

Suara langkah kaki menghentikannya bicara. Aku dan namja di depanku mengarahkan pandangan ke suara langkah kaki mendekat itu. Merasa terkejut sebab baru kali ini ada orang lain yang datang ke rooftop selain aku dan Han Joo Hyun. Seorang gadis cantik dengan dress putih dan kardigan panjang, dengan surai pirang panjang bergelombang, karismanya bersinar menunjukkan dirinya seorang yang dikenal.

"Joohyun-a!" panggil gadis cantik itu. Namun sesaat ekspresinya berubah ketika memandangku. "Nuguseyo?" Aku tak sanggup menyembunyikan rasa terkejutku ketika ia bertanya padaku, begitu pula dengan Han Joo Hyun.

Han Joo Hyun menatapku dan gadis itu bergantian. Kubuka mata bulat-bulat, seolah bertanya 'siapakah dirinya?'

"Jia-ya, itu Jung Ye Mi. Ia adalah..." ucap namja yang sekarang ini berubah kaku. "...pemilik atap yang sesungguhnya."

Keningku berkerut. Ia bilang gadis cantik nan anggun itu adalah Sang Pemilik Atap, jadi selama ini sebenarnya siapa Han Joo Hyun? Kukira ia adalah Bocah Pemilik Atap.

"Aku tak mengerti," kataku.

"Maaf, kau bukan gadis pertama dan satu-satunya yang meninggalkan jejak di sini," jelasnya.

Hatiku tersentak. Suasananya sedang dramatis sekali di sini---seorang pria yang berada di tengah dua wanita. Kualihkan pandangan pada gadis cantik yang berdiri tak jauh dari kami, yang Han Joo Hyun bilang bahwa ia adalah pemilik atap yang sesungguhnya, yang tiba-tiba datang di tengah prosesku mengutarakan perasaan. Aku tak tahu ini ada apa, yang jelas tak ada gunanya aku tetap di sini di tempat yang harusnya menjadi daerah kuasa kedua pemiliknya.

"Kalau begitu, aku turun saja," ucapku sembari melemparkan seulas senyum pada keduanya, kemudian melewati mereka, dan pergi dari sana.

Mereka, khususnya Han Joo Hyun, tak tahu betapa saat ini hatiku terluka karena kebohongannya. Ia tak tahu pula setetes cairan hangat menghiasi wajahku setelah aku menuruni tangga. Semua orang tak tahu bahwa saat ini aku menahan pedih dan sesak di dada.

Mengapa ia tak pernah berkata bahwa dulunya ada seorang gadis yang menemaninya? Jadi aku hanyalah pelampiasan karena ia merasa kesepian? Mengapa gadis itu baru kembali ketika aku dan Han Joo Hyun sudah sedekat ini? Mengapa ia baru menampakkan diri ketika aku hampir mengatakan jawaban perasaanku pada orang yang kukasihi?

Promise Me, Remember MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang