Hati Tanpa Pemilik | 1

315 13 5
                                    

Teruntuk kamu, lelaki yang tulang rusuknya akan kuambil kelak. Tolong jaga hatimu. Jangan sampai sakit. Karena disini aku pun juga melakukan hal yang sama. Menjaga hati, untuk sang pemilik yang sebenarnya.

*****

Sejak kecil, aku tumbuh di lingkungan yang penuh akan kasih sayang dan cinta. Keluargaku menghujaniku dengan senyuman, tawa, dan kebahagiaan. Mereka membesarkanku dengan jiwa negeri dongeng yang selalu melekat dalam otakku. Cinta pandangan pertama, pangeran berkuda putih, putri dan pangeran impian, aku percaya itu semua. Bahkan sampai aku beranjak dewasa, rasa percayaku akan kisah 'Romeo and Juliette' semakin tumbuh hebat, merambat. Bahwa cinta sampai ajal menjemput haruslah benar-benar terwujudkan. Tidak boleh ada pihak yang melintang dari batas kesucian cinta.

Sampai hari itu, sebuah percakapan antara aku dan Mama yang tak pernah kusangka akan merubah segalanya.

Ya, segala poros hidupku.

"Ma, kok bisa sih pak Teguh nikah lagi? Padahal bu Dea meninggal baru 5 hari lalu, 'kan? Jahat banget..." Aku masih memakai seragam sekolah kala itu. Baru menginjak lantai dapur dari kegiatan pulang sekolah dan langsung menggerutu pada Mama tentang suatu hal yang mengusik hatiku sejak kabar itu berhembus kencang hingga akhirnya sampai ke telingaku.

Mama hanya tersenyum menanggapi ucapanku yang masih berumur 17 Tahun  dengan senyuman hangat ia berkata, "emangnya kenapa kalo dia nikah lagi?" Kulihat kedua tangan renta namun penuh dengan semangat itu cekatan memotong bahan-bahan makanan yang akan dijadikan lauk makan malam. Bergerak kesana kemari. Memasukkan bumbu ke dalam panci, menumis, menggoreng ikan, dan semua hal yang tak pernah bisa kulakukan sendiri tanpa bantuannya.

Lantas ia tersenyum mendengar perkataanku selanjutnya, "aku jadi kasihan sama mendiang bu Dea, dia pasti sedih liat suaminya begitu cepetnya move on. Kaya nya pak Teguh nggak cinta deh sama bu Dea," kerutan halus terbingkai di wajahku. Amarah melungkupi dengan suaraku yang kian lama kian keras. Meradang.

Mama menghentikan kegiatan memasaknya, sejenak, melihatku dengan sorot geli. "Kamu jadi peramal, ya?" lalu pandangannya kembali pada penggorengan, mengangkat ikan yang telah matang dan mematikan kompor.

Melihat jawaban dari wanita cantik yang melahirkanku menjadi mulai tak sinkron ini, aku 'pun berkata, "ih apaan sih, Ma. Nggak nyambung deh, bikin kesel aja." Raut wajahku berubah masam. Ia mematikan kompor yang masih hidup dan memasukkan sayur yang telah matang ke dalam piring. Ia tertawa renyah melihat ekspresiku yang nampak garing di siang hari seperti ini. Selanjutnya Mama berjalan mendekat ke arah meja makan di dekat dapur yang sejak tadi kududuki. Tepat disampingku sambil berkata, "ya abisnya kamu sok-sokan segala pake ngomong, kalo mendiang bu Dea sedih ngeliat pak Teguh nikah lagi. Emang kamu nyamperin dia di kuburan, ya?" ujarnya sambil tetap terkekeh pelan.

"Mama ih, amit-amit jabang bayi. Aku tuh cuman bayangin aja perasaan bu Dea. Belum juga genap 1 minggu meninggal, eh, suaminya udah nikah sama wanita lain. Sad ending 'kan jadinya." Sejak dulu sosok inilah yang paling mengenalku luar dalam, bahwa aku sangat anti dengan segala jenis film, drama, dan cerita yang berakhir sedih atau paling tidak saat salah satu dari tokoh tersebut ada yang meninggal. Air mata tak hentinya bercucuran dari kedua kelopak mataku. Sedih bercampur amarah menggenggam kuat perasaanku.

"Aku jadi sebel banget sama Fina, dia kok terima-terima aja sih bapaknya nikah lagi. Seharusnya dicegah, dong. Iya, kan Mah. Nggak sayang sama ibunya apa?!" ucapku menggebu-gebu sarat akan kemarahan yang mendalam. Aku merasakan apa yang Fina, sahabatku itu rasakan saat ini. Kesedihan nampak di kedua bola matanya yang berusaha ia tutup-tutupi dariku, kala aku melihatnya sepulang sekolah tadi.

Kisah Hati (Kumpulan Cerpen) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang