''Tuh kan! Daffa bilang juga mas Igna gak boleh pergi,'' ucap Daffa sambil nepuk dahinya sendiri. Dirinya saja sampai lupa kalau tadi Igna ke sini dengan luka-luka gitu.
Lekas saja ia tarik Igna lagi ke kamarnya di lantai dua dan rebahkan di kasur. ''Tunggu ya, Daffa mau ambil obat dan kotak P3K dulu. Duh, biasanya kalau orang luka itu diapain sih awalnya?'' Daffa panik, terus melipir ke arah dapur siapa tahu nemu kotak bantuan.
Lagi-lagi Igna patuh saja digiring ke kamar Daffa yang ada di lantai atas meski itu artinya Igna harus extra tabah saat menapaki tangga demi tangga di mana lututnya menekuk belasan kali dengan jins kasar menggesek luka menganga di lututnya. Ia berasa hampir pingsan di puncak tangga.
Setelah berkutat mencari dan mencari, Daffa kembali juga dengan baskom dan kain kecil. Katanya sih niatnya mau bersihin darah dulu, ngilangin yang kotor-kotor biar gak infeksi nantinya.
''Mas bisa lepas pakaian mas, gak? Gapapa kok, gak usah malu. Daffa gak akan sentuh-sentuh mas Igna dulu,'' perintahnya, naruh benda-benda tadi di atas meja dan mendekat ke arah Igna.
Cowok manis itu mencoba membantu melepaskan pakaian atas Igna yang terdiri dari jaket dan kaos, kemudian agak terkejut setelah bagian atas terekspos. Bukan, Daffa gak fokus di bagian manapun apalagi roti sobek Igna. Dirinya cuma kaget karena ada beberapa luka di bagian tangan dan siku Igna.
''Ini, mas bisa bersihin dulu lukanya? Daffa mau motong celana mas Igna dulu.''
Daffa kembali sibuk nyari gunting. Agak ngeri di bagian lutut Igna yang kayaknya darah ngucur deras banget. Kalau celana dilepas pasti Igna bakalan kesakitan, kan?
Usai nemu benda yang dicari, Daffa lurusin kaki Igna yang terluka dan motong di atas lutut celana jins Igna. Jujur aja, Daffa gak pernah ngobatin orang terluka, jadi wajar dirinya malah kebingungan.
Saat celananya dipotong, barulah ketahuan seperti apa bentuk lukanya. Luka menganga dengan daging yang sobek terkelupas mengerikan. Igna sendiri sampai seram melihatnya. Tapi demi agar Daffa tidak terlalu mengkuatirkannya, ia menahan sekuat mungkin.
''Eh, sakit ya?'' tanya si unyu pas melihat Igna meringis . Ia gak tega dan langsung tiup-tiup luka di lutut Igna seolah-olah hal itu bakalan bikin rasa sakitnya ngacir jauh.
Untungnya luka di siku tidak separah lutut. Hanya luka parut biasa. Dan di punggung tangan kanannya, luka parut yang sedikit lebih parah. Ia menggigit bibirnya kala sarung tangan dilepas.
Igna membayangkan, apa jadinya bila dia tak memakai pakaian tebal dan helm tertutup? Pasti lebih ancur-ancuran. Syukuri saja keajaiban yang ia masih dapatkan hari ini. Toh ini sepadan dengan bertemunya dia dan Daffa. Anggaplah ini hukuman karena ia sudah menyakiti Daffa.
"Esshh... aahh... iya sakit dikit kok dek, hehe..." Padahal, dengan kondisi lutut yang demikian, harusnya Igna mendapat jahitan setidaknya 4-6 agar dagingnya menutup kembali ke tempat semula. Tapi ia diam saja. Tak mau Daffa kuatir berlebihan. Dan ia seharusnya juga mendapat suntik anti tetanus. Astaga. He needs a hospital care!
Apakah kepalanya baik-baik saja? Gegar otak ringan, misalnya?
"Dek, sekarang aku dah jadi pacar resmi kamu, kan? Ya kan dek?" Bibir Igna agak memucat menahan sakit hebat. Dadanya turun naik. Namun senyum itu tak pernah surut dari wajah. Ia bahagia. Sangat bahagia. "Mas cinta kamu, dek," ucapnya lirih disela-sela kesadaran yang masih tersisa. Lalu mata itu berangsur terpejam. Entah akibat lelah... atau karena...
''Eh? Eh? Jangan tidur dong mas!'' Daffa ampe guncang-guncangin tubuh Igna yang kesadarannya hilang seketika. Mungkin karena capek apalagi luka-lukanya, pikir Daffa panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Yours (Igna-Daffa story)
RomanceYang satunya kalem penuh pemikiran. Yang satunya lagi polos tapi mengundang. Saat yang satunya mengingkari perasaan, yang lainnya merasa hancur. Cinta memang penuh misteri. Datangnya tak bisa disangka-sangka. Cinta itu buta. Bahkan saking butanya sa...