Menjauh dan Berburu Pacar

324 31 5
                                    


Nafas Igna masih tersengal akibat cumbuan yang dia lakukan ke Daffa. Ia sendiri juga tak mengira bakal melakukan itu. Apa otaknya mulai geser dan salah menganggap Daffa perempuan? Jangan-jangan kamarnya ini ada demit mesumnya?!

Dan kalimat Daffa bagai sebuah tonjokan tepat di muka Igna yang langsung menyadarkannya. Daffa benar. Pria cantik itu sangat benar semua kata-katanya.

Igna mati-matian mengembalikan kewarasannya ke tempat semula. Makanya ia segera bangkit dari kasur dengan sikap kikuk. Matanya tak bisa menatap ke netra Daffa yang sepertinya terus mengikuti gerakannya.

"Ma... maaf, dek. Mas salah. Mas khilaf. Mas... mo beli rokok dulu di luar," tanpa melihat Daffa dan tanpa menunggu jawaban si bishie, ia pun lekas menyambar kunci motornya, memakai jins dan kaos seadanya dan jaket, kemudian memburu ke luar.

Ia keluarkan motor dari garasi kecil kosan dan meluncur cepat-cepat ke jalanan. Ia pacu 'kuda tua'nya ke sebuah warung untuk membeli rokok. Usai itu apakah ia pulang? Tidak. Ia tidak kembali ke kosan, tapi memilih nongkrong di taman kota yang selalu ramai. Apalagi ini malam minggu. Entah harus disyukuri atau dirutuki ramainya tempat itu.

Matanya sejak tadi hanya menemukan pasangan dan pasangan saja. Dan semuanya pasangan lelaki dan perempuan. Tak ada yang sejenis. Mungkin tempatnya beda untuk jenis itu. Memangnya dia berharap ada pasangan sejenis kah? Yang pasti, dia merasa seperti alien hilang saja karena hanya sendirian. Biarlah. Ia butuh sebuah ketenangan.

Rokok pun disulut. Asapnya ia bumbungkan tinggi-tinggi. Sebenarnya ia bukanlah perokok. Ia hanya membutuhkan batang nikotin itu untuk momen-momen tertentu saja. Sama seperti saat ini. Rokok bagai pelampiasannya.

Dan Igna memilih tak pulang ke kosan dulu untuk malam ini. Biarlah kepalanya dingin untuk sebentar. Ia pun sampai pada sebuah solusi terbaik untuk dia dan Daffa... yaitu memiliki kekasih. Yah, ia akan cari kekasih. Mungkin Ningsih--pegawai kantor sebelah tempatnya kerja bersedia menjadi pacar daruratnya.

Jam dinding sudah menunjukkan waktu 21.35 WIB. Kau tahu, itu adalah jam pulang Igna paling terlama. Daffa masih ada di kamar Igna, menunggu di atas kasur sesekali menghela nafas berat.

''Kok tumben mas Igna belom pulang udah jam segini?'' gumamnya, lipat dua lutut dan taruh lengan, bertumpu di atasnya. Daffa gak tahu apa yang menyebabkan Igna sampai tak pulang selarut ini. Apa ada yang salah?

Oh, iya, gerak-gerik Igna tadi mencurigakan. Katanya cuma beli rokok, tapi kenapa bisa selama beberapa jam ini? Igna marah padanya kah? Tapi atas dasar alasan apa harus marah?

Cowok manis tersebut masih bertahan di tempatnya, di kasur Igna. Berbagai pertanyaan berputar-putar di otaknya, bahkan ia sempat mengira jika Igna sedang marah padanya.

Well, aneh ya? Kenapa Daffa merasa kehilangan seperti ini? Igna cuma beli rokok, atau bisa jadi ketemu teman-teman lama makanya terlalu asyik ngobrol. Come on Daffa! Igna itu bukan kakakmu, apalagi saudara, kenapa harus secemas itu? Lagipula, Igna itu sudah dewasa.

Untuk kesekian kalinya, Daffa menoleh ke arah jam dinding. Bibirnya terlihat manyun tanda merajuk. Perlahan-lahan, raut nya berubah menyadari sekarang sudah hampir jam 10 malam dan artinya... Igna benar-benar terlalu asyik mengobrol di luar sana. Haha... benarkah?

Untung saja Daffa tadi sempat makan sebentar, nyolong di lemari Igna. Di sana banyak makanan ringan dan juga minuman kemasan. Semoga saja Igna tak kaget saat melihat isi lemarinya berkurang, bahkan tumpukan bungkus-bungkus snack sudah ada di tempat sampah di ujung ruangan.

Daffa tenggelamin wajahnya di lengan yang bertumpu pada lutut. Ia sama sekali tak tidur jika perasaannya tak menentu begini. Daffa memang cowok, bahkan umurnya sudah 20 tahun. Tapi namanya air mata kan gak bisa dicegah jika perasaan negatif merasuk.

Let Me Be Yours (Igna-Daffa story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang