BAB 1

262 22 0
                                    

Pemandangan didepannya membuatnya terpaku. Disana, dibawah guyuran shower sang Ibu tergeletak dengan tubuh yang sudah pucat bahkan hampir membiru. Dengan darah yang terus keluar dari pergelangan tangannya. Umurnya saat itu baru enam tahun, namun dia sudah mengerti apa yang telah terjadi pada Ibunya.

Tidak ada air mata yang keluar dari mata bulatnya bahkan saat sang Ayah berteriak memanggil Ibunya yang tak lagi bernyawa. Rasa kecewa lebih mendominasi daripada rasa sedihnya.

Elina kecil kecewa pada sang Ibu yang lebih memilih menyerah terhadap kehidupan. Ia kecewa Ibunya memilih pergi di saat ia masih sangat membutuhkan sosoknya. Ia kecewa pada Ibunya yang selalu mengajarkan tentang arti kehidupan tapi Ibunya justru meninggalkan kehidupannya.

Sedih? Rasa itu ada. Ia ingin menangis tapi air matanya tak ingin jatuh. Bayangan tubuh pucat Ibunya yang dilumuri darah selalu berputar di kepala nya.

Bahkan saat setelah pemakaman Ibunya pun air matanya tak kunjung jatuh. Membuat semua keluarga dan tetangga yang menyaksikan semua itu hanya bisa terdiam dan berharap semoga Elina kecil tetap diberi ketabahan.

Hingga sebulan berlalu sejak kematian sang Ibu, Elina menjadi pendiam. Bahkan pernah dalam sehari ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hal itu membuat Ayahnya khawatir jika Elina kecil mengalami trauma segera membawa sang buah hati ke psikolog untuk memeriksakan kondisi kejiwaannya.

Setelah diperiksa ternyata tidak ada hal yang perlu di khawatirkan. Elina kecil baik-baik saja.

Tepat setahun setelah kematian sang Ibu, Elina kecil yang saat itu sudah mulai bersekolah di sekolah dasar berlari menemui Ayahnya yang sedang bekerja. Tak perduli bahwa sekarang belum saatnya pulang. Ia tak peduli jika kakinya lecet dan keringat bercucuran, ia tetap membawa kaki mungilnya berlari untuk menemui sang Ayah.

Hal itu membuat Ayahnya khawatir ketika melihat sang buah hati berlari menemui nya tanpa alas kaki. Tanpa kata Elina langsung berhamburan ke pelukan Ayahnya. Untuk beberapa saat tidak ada suara yang keluar dari bibir mungilnya selain deru nafas yang berkejaran.

Hingga kemudian isak tangis keluar dari mulutnya. Tangis pertama yang keluar setelah kepergian sang Ibu. Hal itu membuat Ayahnya bertambah khawatir apa yang terjadi kepada Putri kecilnya.

"Ada apa sayang? Apa yang terjadi? Hem, mengapa Putri Ayah menangis? " tanya Rudi, sang Ayah.

Tidak ada jawaban. Sang Putri masih terus terisak mengeluarkan air matanya.

Tanpa bertanya lagi Rudi langsung membawa Putrinya pulang.

"Ayah!" panggil Elina ketika mereka tiba di rumah. Tangisnya mulai mereda walau masih sesenggukan.

"Iya sayang. Ada apa hem? Coba cerita sama Ayah." jawab Rudi sambil menghapus bekas aliran air mata di pipi tembem putrinya.

Elina hanya diam. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan. Membuat Rudi semakin khawatir.

"Elina adalah Putri Ayah yang pemberani. Jangan takut sayang. Katakan pada Ayah apa yang membuat menangis. Ayah akan mendengarkan." bujuk Rudi pada Elina.

Hingga setelah beberapa menit kemudian tetap tidak ada kata yang keluar dari mulut putrinya. Rudi hanya bisa menghela nafasnya.

Barulah ketika Rudi berniat beranjak menuju lemari baju, Elina mulai bersuara.

"Ayah, apakah ibu akan masuk neraka? Kata teman di sekolah jika orang mati bunuh diri maka dia akan masuk neraka. Dan Ibu bunuh diri kan Ayah? Apa itu artinya Ibu akan masuk neraka? Mengapa Ayah?  Mengapa Ibu bunuh diri? Ibu bilang kita harus mematuhi dan melaksanakan segala perintah Allah, dan menjauhi segala larangan-nya. Tapi mengapa Ibu bunuh diri?  Bukankah bunuh diri adalah salah satu larangan Allah, Ayah? Hiks hiks aku tak ingin Ibu masuk neraka Ayah. Atau Ibu hanya berbohong tentang larangan Allah. Hiks hiks Ibu." pertanyaan bercampur isak tangis yang keluar dari bibir sang putri membuat Rudi ikut mengeluarkan air mata.

After A Long Time [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang