BAB 4

128 20 0
                                    

Happy reading :v

*****
Saat itu cuaca tampak cerah, namun tak secerah senyum seorang gadis yang tampak berjalan dengan lesu. Hari itu merupakan hari pertama ia berkuliah di salah satu Universitas  di Turki. Universitas Seni Rupa Murni Mimar Sinan atau Mimar Sinan Güzel Sanatlar Üniversitesi (MSGSÜ).

Tidak, berkuliah di Universitas itu bukan impiannya. Ia tak mempunyai hal yang bisa dijadikannya impian, setidaknya itu menurutnya. Universitas itu merupakan Universitas impian Ibunya. Dulu Ibunya sangat ingin menuntut ilmu di sana namun karena suatu hal impian tersebut tak tersampaikan. Hingga ia bertekad bahwa ia akan melaksanakan impian Ibunya.

Impiannya telah lenyap sejak lama sekali. Tak ada yang tahu itu, selain dia dan Tuhan. Hidupnya hanya sebatas apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh agama dan Ayahnya.

Bahkan ia sering bertanya-tanya apakah hidup yang dijalaninya ini sudah benar? Apakah hidup seperti ini yang dia inginkan?

Namun, semua pertanyaan itu hilang ketika sekelebat bayangan masa lalu kembali menghampiri setiap mimpi di tidurnya. Hatinya terasa hampa dan itu menyesakkan.

Bugh bughh

"Katakan dimana wanita itu hah?!"
Terdengar seperti suara orang yang sedang berkelahi. Sepertinya suara itu berasal dari gang sempit yang berada di dekat pembuangan sampah.

"Aku tidak tahu."

"Jangan berbohong! Aku tahu kau yang menyembunyikan wanita itu. Cepat katakan dimana atau kau akan kubunuh!!"

Elina berusaha tidak perduli dan mencoba kembali melanjutkan perjalanannya. Namun, entah mendapat dorongan darimana tiba-tiba saja kakinya melangkah menuju ke tempat suara tadi berasal.

Otaknya memerintahkan untuk segera pergi dari sana. Namun, kakinya seperti enggan melaksanakan perintah dari otaknya. Kakinya melangkah perlahan dan suara seperti pukulan-pukulan itu semakin terdengar jelas.

Elina memberanikan dirinya untuk mengintip dari balik tong- tong bekas yang tersusun rapi didekat dinding tempat kejadian itu berlangsung. Di sana ia melihat ada lima orang pria berpakaian hitam dengan sobekan dimana-mana. Dan seorang pria berbaju putih yang diikat di sebuah kursi. Keadaan pria berbaju putih itu sangat mengenaskan. Wajahnya membengkak dengan luka-luka yang masih mengeluarkan darah segar hingga mengotori pakaiannya.

Apa-apaan itu batinnya.

Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu pada seorang pria yang sudah tak berdaya. Itu namanya pengeroyokan. Tidak bisa dibiarkan. Dan apa tadi, mereka berbicara dengan bahasa Indonesia, apa mereka orang Indonesia? Berani sekali mereka melakukan kejahatan di negeri orang.

Ia ingin membantu pria itu. Tapi apa yang harus ia lakukan? Melawan mereka? Itu tak mungkin. Meskipun Elina pemegang sabuk hitam taekwondo, tetapi ia tak mungkin melawan pria-pria berotot itu sendiri. Dia masih sayang nyawanya.

Tapi jika dia diam saja, pria itu bisa mati. Tidak, ini tak bisa dibiarkan. Ia harus melakukan sesuatu.

Berpikir Elina, berpikir!!

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benaknya. Ia ragu rencana ini akan berhasil. Tapi tidak ada salahnya mencoba.

Elina mengeluarkan handphone dari tas ranselnya kemudian mulai mengurai-atiknya. Tak lama kemudian ia menemukan apa yang dicarinya. Ia mendekatkan handphone nya dengan mulut tong tempat ia berdiri dan mulai memutar ringtone yang menyerupai sirine polisi. Mulai dari volume yang kecil perlahan ia menambah volumenya menjadi semakin besar.

Dalam hati ia berharap semoga rencannya ini berhasil.

Tampak lima pria tadi mulai panik dan bergegas melarikan diri. Mereka mengira bahwa ada polisi yang datang. Namun,

Dorr

Elina terpaku di tempatnya. Salah satu dari lima pria itu menembakan pelurunya kepada pria berbaju putih itu sebelum kemudian melarikan diri.

Kakinya menjadi lemas seketika. Bukan seperti ini yang seharusnya terjadi. Tidak, bukan ini yang dia inginkan.

Dengan sekuat tenaga Elina mencoba menghampiri pria itu. Berharap ia belum terlambat. Tembakan itu mengenai dada kiri pria itu. Elina mendekat dan memeluk tubuh pria itu.

"Kau datang?" Suara lemah disertai senyum yang tersungging itu berasal   dari pria berbaju putih itu.

Namun pertanyaan itu tak Elina hiraukan. Tangannya menyentuh luka pria itu. Mencoba menghentikan pendarahan dengan menekan lukanya.

"A..aku disini. Tenanglah, aku..disini untukmu. Tolong! To..t..tolong." Elina mulai panik saat melihat mata pria itu perlahan menutup.

Kilasan masa lalu itu kembali menghampiri otaknya. Ada banyak darah.

Darah!

Darah dimana-mana.

Tidak!

Jangan lagi kumohon.

Tidak!

Nafas Elina mulai sesak. Tangannya bergetar hebat. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Elina mencoba meraih handphonenya dan mendial nomor panggilan darurat.

"Tolong...ada banyak darah. Sakit sekali..hah..hahh. tolong!"

Kemudian kegelapan menghampirinya. Tubuhnya terjatuh menimpa pria berbaju putih itu bersamaan dengan air mata yang mengalir di wajahnya.

"Kau datang?"

"Aku disini. Tenanglah. Aku akan selalu ada disini untukmu."

"Jangan pergi!"

"Aku tak akan pergi. Aku akan selalu ada untukmu."

Kilasan-kilasan itu muncul seiring kegelapan menenggelamkannya.

*****
"Ma, apa mama tahu dimana Elina sekarang?" Tanya Evan pada Dewi.

"Hem, mengapa tiba-tiba kau menanyakan wanita itu?" Tanya Dewi heran mendengar pertanyaan dari putranya.

"Aku membutuhkan jawaban Ma, bukan pertanyaan."

"Dasar. Mama tidak tahu apa dan bagaimana keadaan wanita itu. Sudahlah jangan tanyakan itu. Nanti Papamu marah." Tegas Dewi pada putranya.

"Ada sesuatu yang tak terlihat namun ia ada. Dan ada sesuatu yang berwujud namun ia tak tampak. Rasanya menyesakkan Ma." Mata Evan menatap pemandangan dari jendela kamar inapnya. 'Dan aku tak tahu darimana rasa itu berasal. Yang aku tahu, aku lelah Ma. Aku sudah tak sanggup lagi. Rasa itu datang dan mencecikku namun ia tak membunuhku. Seolah ia memang hadir untuk menyiksaku.' lanjut Evan dalam hati.

***
TBC

17 April 2017
12 Juni 2020

Hai hai balik lagi nih.
Jangan lupa meninggalkan jejak.. :v

After A Long Time [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang