14. Pembohong

42.1K 2.7K 97
                                    

Keesokan hari Aina diperbolehkan pulang. Semalaman Zico tidak pulang, dia menemani Aina dirumah sakit sedangkan Meta kembali kerumah.

Zico yang memakai topi, kaca mata hitam dan jaket kulit berwarna hitam berjalan mendahului Aina, dia berada satu meter didepan Aina.

Aina tahu dia memakai seperti itu karena takut ada wartawan yang mengikutinya. Apalagi jika dia ketahuan berpoligami, pasti akan menjadi berita paling hangat selama berbulan-bulan.

Disepanjang perjalanan, Aina lebih baik diam daripada harus mendengar perkataan Zico yang tidak ingin didengarnya. Dia memejamkan mata untuk menghindar dari Zico.

Zico melirik kearah Aina. Biasanya Aina akan menanyakan sesuatu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Zico. Itu membuatnya tertarik untuk menebak pertanyaan Aina selanjutnya.

"Bangunlah, kita sudah sampai." kata Zico sambil membuka seatbelt mobilnya.

Aina yang mendengar perkataan Zico membuka matanya, dia melihat sekelilingnya tampak bingung. "Kenapa kita disini?" tanya Aina yang sudah menyadari keberadaannya, bukan dihotel tempat tinggalnya kemarin tapi rumah Zico dan Meta.

"Kamu akan tinggal disini sementara waktu." Aina mengikuti langkah Zico. Dia membawa Aina kelantai dua, kamar untuk sementaranya. "Ini kamar kamu." membukakan pintu. "Aku sudah menyuruh seseorang untuk membereskan pakaian kamu."

Aina lebih tertarik pada single sofa berwarna biru yang berada dipojok kamar daripada mendengar perkataan Zico. Dia langsung duduk, tersenyum senang ketika merasa nyaman. Dia menyandarkan tubuhnya pada sofa, kemudian memejamkan mata.

Zico yang melihat Aina tersenyum, ikut tersenyum. Hanya dengan sebuah kursi Aina dapat terlihat bahagia. Karena tidak ingin menganggu Aina, Zico melanglahan kakinya keluar kamar. Dia tidak berhenti tersenyum, dengan ini dia akan sesuka hatinya melihat perkembangan janin yang berada diperut Aina.

"Aku masih tidak terima kamu bawa dia kerumah ini." perkataan pertama yang didengar Zico ketika masuk kedalam kamarnya.

Zico mengabaikan Meta, dia menuju almari, mengambil kaos pendek berwarna putih dan celana kain panjang berwarna hitam.

"Bagaimana jika seseorang mengetahuinya? Apa kamu lupa pembantu disini sangat kepo." Meta yang masih melanjutkan pertanyaannya.

Zico duduk ditepi ranjang, "bukankah sudah aku bilang, mereka tidak akan tahu karena aku sudah mengatakan pada mereka jika Aina adalah temanku yang telah ditinggal suaminya ketika mengandung." Zico mengambil berkas yang berada dinakas, menelitinya.

"Mereka tidak semudah itu percaya." Meta ikut duduk disamping Zico.

zico menghentikan kegiatannya, menoleh kearah Meta. "Kalau kamu tidak banyak bicara, mereka tidak akan tahu. Sudah, jangan bahas masalah ini lagi. Sekarang tidur." Zico mengembalikan berkas kenakas kemudian merebahkan badannya. Terlelap seketika.

Meta yang melihat Zico tertidur hanya bisa cemberut. Suaminya ini sedikit demi sudah berubah. Bahkan dia lupa mencium kening Meta sebelum tidur. Hal yang selalu dilakukannya selama delapan tahun ini lupa begitu saja bahkan dia tidur membelakangi Meta.

Aina melihat jam yang tertempel didinding kamar tidurnya. Baru pukul dua belas malam. Dia mengelus perutnya yang keroncongan minta diisi. Aina melangkahkan kakinya menuju pintu, memegang handle pintu. Dia ragu, apakah sebaiknya dia keluar mencari makan? Atau menunggu disini saja sampai waktunya sarapan tiba? Tapi perutnya sudah sangat kelaparan.

Dia melongokkan kepala keluar, melihat sekeliling yang tampak gelap. Dengan mengendap-endap dia menuju lantai satu tempat dapur berada. Harapannya hanya dua yaitu menemukan makanan dan tidak ketahuan.

Aku, Kamu Dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang