Chapter 2

313 9 0
                                    

Sudah seminggu lebih, Jungkook mengejarku. Apapun dilakukannya untuk menarik perhatianku. Sayangnya, aku tidak terpancing, karena aku masih lurus.
"Aku iri padamu", curhat Jimin yang merasa tidak dilirik oleh Jungkook.
"Jimin, tolong buat bocah itu jatuh cinta padamu~", pintaku yang merasa tersiksa atas PDKT yang dilakukan Jungkook.
"Aku tidak bisa. Dia bilang jiwa dan raganya hanya untuk Alien. Dan kau adalah Alien yang dimaksudnya",
Jujur, aku tidak tahu mengapa Jungkook begitu tergila-gila pada laki-laki tampan sepertiku? Seharusnya dia membenciku karena kejadian 3 tahun yang lalu.
Di markas Bangtan, sebuah gudang yang tidak terpakai.
"Perkenalkan! Anggota baru Bangtan!", Jimin tersenyum memperkenalkan sosok yang dibawanya itu.
"Hai! Aku Jungkook!", sapa sosok itu tersenyum manis.
Dengan cepat aku menyeret Jimin menjauh.
"Mengapa kau membawa bocah itu ke sini?", bisikku gregetan.
"Aku ingin dekat dengannya, tolong bantu aku untuk PDKT", Jimin mengatupkan kedua tangannya, meminta bantuanku.
Akhirnya aku menyetujui Jungkook untuk bergabung, semua kulakukan untuk Jimin. Semoga saja bocah itu berpindah ke lain hati.
Tapi ternyata aku salah. Dia semakin berani mendekatiku, merayuku dengan gombalan basi. Aku bisa melihat raut sedih di wajah Jimin, meskipun dia memaksakan diri untuk tersenyum.
"Kurasa aku menyerah~", Jimin meneguk habis sakenya.
Usaha PDKTnya gagal, Jungkook sama sekali tidak tertarik padanya. Terang-terangan Jungkook menganggap Jimin sebagai temannya. Bagi Jimin, itu terlalu menyakitkan daripada dianggap kakak.
"Lalu? Bagaimana denganku? Apa kau tega melihatku tersiksa olehnya?", raungku.
"Dia serius. Kaupun juga harus serius",
"Aku serius tidak menyukainya. Aku masih lurus, Jimin!",
"Membelok juga tidak apa-apa. Kau tetap temanku...ehehehe...", Jimin mulai mabuk.
"Come on, Jimin~",
"Bahagiakan Jungkook-ku, OK bro?", Jimin menepuk pundakku, lalu melenggang pergi meninggalkanku.
Jam istirahat.
Di taman belakang sekolah.
"Mengapa kau menyukaiku?",
"Karena... Mmmm~ Apa ya?", Jungkook sedang berpikir keras sejenak, "Tidak tahu",
"Lalu mengapa kau bisa menyukaiku, sedangkan kau tidak tahu alasannya?",
"Entahlah! Mungkin aku telah dipelet olehmu",
Melihat cengirannya, membuatku ingin menggeplak kepalanya.
"Sejak kapan kau menyukaiku?",
"Saat kau hadir dalam mimpi basahku. Aku merasa kau adalah jodohku di masa depan",
Aku mulai melayangkan tanganku ke kepalanya, tapi dengan cepat Namjoon, Hoseok dan Jin mencegahku. Aku tidak tahu, kapan mereka datang?
"Dia Jeon", bisik Namjoon, memperingatkanku bahwa orang yang akan kupukul itu seorang Jeon.
"Tidak apa-apa kok, kalau kau mau memukulku. Memang selalu ada KDRT dalam menjalankan hubungan", jelas Jungkook dengan gaya istri yang teraniaya.
"Pukul saja dia!", ketiga temanku mendukungku untuk memukul bocah ini.
Dengan senang hati, aku menghajarnya hingga babak belur.
Sepulang dari markas menuju rumah, aku merasa ada yang mengikutiku. Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat orang yang tidak ingin kulihat.
"Mau apa lagi, bocah!",
"Aku tidak bisa pulang dengan kondisi seperti ini", lirih Jungkook menunjukkan wajah sendunya yang dihiasi lebam di bawah mata kiri, pelipis kiri dan bibirnya yang sobek.
"Kau bisa menginap di tempat Jimin",
"Aku tidak ingin memberi harapan palsu pada Jimin",
"Itu masalahmu!", aku berlari meninggalkannya.
Malam harinya, sebelum tidur aku malah kepikiran dengan nasib bocah itu. Bagaimana jika dia nekat pulang dengan kondisi babak belur? Bagaimana jika dia mengadu pada Yoongi? Bisa-bisa Yoongi mengamuk pada Bangtan. Padahal teman-temanku tidak ikut memukulnya, hanya aku yang memukulnya.
"Cih! Bocah!",
Dengan cepat aku berlari keluar mencari Jungkook.
Aku menumukan Jungkook di tempat tadi kami bertemu. Dia sedang terbaring tidur beralas karton, persis seperti gelandangan.
"Oi, bocah!", kutendang kakinya yang menekuk.
"Hn?", matanya mulai membuka sayu-sayu.
"Ikut aku!", kutarik kerah seragamnya, seperti mencubit punggung anak kucing.
"Kau mau membawaku kemana?",
"Ke rumahku",
"Kau ingin memperkenalkanku pada orang tuamu?",
Kugeplak kepalanya.
"Berhenti berpikir di luar jangkauan!",
"Aku hanya mengutarakan apa yang ada di pikiranku",
"Ada baiknya kalau kau diam",
"Kau suka kalau aku diam?",
"Hn! Sangat suka sekali!",
"Baiklah! Aku akan mencoba diam. Silent is gold, betul kan Alien?",
Aku berani taruhan, bahwa dia tidak akan bisa diam.
Sesampainya di rumah.
Mama terkejut melihat wajah babak belur Jungkook. Mama langsung mengambil kotak P3K di dapur, lalu mengobati luka lebam Jungkook.
"Siapa yang memukulmu?",
"A..",
"Seorang preman tak dikenal!", selaku. Aku memberi isyarat pada Jungkook agar menutup mulutnya.
"Ah! Silent is gold!", serunya.
"Ng?", mama tidak mengerti maksudnya.
"Silent is gold kan, eomma?",
Berani sekali dia memanggil mamaku seperti itu?
"O, itu pepatah zaman dulu, tidak berlaku di keluarga ini",
"Lalu apa?", tanya Jungkook ingin tahu.
"RaJin pangkal pandai. Tidak pandai itu karena tidak raJin. Bukan karena bakat, keturunan ataupun makanan", mama melirik ke arahku, aku tahu mama sedang menyindirku.
Setelah mengobati lukanya, aku mengajak Jungkook ke kamar.
"Mamamu cantik, tapi aku lebih tertarik padamu", perkataan Jungkook itu membuatku membanting tubuhnya ke lantai.
"Perbaiki kata-katamu itu, bocah!",
"Mamamu cantik dan baik, aku beruntung punya ibu mertua seperti itu",
Kupijak perutnya dengan kesal.
"Apa aku salah lagi?",
"Kau selalu salah!",
"Hn! Aku tahu. Uke selalu salah di mata seme",
"Apa maksudmu uke seme?",
"Kau seme, aku uke",
"Aku tidak mengerti",
"Kau bisa googling",
Pasti hal itu berbau hombreng.
Kulempar bantal dan selimut ke wajahnya.
"Kau tidur di bawah!",
"Tidak ada alas?",
"Good bam!", aku langsung mematikan lampu kamar.
"Hn! Good bam. Mimpikan aku ya, karena aku juga akan memimpikanmu",
"Ih! Najis!",
Aku tidak bisa tidur. Di dalam pikiranku terus bergentayangan 2 kata itu, seme uke.
Akhirnya aku menyambar ponselku dari meja dan mulai menggoogling.
Terlusuri, lalu baca dan pahami artinya. Bayangi...
"Watdepak!",
Keesokan pagi harinya.
Jungkook telah bangun lebih awal dariku. Dia membantu mama menyiapkan sarapan. Dia terlihat cantik mengenakan apron bermotif bunga-bunga itu.
"Kau terpesona?", bisik Jungkook agar mama tidak mendengar.
"Kau seperti banci",
Jungkook terjongkok di sudut ruangan.
"Waktunya sarapan. Kookie, ayo!", panggil mama.
Jungkook secepat kilat mengambil posisi duduk di samping mama, tempat duduk papa. Seminggu ini, papa sedang dinas ke luar kota.
"Enak", gumanku pada semangkuk bubur di hadapanku, rasanya berbeda dari bubur biasanya.
"Wah! Enak!", seru mama, "Tidak kusangka, ternyata Kookie bisa memasak seenak ini",
"Ehehe...", Jungkook tersenyum sambil memberiku 'peace'.
Persetan dengan siapa yang membuat bubur ini, yang jelas aku lapar dan tidak akan menyia-nyiakan makanan seenak ini!
Jungkook tidak ke sekolah karena wajahnya masih lebam. Dia tidak ingin pihak sekolah menuduhnya berkelahi. Lebih baik membantu mama di rumah.
Uh! Mengapa aku malah tidak sabar ingin secepatnya pulang ke rumah?
"Aku pulang!",
"selamat datang!", sahut Jungkook tersenyum menyambutku.
"Kau seperti istri yang sedang menyambut suami saja!", dengusku.
"Apa terlihat seperti itu?",
"Hn!",
Jungkook melompat kecil. Wajahnya terlihat begitu senang.
Ck! Apa aku salah ucap, sehingga dia bisa sesenang itu?
Aku merebahkan diri di atas sofa. Dari sini aku bisa mencium aroma masakan yang wangi.
"Kau masak apa?", tanyaku.
"Sup tomat dan salmon goreng", jawab Jungkook.
"Mamaku kemana?",
"Eomma sedang ke sebelah, melihat kyungsoo-sii membuat kue",
Ck! Mama tidak ada kapok-kapoknya. Padahal mama sama sekali tidak ada bakat membuat kue. Memasak saja masih hambar.
"BTW, kapan kau akan pergi dari rumahku?",
"Kau mengusirku?", Jungkook jatuh terduduk di lantai, gaya seperti istri yang teraniaya.
Kulempar wajah jijiknya itu dengan bantal sofa.
"Apa keluargamu tidak mencarimu?",
Jungkook merayap di lantai dan meletakkan kepalanya di pangkuanku.
"Aku sudah mengabari Hyung",
"Apa yang kau katakan padanya?",
"Aku baik-baik saja",
"Hanya itu?",
"Hn!",
"Lalu? Reaksi orang tuamu?",
"Orang tuaku sudah meninggal",
"O, maaf~",
"Aku hanya tinggal bersama kakek, Hyung dan sekutunya",
"Sekutu? Berarti rumahmu itu ramai ya?",
"Hn! Terlalu ramai, sehingga aku tidak bisa mengenali mereka. Mereka semua sama",
Wajar saja, keluarga Jeon adalah keluarga mafia terbesar di Seoul. Para pengikutnya lebih dari 200.
"Kelak aku akan meninggalkan tempat itu",
"Serius?", rasanya aneh, jika cucu mafia yang terpandang seperti Jungkook ingin meninggalkan kediaman seluas dan semegah itu?
Jungkook mengangkat kepalanya, tatapan matanya menyorot menatapku.
"Aku ingin tinggal bersamu", ucapannya itu terdengar seperti permohonan.
Bola mata kelam itu, membuatku iba.
Sudah seminggu lebih, aku tidak melihat Jungkook. Jungkook juga tidak masuk sekolah ataupun mampir ke markas. Tidak ada yang tahu, alasannya tidak masuk sekolah.
Apa aku harus ke rumahnya ya?
Akhirnya aku benar-benar ke rumahnya. Rumah kediaman Jeon sangat luas, 3 kali lipat luasnya dari rumahku.
Saat aku menekan bell, tampak 4 orang pria sangar bertubuh gemuk tinggi mengenakan jas hitam dan celana hitam.
"Mereka semua sama",
Iya, Jungkook benar. Wajah keempat pria sangar itu sama. Postur tubuh, pakaian dan juga model rambut cepak berwarna hitam.
"Aku ingin bertemu Jeon Jungkook", aku mencoba tenang dan bersikap biasa-biasa, walaupun aku sedikit gugup
"Kau siapa?",
"Aku Kim Taehyung, temannya",
"Teman?", pria itu memicingkan matanya, menatapku dari atas sampai bawah.
"Sudah seminggu lebih dia tidak masuk sekolah. Apa dia baik-baik saja?",
"ALIEN!", teriak seseorang yang kucari.
4 pria itu menoleh ke belakang, mendadak horror saat melihat Jungkook berlari terpincang-pincang menghampiri kami.
"Tuan Jungkook! Kaki anda!",
"Tuan Jungkook! Anda tidak boleh berlari!", mereka dengan cepat menggendong Jungkook.
"Turunkan aku! Aku mau bertemu Alien!", mereka dengan sigap menggendong dan memasukkan Jungkook ke dalam.
Salah satu dari mereka mengarahkanku untuk masuk. Sepanjang jalan, aku berpapasan dengan orang yang berwajah sama. Ada juga yang berbeda style, tapi tetap saja aku tidak bisa mengenali mereka semuanya.
"Uh! Mereka terlalu berlebihan!", dengus Jungkook.
Jungkook mengenakan yukata berwarna biru dan celana berwarna abu-abu, ada lambang khas Jeon di belakangnya.
"Kau cocok mengenakan itu", aku lebih menyukainya berkostum tradisional daripada mengenakan seragam sekolah.
"Kau suka?",
"Hn! Kau terlihat anggun",
"Kau beruntung memiliki uke anggun sepertiku!", ucap Jungkook dengan gaya songong khas Jeon.
Kutarik ucapanku, dia sama sekali tidak ada anggun-anggunnya!
"Kakimu kenapa?", tanyaku melihat kaki kirinya digips.
"Jatuh dari kuda",
"Ow, kasian!", ucapku dengan nada mengejek.
"Aku senang kau menjengukku",
"Aku kebetulan lewat",
"Tidak ada yang mau lewat daerah angker ini. Kau pasti sengaja ke sini. Kau rindu padaku?",
"Ih! Najis!",
"Aku tahu kau pasti rindu padaku", Jungkook tersenyum kecil.
"Hey! Jangan berpikir yang aneh-aneh, bocah!",
Kami berbincang beberapa hal. Setelah tamat sekolah, Yoongi langsung terjun ke dunia bisnis, mulai belajar mengenai perusahaan keluarganya, sekarang dia telah menjadi president director. Aku tidak menyangka, berandalan itu bisa sepintar ini. Aku juga tidak mau kalah darinya!
Jungkook memintaku untuk menginap, tapi kutolak dengan cepat. Aku tidak ingin bertemu dengan kakek galak dan kakaknya yang sok keren itu. Jungkook bilang dia kesepian, itu hanya alasannya. Rumah kuno seluas ini, terlihat orang asing yang berlalu lalang. Bagian luar juga tampak beberapa orang berjaga-jaga. Hanya saja, aura rumah ini terasa dingin dan membosankan. Aku jadi kasihan melihat Jungkook terkurung di rumah ini.
"Kau boleh bermain ke rumahku",
"Benarkah?",
"Em, maksudku markas, bukan rumahku ya!", ralatku.
Aku tidak ingin dia dekat dengan mamaku. Bisa-bisa mama merestuinya menjadi menantu. Iiii~ jangan sampai!
"Aku merasa nyaman dekat dengan kalian. Kalian temanku",
"Dimana teman-teman SMPmu dulu?",
"Itu...", Jungkook terkesan enggan menjawab.
"Ah! Aku mengerti", tebakku melihat ekspresi sendunya.
Dia pasti tidak punya teman. Karena mana ada yang mau berteman dengan seorang Jeon? Menyapa saja sudah ketakutan, apa lagi mengajaknya berbicara? Mereka masih sayang nyawa.
Seorang pria jangkung berambut abu-abu dengan masker hitam menutupi mulut dan hidungnya, Kris-sii. Ya, hanya pria inilah yang bisa kukenali dengan mudah.
Jungkook menyuruh Kris-sii untuk mengantarku sampai ke pintu gerbang, Jungkook takut bahwa aku akan tersesat menemukan pintu keluar. Atau bisa saja aku dipukuli karena disangka penyusup.
"Terima kasih atas kunjungan anda. Jungkook-sama pasti senang sekali", Kris-sii membungkuk hormat diikuti oleh 4 pria bertubuh besar tadi.
"Ehehehe...", cengirku.
"Semoga ini bukan kunjungan terakhir anda",
"Tentu! Aku akan datang lagi!", tegasku.
Jungkook sudah masuk sekolah, seperti biasa, dia terus mengusikku. Aku sudah biasa menanggapinya.
"Ayo dicoba, Alien! Aku memasak ini khusus untukmu", pinta Jungkook memelas agar aku memakan bekal yang dibuatnya.
Karena kasihan padanya dan juga bekal itu terlihat menggoda, akhirnya aku memakannya. Dan rasanya enak, sangat berbeda dengan masakan mama.
"Kurasa mamaku harus belajar banyak darimu",
"Belajar?",
"Hn. Masakan mamaku sangat payah!",
Jungkook mendadak tidak suka dengan perkataanku. Dia marah dan mengambil jatah bekalku.
"Aku tidak suka kau menghina eomma! Bagaimanapun juga eomma itu mamamu!",
"Maaf, maaf, aku tidak tahu kalau kau sesensi ini", aku menarik bekalku kembali.
"Kau harus bersyukur masih punya orang tua. Jangan mengeluh",
"Hn. Maaf deh!",
Seharusnya aku lebih berhati-hati dalam berbicara.
"Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah, tetap...",
"Cukup! Jangan menyanyi dengan nada sumbang seperti itu!", selaku.
Suaranya tidak sebagus wajahnya.
Jungkook suka sekali main ke rumahku. Mama juga menyambutnya dengan senang hati. Mama senang bisa belajar memasak sambil berbincang-bincang dengan Jungkook.
"Akhir-akhir ini kau sering pulang cepat, ada apa?", tanya mama mencicipi brownies yang dibuatnya bersama Jungkook.
"Apa tidak boleh?", cibirku.
Kuakui, selesai pulang sekolah, aku memang langsung pulang ke rumah, biasanya aku selalu di markas hingga senja.
"Mama rasa, kau mulai berubah", mama tersenyum melirik Jungkook yang sedang mencuci peralatan kue.
Aku menarik sepiring kue yang dicicipi mama.
"Laki-laki tidak seharusnya mencuci", sindirku pada mama yang terlihat seperti ibu tiri di dongeng Cinderella.
"Laki-laki yang jago di dapur, itu baru keren. Benar kan, Kookie?", mama kembeli menarik jatah kuenya.
"Hn! Aku ingin terlihat keren di hadapan Alien!",
"Jangan mengganti namaku sesuka hatimu! Dasar, bocah!", protesku.
"Ow, jadi 'Alien' yang dimaksud Kookie itu Taehyung ya!", mama mengangguk mengerti.
Aku penasaran dengan apa yang dibicarakan Jungkook pada mama saat aku tida ada?
"Iyup! Alien adalah semeku!", tambah Jungkook sambil tersenyum manis. Hey! Dia tidak manis! Mmm~ Iya, dia manis...
CRiiiiNG
Sendok yang dipegang mama terlepas.
"Hee?!", jerit mama histeris.
Semoga mama menghajar dan menyeret Jungkook keluar rumah, lalu melarang Jungkook untuk datang lagi.
Tapi ternyata...
Mama malah berlari dan memeluk gemas Jungkook.
"Welcome welcome, Kookie sayang!", seru mama kegirangan.
Ya Tuhan, tolong tampar aku sekarang!
"Jadi, mamamu sudah memberi lampu hijau?", tanya Namjoon.
Aku kabur dari rumah dan menginap di tempat Namjoon. Namjoon adalah pemecah masalah di Bangtan. Kuharap Namjoon bisa memberiku solusi terbaik.
Namjoon menepuk pundakku.
"Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah", ucap Namjoon, mengubah lirik lagu menjadi puisi.
"Mengapa kau memberiku solusi terburuk ini, Joon?", aku menarik-narik kaos Namjoon, mengguncang-guncang tubuhnya dengan gregetan.
"Hanya itu yang melintas di otakku",
"Gah!",
"Percaya deh, dia uke terbaik dari uke yang pernah Jimin pacari!",
Apa hubungannya?!
Sepulang sekolah, Jungkook mengikuti kami. Dia memaksa ikut bermain basket. Dengan senang hati mereka -Jimin, Hoseok, Namjoon dan Jin- menyetujuinya.
"3 on 3. Itu ide yang bagus", saran Namjoon.
"Aku, Namjoon dan Jin. 1 team", Hoseok seenak perut menentukan teamnya.
"Noprop! Karena kami berdua kuat!", kurangkul pundak Jimin, menghiraukan keberadaan Jungkook.
"Sebagai super uke, aku tidak akan mengecewakanmu kok, Alien!", Jungkook ikut merangkulku.
Tanpa berdebat dengannya, kamipun memulai permainan. Tidak ada juri.
Lempar, tangkap, drible, kejar.
Jungkook berhasil melakukan shoot pertama, mencetak 3 point untuk teamku.
Lagi, dan lagi.
Jungkook tidak membiarkan kami ataupun team lawan untuk mencetak point. Dia benar-benar gesit seperti Yoongi.
Tap tap tap
BRuuuuK
Jungkook tiba-tiba terjatuh.
"Aduh! Princess jatuh!", seru Hoseok heboh.
"Kau kenapa?", tanyaku menghampirinya.
"Pusing kepala Kookie", Jungkook enggan mengangkat wajahnya yang menempel di lantai. Dia juga masih betah terbaring telungkup.
"Kalau kau tidak terbiasa olahraga, sebaiknya jangan ikut!", ejekku.
Jungkook mengangkat kepalanya, dagunya masih menempel di lantai. Aku bisa melihat wajahnya yang pucat dan berkeringat.
"Kepalaku pusing, Alien~", lirihnya.
"Hayo, seme! Tanggung jawab!", Hoseok menepuk bahuku.
Hoseok, Namjoon dan Jin pergi meninggalkan kami. Mereka sama sekali tidak mau membantuku. Begitu pula dengan Jimin, dia berbisik padaku agar aku menjadi Jeon bungsu ini dengan baik.
Aku menggendong Jungkook untuk naik ke punggungku. Dia tidak seberat yang kukira.
"Kau merepotkanku, bocah!",
"Maaf~",
"Lain kali aku tidak akan mengajakmu main lagi",
"Mengapa? Padahal aku senang bermain dengan kalian",
"Itu kerena kau merepotkan!",
"O, begitu ya? Maaf, telah merepotkanmu",
Setelah itu, tidak terjadi percakapan di antara kami. Aku mengantarnya hingga sampai di gerbang rumahnya. Sebelum menekan bell, Jungkook turun dari punggungku. Dia tidak ingin sekutunya mengira terjadi ada apa-apa padanya.
"Kapan-kapan kami akan mengajakmu main permainan ringan. Tidak seberat basket", tawarku. Aku merasa bersalah telah mengatainya merepotkan. Padahal aku tahu, dia sama sekali tidak punya teman bermain.
"Hn. Aku senang", Jungkook tersenyum kecil, apa dia masih memikirkan ucapanku tadi?
"Mungkin besok, aku tidak masuk sekolah", ucapnya.
"Kau ingin membolos?",
"2 atau 3 hari, atau bisa jadi seminggu", jawabannya tidak nyambung.
"Maksudmu?",
"Tolong, rindukan aku",
Jungkook memelukku, lalu dia mendorong pintu dan berlari secepat kilat meninggalkanku yang masih mencerna ucapannya itu.
"Apa maksudmu, bocah?",

TBC

JEON JUNGKOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang