Satu minggu berselang setelah malam yang menyakitkan. Langit kelabu di siang itu. Jeon Jungkook yang tengah menyibak halaman buku di sudut perpustakaan dikejutkan dengan getar telepon selulernya.
Ia mendapatkan sebuah pesan. Dahinya mengrenyit saat pesan itu berbentuk sebuah video. Di tuntut rasa penasaran, Jongkook membuka pesan yang dia terima.
Jantungnya berhenti berdetak. Bola matanya membesar. Jari-jari tangannya gemetar selang dua detik pertama film itu berputar.
Dalam layar ponselnya tampak dirinya yang tak berdaya. Meronta, menangis untuk di kasihani, mengiba untuk di lepaskan, dan memohon pada pria-pria itu untuk berhenti. Kilasan memori yang ia pendam sebagai mimpi buruk itu berhamburan. Berputar ulang di depan matanya. Seolah Jungkook berdiri di sana dan melihat kejadian yang menimpa dirinya.
Keringat dingin bercucuran dari dahi Jungkook, saat tak lama setelah datangnya pesan itu, ponsel demi ponsel berbunyi layaknya sebuah dering kematian. Sosok-sosok lainnya yang tengah berada dalam perpustakaan sontak menatap keberadaannya. Dengan mata menghakimi menutup mulut tak percaya. Mereka saling berbisik. Mengabaikan fakta jika Jungkook hanyalah korban kebejatan pria-pria tak bermoral.
Jungkook meremas ponselnya. Meninggalkan bukunya terbuka di atas meja hanya untuk menghilang dari pandangan orang-orang.
Namun ia melakukan langkah yang salah.
Dia yang keluar dari perpustakaan justru mendapatkan penghakiman yang jauh lebih kejam. Mulut-mulut berbisa siswi yang tak menyukainya terang-terangan mencercanya.
"Dasar menjijikkan. Pantas Taehyung meninggalkanmu."
"Mengerikan. Dia harus dikeluarkan dari sekolah."
"Aku tidak sudi berada di kelas yang sama dengannya."
Jungkook menulikan telinga hanya untuk berlalu dari titik itu. Dalam tiap langkah yang ia lakukan, Jungkook berusaha mati-matian menguatkan kakinya. Ia tak boleh jatuh di sini. Tidak di hadapan orang-orang yang siap menertawakan keruntuhannya.
"Panggilan pada Jeon Jungkook. Segera ke ruang kepala sekolah. Sekali lagi, panggilan kepada Jeon Jungkook, segera ke ruang kepala sekolah."
"Rasakan!"
"Dia pasti akan di keluarkan dari sekolah."
Panggilan yang menggema melalui pengeras suara itu menghentikan langkah kakinya. Jungkook mengepalkan tangan. Menyiapkan diri pada apa yang akan terjadi setelah ini.
.
.
"Bisa kau jelaskan apa maksud video yang tersebar ini?" pertanyaan langsung yang masuk ke inti masalah segera Jungkook dapatkan setelah ia duduk di hadapan meja kepala sekolah. "Apa kau di jebak?" Jungkook menunduk.
"Kau adalah kebanggaan kami. Aku tidak pernah menyangka akan melihatmu seperti ini." pria paruh baya itu kembali bersuara. Menekan Jungkook untuk setiap harapan besar yang ia berikan padanya.
"Aku percaya kau tidak bersalah. Kami akan mencari pelaku penyebaran video itu, sebelum video ini tersebar di luar sekolah dan menimbulkan berbagai masalah. Tapi... orang tuamu harus tahu apa yang terjadi saat ini."
Saat itu juga Jungkook mengangkat wajahnya. Hanya dengan membayangkan wajah orang tuanya membuat kedua matanya berkaca-kaca.
"T-tidak, Pak. Jangan! Saya mohon." pintanya ketakutan. Ia tak takut di pukul, ia hanya takut melihat tatapan kecewa dua orang yang selama ini menyayanginya.
"Maaf Kook, besok aku akan tetap menghubungi kedua orang tuamu. Sekarang pergilah."
Jungkook merasakan dadanya di remas erat-erat. Hingga bernapas pun ia kesulitan. Dengan langkah gontai ia meninggalkan ruang kepala sekolah. Masih dalam gedung yang sama, tak hanya murid, bahkan guru-guru yang sebelumnya selalu mengelukan namanya kini memandangnya berbeda.
Kini Jungkook tahu, jika hidupnya telah hancur.
Sehancur hatinya.
.
.
Taehyung melebarkan mata, kala menatap ponsel dalam genggaman tangannya. Kantin mendadak ribut. Bukan keributan yang sama seperti jam istirahat biasanya. Mereka saling tunjuk ponsel masing-masing. Beberapa bersiul. Beberapa iba, pada apa yang terlihat di dalam sana.
"Bedebah itu... bagaimana Jungkook bisa ada bersama mereka!" Namjoon tidak sedang bertanya. Ia menatap Taehyung yang tampak tenang. Sahabatnya itu tak memutus pandangan dari video yang tengah berputar.
"Menangis."
Namjoon mengrenyit tak mengerti.
"Akhirnya dia menangis," ulang Taehyung pada dirinya sendiri.
"Kau... tampaknya tidak terkejut," tunjuk Namjoon pada Taehyung. "Jangan bilang kalau kau..."
"Aku sudah memperingatkannya."
Jawaban singkat Taehyung membuat Namjoon menggebrak meja. "Kita memang bajingan. Tapi aku tidak pernah mengira kau serendah ini." Namjoon menatap nyalang padanya. "Ini terakhir kali aku mengikutimu. Setelah ini, jangan pernah mencoba menyapaku lagi." dengan itu ia meninggalkan Taehyung.
Meninggalkan persahabatan mereka.
Sepeninggal Namjoon, Jungkook datang dengan mata hampa. Kedua kakinya melangkah dalam alam bawah sadarnya. Ia hanya terus mengikuti langkah kaki itu. Hingga tanpa sadar tiba di depan kantin sekolah. Keributan tiba-tiba terjadi. Melihat sosok Jungkook membuat mereka yang membencinya melempari tubuh Jungkook dengan berbagai macam barang.
Ia bergeming. Meski tubuhnya penuh telur, tepung, kuah sisa makan mereka. Jungkook terhuyung, saat sekotak sumpit makan menghantam dahinya. Mengucurkan darah segar yang berarak pada paras cantiknya. Dalam keadaan seburuk itu, cacian dan makian terus ia dapatkan. Ia hanya diam, tenggelam dalam kekosongan.
"MENJIJIKKAN! TIDAK TAHU MALU! HARUSNYA KAU MATI! MATII!!"
Ini tidak buruk.
Belum.
Bahkan tidak akan ada apa-apanya, jika di bandingkan dengan wajah kecewa kedua orang tuanya.
Taehyung memandangnya. Tanpa bergerak seinci pun dari mejanya berada. Bahkan dalam tekanan seburuk itu, Jungkook tak juga menangis.
Dia... tidak menangis.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE LAST CRY
FanfictionBahkan dalam tekanan seburuk itu, Jungkook tak juga menangis. Dia... tidak menangis. /TaeKook/ VKook/ END