Improvement ~ Two

106 35 16
                                    

Kalau bukan demi Jenita yang sudah menjemputnya pagi-pagi buta hanya untuk membujuknya agar mau pergi ke sekolah, sungguh Aya tidak akan mau pergi ke sekolah hari ini. Lebih baik dia tidur dan bermalas-malasan di kamarnya yang indah nan cantik daripada harus berhadapan sama cowok itu. Membayangkan dirinya yang akan sekelas dengan Kafka saja sudah membuat perutnya mual. Apalagi jika benar-benar berhadapan dengan cowok itu. Mungkin dia akan meminta saran Jenita obat apa yang bagus untuk menahan mual. Ya, begitu lebih baik.

"Tega bener lo, Jen!" teriaknya kesal. Kalau boleh jujur, sebenarnya Aya ingin sekali menarik rambut Jeni yang dikuncir itu saking gemasnya.

Ya, Tuhan! Ini masih pukul 06.20 dan sekarang dia sudah bersama Jenita menuju sekolah.

"Yaelah, Ay. Lebay banget sih, Lo! Ini tuh demi kebaikan lo," tutur Jenita santai. Padahal sebenarnya Jenita ada niat lain, sih.

"Kebaikan apa? Lo, tuh, ganggu tidur gue tau!"

Jenita berdecak. "Heh, jujur aja deh. Lo pasti ada niatan untuk gak sekolah, kan? Ya, kan? Ngaku, deh!" tuntut Jeni langsung. Aya yang tak terima dengan ucapan Jeni langsung mencubit pinggang gadis itu hingga meringis kesakitan.

"Duh, Jen! Apa gue pindah kelas aja, ya?" keluh Aya sambil meringis putus asa.

"Lo kok pengecut banget sih, Ay? Lo hadapin dia, dong. Gak usah takut. Kalau lo kayak gini keliatan banget lo takutnya!"

Benar juga sih kata Jeni. Tapi mau gimana lagi, dia juga gak mau seperti ini. Emang apa yang bisa Aya lakukan kalau sudah menyangkut soal hati!

"Jadi, gue harus gimana? Lo, punya saran?" tanya Aya serius. Terkadang, disaat seperti ini keberadaan Jeni emang dibutuhkan.

Jenita mengangguk serius. Kemudian mendekatkan tubuhnya ke arah Aya.

"Lo, hadapin tuh cowok. Saran gue, liat dulu reaksi dia gimana ke lo. Setelah itu, lo bisa memutuskan langkah apa yang harus lo ambil." Aya diam mendengar penuturan Jeni. Tetapi, dahinya berkerut tidak mengerti.

"Reaksi? Lo seharusnya udah tau reaksi dia gimana ke gue. Setahun sekelas sama Dia udah gue rasain. Dan, lo, pasti gak cukup bodoh untuk memahami gimana sikap Dia ke gue."

"Iya, sih. Tapi dulu sama sekarang itu beda, Ay. Lo harus tau perbedaanya," ujar Jeni serius. Mereka sudah sampai di gerbang sekolah, tetapi memilih berhenti sebentar untuk menuntaskan percakapan ini.

Menghela napasnya perlahan, Aya kembali menatap Jenita. "Dimana letak perbedaannya? Toh, yang terjadi dulu emang udah terjadi. Dan sikap dia gak akan berubah. Semua gak akan balik seperti sedia kala, Jen. Dua bulan lalu gue udah memutuskan untuk melupakan semuanya dan berusaha menerima konsekuensi. Gue pikir, perlahan gue bisa. Toh, gak akan sekelas lagi sama Dia. Tapi, nyatanya? Kayaknya semesta lagi menguji gue banget." Jenita masih memandangnya dalam diam. Ada sesuatu yang ingin ia beritahu, dan pasti Aya akan kaget mendengar berita ini. Tapi, mau bagaimana lagi.

Aya menatapnya bingung. "Kok, diam?"

"Lo mau tau letak perbedaannya dimana?" tanya Jenita lekat.

Perlahan, Aya mengangguk ragu.

"Apa?"

Menarik napasnya sekali, Jenita berucap dengan tegas, "Karena sekarang, Calysta Olivia Putri juga sekelas dengan kita. Iya, adik lo itu, sekaligus pacarnya Kafka. Dan mulai dari sekarang, lo harus punya banyak persiapan, Ay!"

Gadis itu terpaku mendengar penuturan Jeni.

Dan saat ini, Aya yakin sekali kalau semesta sedang berkonspirasi untuk menghancurkan dirinya.

ImprovementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang