prolog

248 44 50
                                    

"Bersiap-siaplah, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai di sekolah barumu," tutur Mama. Ia menoleh sekilas padaku dan mengulas senyum hangatnya.

Aku menggigit bibir bawahku, kebiasaan sedari kecil ketika aku gugup. Samar-samar kulihat gerbang sekolah baruku dari kejauhan. Dan saat itulah detak jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasanya.

"Kita sampai!" seru Mama dengan ceria. Dahinya mengerut begitu melihat ekspresi cemas di wajahku. Ia pun menangkup sisi wajahku dan ibu jarinya mengusap lembut permukaan kulit pipiku, menghantarkan perasaan nyaman. "Semuanya akan baik-baik saja, oke? Kau tak perlu cemas seperti itu. Teman-teman barumu pasti akan menyukaimu. Dan mungkin kau bisa mendapatkan pacar baru di sini," lanjut Mama sambil mengedipkan mata dengan genit.

Aku terkekeh geli dan memeluknya.

"Aku mencintaimu, Ma." Aku mengeratkan pelukanku seraya menghirup aroma khas dari Mama yang selalu dapat menenangkanku.

"I love you, too, sweetheart." Telapak tangannya mengusap lembut punggungku, membuatku semakin tak ingin melepaskan pelukannya, namun sayangnya aku harus.

Dan dengan begitu, aku keluar dari mobil dan melambaikan tangan saat mobil Mama beranjak pergi. Aku mengedarkan pandangan ke berbagai penjuru, memandangi murid-murid di sini yang wajahnya sangat asing bagiku. Beberapa dari mereka menyadari keberadaan murid baru di sini, mereka menatapku dari puncak kepala hingga ujung kaki, dan itu membuatku tak nyaman. Maka dari itu aku langsung mengambil langkah pergi memasuki gedung sekolah dan mencari letak kantor.

Ketika sedang sibuk mencari kantor, seseorang menepuk bahuku dari belakang. Refleks aku memutar tumit dan mendapati kehadiran seorang gadis berambut hitam legam di hadapanku. Kacamata menghiasi wajahnya, menambah kesan seksi. She looks pretty.

"Hai! Kau murid baru?" sapanya dengan ulasan senyum lebar. Ia tipe gadis yang pandai bergaul dan aku mulai menyukainya.

"Yap." Aku mengangguk kecil dan tersenyum tipis padanya.

Ia menjulurkan tangannya dan berkata, "namaku Veronica Malik."

Aku menjabat tangannya. Kulit telapak tangannya terasa halus dan lembut. "Aku Madeira Smith."

"Dan kutebak kau sedang kebingungan mencari kantor?" Ia menaikkan sebelah alisnya.

Bagaimana dia bisa tahu?

"Oh, maaf jika aku terkesan creepy or something like that. Aku bukan seorang penguntit kok! Aku bisa mengantarmu ke sana jika kau mau."

"I know you're not," balasku, tertawa kecil. "Jika kau tak keberatan, maka boleh saja."

"Tentu saja tidak. Jam pelajaran pertama masih dimulai sekitar lima belas menit lagi. Mari kuantar," tawarnya. Dengan senang hati aku menerima tawarannya.

Aku dan Veronica berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi oleh murid-murid. Banyak pasang mata yang mengarah padaku, seolah memperhatikan setiap pergerakanku. Apakah ini kali pertama mereka melihat murid baru? Tidak seharusnya mereka melihatku seperti itu. Kurasakan sebuah tangan menggandeng milikku, ibu jarinya mengusap lembut punggung tanganku. Aku mendongak ke arah Veronica dan ia mengulas senyum tipisnya.

"Kau pasti akan terbiasa," ujarnya.

Aku menghela napas panjang dan mengangguk.

Tak terasa kami telah sampai di kantor. Veronica mengantarkanku ke ruangan Mrs. Elliot—kepala sekolah—dan menyuruhku untuk segera masuk.

"Aku akan menunggumu di luar kantor." Veronica mengedipkan sebelah matanya sebelum mengambil langkah pergi. Ia sangat baik dan menyenangkan, tidak seperti teman-teman di sekolah lamaku yang kebanyakan tidak setia dan bermuka dua.

Seorang wanita paruh baya menyapaku dengan senyum lebar ketika aku masuk ke dalam ruangannya. Aku berjabat tangan dengan Mrs. Elliot, kemudian ia mempersilahkan untuk duduk di kursi yang berseberangan dengannya.

"Kau pasti murid baru. Madeira Smith, bukan?"

Aku mengangguk sopan.

Kemudian, Mrs. Elliot menjelaskan seluruh peraturan yang berlaku serta hal-hal lain yang terasa baru di indera pendengaranku. Aku menanggapi ucapannya dengan mengangguk, berlagak seolah mengerti walau faktanya tidak. Dan akhirnya, ia memberiku selembar kertas yang berisi jadwal kelasku bersamaan dengan kunci loker. Aku menerimanya dan berpamit undur diri sebelum memutar tumit, lalu mengambil langkah keluar dari ruangan.

Pandanganku terfokus ke kertas jadwal kelasku untuk hari ini selagi berjalan. Matematika, Kesenian, Sejarah dan Bio—

"—argh!" Seseorang menabrakku lumayan keras, membuat tubuhku terhuyung ke belakang, namun untungnya aku bisa langsung mengatur keseimbangan sehingga aku tidak jatuh.

Dalam hati aku merutuki diri sendiri karena berjalan tanpa melihat ke depan. Merasa malu, aku pun memilih untuk menundukkan kepala. Namun aku menyadari ada sepasang sepatu di hadapanku, mengartikan bahwa orang yang menabrakku tadi belum pergi.

"Kau punya mata atau tidak?!"

Aku tersentak mendengar bentakan darinya. Seumur hidupku, aku tidak pernah dibentak seperti itu. Aku mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa untuk mendongakkan kepala. Dan di saat itulah aku tertegun di tempat. Fiturnya yang menjulang tinggi mengintimidasiku, belum lagi sekumpulan tato yang menghiasi lengan kanan-kirinya itu. Aku meneguk ludah ketika sorot matanya yang tajam itu mengarah padaku. Terdapat memar keunguan di wajahnya, seperti baru saja berkelahi. Rahangnya terpahat begitu tajam, namun sempurna. Dan oh, rupanya ia memiliki tindikan di hidung.

Apakah ia termasuk murid di sekolah ini? Jika iya, kenapa Mrs. Elliot membiarkan orang berpenampilan seperti dia menjadi murid di sini? Aku ingat betul Mrs. Elliot tadi menjelaskan larangan tentang bertato, tindikan, dan hal-hal semacamnya.

"Apa kau sudah selesai menatapku?"

Lontaran katanya membuatku terbanting ke dunia nyata. Apa aku sedari tadi memandanginya? Aku tidak ingat.

"M-maaf," kataku, tersenyum tipis demi mengurangi rasa canggung.

Lelaki itu memutar bola mata. "Dan bisakah kau tidak berdiri di tengah jalan? Aku tidak bisa masuk ke dalam karena kau berdiri di situ dan melamun layaknya orang bodoh."

Oh, jadi laki-laki ini ingin menemui Mrs. Elliot. Aku pun segera menyingkir dari hadapannya, tak ingin membuatnya kesal lebih lanjut. Ia memberiku tatapan tegas sekali lagi sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan Mrs. Elliot.

The Payne TripletsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang