Now 33

314 17 0
                                    

Author POV

      Navelia merapatkan sweaternya. Malam itu, malam yang sangat dingin. Tanpa bintang, sendu, dan senyap. Ia memijit-mijit kepalanya yang masih terasa berkedut, setelah seharian menghabiskan tissue demi menghapus air matanya.

      "Loe... sejak kapan loe di depan Nav?" tanya Mitha lirih. Tenggerokannya tercekat. Napasnya tertahan. Takut-takut kalau Navelia mendengar pertengkarannya dengan Varo tadi.

      "Hampir bersamaan dengan Varo."

      Hening.

      "Tapi gue lebih cepat tiga detik."

      Bom !

      "Nav..." lirih Mitha. Air mata sudah bergumul, mengalir sedikit demi sedikit dari sudut matanya.

      Sedangkan Navelia, ia masih berdiri di tempatnya dengan pandangan lurus menatap kedua mata Mitha. Tanpa beriak, seperti patung. Lama ia bertahan dengan posisinya, hingga akhirnya Mitha melihat sebuah cairan bening mulai menganak sungai di salah satu pipi sahabatnya itu. Mitha berjalan dengan terseok, menarik Navelia ke pelukannya. Mereka menangis sesenggukan. Navel bahkan sampai mencengkeram kaos Mitha. Sakit, hanya sakit yang menguasai dirinya saat ini.

      Kata-kata yang terlontar selama pertengkaran Varo dan Mitha masih terngiang di telinganya. Membekas, sangat berbekas. Seperti sengaja dijejalkan dan dipaku agar tidak terlepas.

      Setelah puas berlama-lama menangis di pelukan Mitha, Navel memutuskan untuk pulang. Mitha mencegah, takut jika sahabatnya yang sedang berantakan membahayakan dirinya sendiri. Navel mengalah. Namun ia minta diizinkan untuk menemui seseorang. Sendiri, tanpa Mitha.

      Saat ia tidak menemukan kehadiran cowok itu di pondokan kosnya, Navel memutuskan ke kontrakan Adnan dan Kelvo.

      Yang ia butuhkan saat itu adalah pelukan ketenangan dari seorang Tio. Masa bodoh dirinya yang sudah berjanji untuk melepaskan Tio. Masa bodoh ia telah menyakiti lelaki itu berkali-kali. Ia hanya butuh Tio. Ia butuh bersandar pada lelaki itu. Menceritakan lewat diam dan tangis bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Dan Tio selalu tahu, kapan saat ia harus bertanya kenapa. Sekalipun Navel telah menghabiskan berliter-liter air matanya, Tio tidak akan memaksa Navel untuk menjelaskan sebelum Navel sendiri yang membuka suara. Itu yang Navel suka. Ya, suka.

      Namun kemelut lain datang ketika Navel baru memasuki halaman rumah Adnan dan Kelvo. Ada sebuah motor yang ia yakini betul adalah motor Tio. Namun, adapula sebuah mobil yang ia yakini betul sebagai mobil mantan pacar Tio, Nindy. Akhirnya ia memutuskan untuk mundur, memberi ruang. Terlebih saat suara tawa terdengar samar-samar dari dalam rumah. Navelia merasa tidak perlu menghancurkan momen hanya untuk cerita cinta bodohnya yang mengharu biru.

      Ia berbalik. Memutuskan untuk kembali ke rumah Mitha. Ya, disitulah ia seharusnya.

      "Coklatnya diminum Nav." seru Mitha pelan. Ia ikut duduk di sisi ranjang. Menemani Navel dalam kebisuan.

      Navel meneguk sekali mug yang berisi coklat hangat itu. Setelah merasakan sensasi hangat yang menjalar di tenggerokan hingga lambungnya, ia menoleh, menatap Mitha dengan sendu. Diraihnya kedua tangan Mitha, ditangkupkan pada kedua telapak tangannya.

      "Maafin gue," seru Navel yang terdengar seperti bisikan, tapi bagi Mitha seperti nyanyian pengantar tangis di acara-acara renungan.

      "Gue nggak pantes punya sahabat." Mendengar itu, Mitha membalas genggaman Navel. Menguatkan sahabatnya.

NaveliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang