02

64 11 0
                                    

Aku mengerutkan dahi saat melihat seseorang juga keluar dari tenda yang ada di depan tendaku.
"Kau tidak tidur?" Tanyaku. Dia menggelengkan kepala sambil berjalan mendekatiku. Aku juga berjalan mendekatinya.

Kami berdua duduk berdampingan di bawah sebuah pohon besar dan mengarahkan pandangan kami ke api unggun yang tadi Mike buat.
"Kenapa tak tidur?" Tanyaku saat melihatnya menggosok-gosokkan telapak tangannya. "Aku tak suka keadaan disini. Banyak nyamuk dan sempit. Aku tak bisa tidur saat Chacha sepenuhnya menempati tempat tidur di tenda kami." Ia mengerucutkan bibirnya.

Aku terkekeh pelan mendengar keluhannya. "Kau sendiri kenapa tak bisa tidur?" Ia menatapku lekat. Aku memalingkan wajahku menatap lurus ke api unggun. "Aku tak tahu kenapa aku tak bisa tidur. Tapi, jujur, tadi aku mendengarkan suara-suara yang aneh. Apa kau mendengarnya juga?" Aku menoleh kepada orang yang ada di sebelahku ini. Ia menggelengkan kepala.

"Mana bisa aku mendengarkan suara aneh itu sementara suara dengkuran Chacha sudah mencapai volume full?" Orang ini lucu. Gadis ini lucu. Yeah, Aelke memang lucu. Benar-benar lucu apalagi saat wajahnya mulai menampilkan kekesalan.

Aku tertawa mendengar ucapannya lagi. Aku menghentikan tawaku saat melihatnya kembali menggosok-gosokkan telapak tangannya. Aku tersenyum kecil sebelum membuka jaket yang kukenakan—hingga kini aku hanya mengenakan sebuah kaus berlengan panjang—dan mengenakannya di tubuh Aelke. Aelke terkejut dan menolak untuk memakai jaketku namun, aku menolak tolakkannya itu.

"Kau harus menggunakannya atau kau akan mati kedinginan," ujarku datar.
"Tapi, bagaimana denganmu? Kau hanya mengenakan kaus tipis itu? Yeah, aku tahu kau anak basket dan terkenal kuat. Tapi, udara malam ini benar-benar dingin. Kau harus..." Aku memotong cerocosan panjang Aelke dengan letakkan jari telunjukku di depan bibirnya.
"Diamlah. Kau harus menurut apa yang aku katakan."

Aku tersenyum saat ia mulai diam dan menundukkan kepalanya. Aku tahu ia tengah menyembunyikan rona merah di wajahnya. Biasalah. Seorang gadis yang mendapat perlakuan manis dariku selalu seperti itu. Termasuk Aelke.


Saat ketenangan menguasai aku dan Aelke, tiba-tiba terdengar bunyi gesekkan di antara semak-semak yang tak berada jauh di hadapanku saat ini. Aku dan Aelke saling pandang tak mengerti. Aku mulai bangkit dan hendak mengecek apa yang ada di balik semak-semak itu namun, Aelke menahan lenganku dan berkata, "jangan pergi, Gan. Bagaimana jika ada binatang buas di sekitar kita? Kau mau mati karena binatang itu?"

Aku menggeleng sebelum berkata. "Aelke, kita berada dekat dengan api dan binatang buas takut akan api. Jadi, mustahil ada binatang buas di sekitar sini. Pasti ada sesuatu di semak-semak itu. Kau mendengarnya juga, kan?" Ia menganggukkan kepala.

Aku mulai berjalan mendekati semak-semak tersebut dan membiarkan Aelke tetap duduk di dekat api unggun itu.
Aku membuka secara perlahan semak-semak itu dan tak mendapati apapun disana. Mungkin tadi hanya bunyi tikus atau binatang kecil yang ada di hutan ini, pikirku.

Aku menutup kembali semak-semak itu dan melihat tepat ke tengah hutan. Jantungku berdegup kencang saat melihat ada seorang gadis disana. Mengenakan gaun berwarna putih bersih dan ia nampak tengah menarikan balet.
Gadis itu. Sepertinya aku mengenal gadis itu.
Bukankah itu...
Tidak. Pasti aku salah lihat. Penglihatanku pasti tengah kacau.

"Morgan!" Aku mengalihkan pandanganku saat seseorang secara kencang menepuk bahuku. Aku menoleh dan mendapati Aelke telah berada di belakangku.
"Apa yang ada di balik semak-semak itu?" Tanyanya sambil membuka secara perlahan semak-semak tadi.

Disaat Aelke fokus melihat apa yang ada di balik semak-semak, aku kembali menatap ke tengah hutan dan apa yang tadi kulihat—seorang gadis yang tengah menari balet—telah enyah dari pandanganku. Apa yang kulihat tadi? Apa semuanya hanya fatamorgana? Apa semua ini hanya ilusi?

"Tidak ada apapun, Gan," Aelke kembali mendongakkan kepalanya menatapku. Aku tersenyum dan menggaruki tengkuk leherku.
"Ya, memang tak ada apapun." Ia memicingkan matanya menatapku dan mulai mengalihkan pandangannya ke tengah hutan tempat aku melihat seorang gadis yang tengah menari balet tadi.

"Apa yang kau lihat disana?" Ia menunjuk ke tengah hutan itu sambil menatapku datar.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Aku tak melihat apapun. Sudahlah, lebih baik kau kembali ke tendamu dan tidur. Lihat sudah jam berapa ini," aku memperlihatkan jam tanganku kepadanya.

Aelke melirik sekilas jam tanganku yang menunjukkan pukul 11 malam sebelum akhirnya berkata, "kau benar. Sudah jam 11 malam. Sebaiknya aku beristirahat untuk kegiatan besok dan sepertinya kau juga harus beristirahat sepertiku." Ia menepuk pundakku perlahan sebelum berjalan kembali ke tendanya dan meninggalkanku.

Setelah aku memastikan Aelke masuk kembali ke tendanya dan menutup tendanya itu, aku kembali menatap ke tengah hutan tersebut. Gadis itu muncul lagi. Masih menari tanpa diiringi alunan musik sedikitpun. Tanpa banyak pikiran dan aba-aba, aku melangkahkan kakiku mendekati gadis itu.

Saat berada kurang dari dua meter dekat dengannya entah apa yang terjadi, udara yang semula dingin—dibawah suhu 20 derajat celsius—tiba-tiba menjadi hangat. Sangat amat hangat. Bahkan terkesan panas.

Gadis itu menyadari kedatanganku. Ia menoleh dan tersenyum sekilas kepadaku dan tetap meneruskan tarian baletnya. Aku menatapnya takjub. Ia sangat cantik. Masih terlihat cantik seperti terakhir kali kami bertemu. Dua tahun lalu. Di sebuah cafe yang ada di Jakarta.

Aku berjalan mendekatinya sambil berkata, "Aku merindukanmu, Emily."



***


Aelke's View


Aku sibuk memutar posisi tubuhku agar mendapatkan posisi yang nyaman untuk segera tidur dan beristirahat. Tapi, gara-gara dengkuran Chacha yang terlalu kencang, aku sama sekali tak bisa tertidur. Ditambah lagi dia tak bisa diam ketika. tidur. Setiap lima menit sekali Chacha mengubah posisi tidurnya. Dan tak jarang juga ia menendangku.

Aku mulai merasa tambah tak nyaman. Sepertinya hari ini aku benar-benar tak bisa tidur karena Chacha. Tuhan, kenapa aku harus satu kelompok dengan Chacha? Jika tahu begini jadinya, mungkin aku tak akan menolak ajakan Faby untuk sekelompok dengannya.

Apa Morgan sudah tidur atau dia masih berada di luar sana?

Aku berpikir sejenak. Kenapa tiba-tiba pikiranku melayang pada sosok keturunan Chinese itu? Aku sedikit khawatir dengannya. Dia pasti kedinginan karena jaketnya masih ada denganku. Aku harus menemuinya dan mengembalikan jaketnya ini.

Aku segera bangkit dan keluar dari tendaku. Aku mengedarkan pandanganku mencari keberadaan Morgan. Mungkin saja dia masih berada di luar tenda. Aku tersenyum saat melihat Morgan disana. Di tengah hutan itu. Seorang diri. Hei, apa yang dia lakukan disana? Seorang diri pula? Tunggu. Bukankah Mike melarang siapapun pergi kesana? Sepertinya aku harus pergi menyusul Morgan sebelum Mike mengetahui semua ini.





Another WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang