03

55 7 0
                                    

Aku berjalan melewati semak-semak agar dapat mencapai Morgan. Benar saja, Morgan tengah berada disana. Tapi, tunggu. Ada yang aneh dengannya. Dia..dia seakan tengah mengobrol dengan seseorang tapi, sepenglihatanku, tak ada siapapun di sekitarnya. Dengan siapa ia bicara?

Aku mulai mempercepat langkah kakiku. Sesampainya di dekat Morgan, aku segera menepuk pundaknya agar ia menyadari keberadaanku. "Gan!" Seruku. Morgan segera menoleh dan menatapku. Wajahnya terlihat amat sangat pucat pasi. Aku mulai panik dan meletakkan punggung tangan kananku di keningnya. Panas. Suhu tubuhnya sangat panas.

"Gan, kau sakit. Ayo, kembali!" Aku segera melingkarkan tangan Morgan di leherku dan aku melingkarkan tangaku di pinggangnya. Aku berjalan membopong tubuhnya yang melemas.

Aku menyandarkan Morgan di batang pohon tempat aku dan dia duduk tadi. Aku mengalihkan pandanganku mencari-cari benda apapun yang akan kugunakan untuk merawatnya. Keadaannya sedang tidak baik. Wajahnya berbeda dengan wajahnya tadi. Kulitnya berubah menjadi putih pucat. Suhu tubuhnya juga sangat panas.

Aku berniat membangunkan seseorang untuk membantuku merawatnya namun, sepertinya tidak mungkin. Mereka pasti telah tertidur sangat pulas. Aku tak mau mengganggu mereka.
Lalu, apa yang harus ku lakukan? Ah, ya, sepertinya aku mempunyai sebuah handuk kecil di tasku.

"Tunggu disini, ya, Gan. Aku akan segera kembali," aku berlari menuju tendaku meninggalkan Morgan. Aku meraih handuk kecil yang ada didalam tas ranselku. Aku juga menuangkan air hangat secukupnya di mangkuk tempat makanku. Aku meletakkan handuk tersebut ke dalam mangkuk berisi air hangat itu sebelum kembali mendekati Morgan.

Sesampainya di dekat Morgan, aku segera meletakkan handuk basah itu tepat di keningnya. Tujuannya tentu untuk menurunkan suhu tubuhnya. Aku melihat tatapan Morgan yang benar-benar kosong dan hampa menatap lurus ke depan. Aku melambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya. Ia masih saja diam.

"Gan, please, jangan diam saja. Bicaralah. Katakan sesuatu," lirihku masih sambil terus mengompres dahinya. Morgan menoleh sekilas kepadaku sebelum kembali menatap lurus ke depan.
"Aku baik-baik saja," ujarnya dengan suara yang amat sangat parau dan nyaris tak terdengar.

"Tidak, Gan. Kau tidak baik-baik saja. Kau sakit. Kau butuh istirahat," omelku. Morgan memejamkan matanya dan menghela nafas panjang sebelum kembali membuka matanya dan menatapku.
"Aku baik-baik saja. Maaf membuatmu cemas tadi," kali ini suaranya telah kembali normal seperti sedia kala walaupun wajahnya masih pucat pasi.

Aku menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. "Apa yang kau lakukan di tengah hutan itu? Seorang diri pula. Kau tahu? Ku pikir kau tengah kerasukan setan yang ada di hutan ini." Aku terkekeh saat mengucapkan kalimat itu. Tapi, Morgan hanya terdiam. Ia menundukkan kepalanya.

Sesaat kemudian, ia mendongakkan kepalanya dan menatapku sambil tersenyum. "Sudah malam. Bukankah tadi kau sudah kembali ke tendamu?" Tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku.
"Aku tak bisa tidur. Chacha benar-benar tak mengizinkanku untuk beristirahat di sampingnya. Sedetikpun," aku mengerucutkan bibirku.

Morgan memperbaiki posisi duduknya. "Kalau begitu, tidurlah. Anggap saja pundakku ini bantal yang biasa menemani tidurmu," ujarnya. Aku menggelengkan kepalaku. "Tetap saja aku tak akan bisa tidur." Morgan kembali tersenyum ramah dan memintaku untuk tertidur di pundaknya. Aku menghela nafas panjang sebelum mulai menyandarkan kepalaku di pundaknya. Aku dapat mencium aroma tubuhnya yang maskulin. Entah kenapa juga, setiap berada di dekatnya, aku selalu merasa nyaman dan tak mau berpisah dengannya. Perasaan apa ini?

"Feel better?" Morgan menoleh menatapku lembut. "Yeah," jawabku singkat, "tapi, aku masih tak bisa tidur," aku melanjutkan kalimatku.

Dan tak lama kemudian, suara merdu Morgan mulai mengalir masuk ke dalam telingaku. Ia menyanyikan sebuah untuk membuatku segera masuk ke dalam dunia mimpiku.

"Oh, but hold your breath. Because tonight will be the night that I will fall for you, all over again, don't make me change my mind. I won't live to see another day I swear it's true. Because the girl like you impossible to find. Impossible to find."




###


Morgan's View


Aku mengakhiri lagu yang kunyanyikan. Aku melirik sekilas Aelke yang telah tertidur di bahuku. Wajahnya terlihat amat sangat lelah dan dia memang benar-benar butuh waktu untuk beristirahat. Apalagi dia harus mengemban banyak kewajiban dan tugas selama perkemahan ini.
Aku mengelus lembut pipinya yang berwarna kemerahan. Dia gadis yang manis dan menyenangkan. Ia selalu membuatku nyaman berada di dekatnya.

Andai saja waktu dapat diputar kembali. Mungkin saat ini aku sudah memperkenalkan Aelke dengan Emily. Mereka bisa menjadi sahabat dekat karena mereka memang memiliki banyak kesamaan. Dari segi fisik ataupun sikap. Mereka berdua sama-sama memiliki wajah oriental dan sama-sama manja. Mereka benar-benar memiliki banyak kemiripan.

Dan apa yang aku lihat tadi? Aku melihat Emily di tengah hutan itu. Apa benar itu Emily? Aku tak tahu tapi, aku benar-benar melihatnya tadi. Dia mampu membungkam mulutku. Dia mampu membuatku terpaku. Dan aku merindukannya. Amat sangat merindukannya.

Aku baru saja hendak menutup mataku sampai tiba-tiba, aku merasa ada seseorang yang tengah mengamatiku. Aku mengedarkan pandanganku ke sekelilingku. Tak ada siapapun di luar tenda ini selain aku dan Aelke. Tapi, Aelke tengah tertidur dan itu berarti tinggal aku satu-satunya orang yang masih terjaga di sekitar sini.

Lagi-lagi aku melihat sosok gadis itu. Kali ini ia tak berada di tengah hutan itu. Ia berada beberapa meter di depanku. Aku menatapnya miris. Tuhan, apakah aku tengah bermimpi? Kenapa sedari tadi bayang-bayang Emily selalu menghampiriku? Tuhan, hapuslah semua bayang-bayangnya dari pikiranku.

Emily masih berdiri disana mengenakan pakaian serba putih. Tiba-tiba saja muncul bayangan orang lainnya. Seseorang dengan jubah berwarna hitam. Ia membekap Emily. Aku memekik melihat apa yang ada dihadapanku saat ini. "Emily!" Aku terkejut karena mulutku tak mengeluarkan suara apapun. Orang berjubah itu terus menerus membekap Emily. Emily juga terus menerus memberontak. Orang itu menyeret Emily masuk kembali ke tengah hutan.

Aku tak bisa diam saja. Aku harus menyelamatkan Emily. Secara cepat, aku segera membopong tubuh Aelke masuk kembali ke dalam tendanya sebelum berlari masuk ke dalam hutan dan mengikuti kemana orang berjubah itu membawa Emily. Tuhan, jika benar-benar Emily tercipta dan kembali padaku, jangan pisahkan aku lagi dengannya, pintaku.

Aku terus berlari ke dalam hutan menembus kegelapan malam. Aku benci kegelapan tapi, aku harus melawan rasa benciku itu. Aku harus menemukan Emily dan membawanya kembali kepadaku. Aku tak akan melepaskannya lagi.
Aku menghentikan langkahku di saat menyadari dimana aku saat ini. Ini bukan seperti hutan. Dimana ini? Kenapa disini amat sangat terang sementara hari telah malam? Bagaimana bisa? Dimana aku saat ini?

"Sekali kau masuk, kau tak akan bisa kembali lagi."

Another WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang