Retrospection

2.4K 126 108
                                    

"Don't leave me in all this pain
Don't leave me out in the rain
Come and bring back my smile
Come and take this tears away. . ."

Seorang laki-laki berpostur sedang— kalau tidak bisa disebut mungil— menengadah menatap bulir-bulir hujan yang turun membasahi bumi dari balik jendela kaca yang besar. Tangannya sibuk menggosok gelas-gelas sebelum waktu buka bar tiba. Laki-laki itu menghela napas panjang, menatap sekelilingnya dengan bosan. Dia meletakkan kain lapnya dengan gerakan kasar tepat saat salah seorang rekannya muncul dari ruang karyawan dan membalik tanda open menjadi close dari sisi dalam bar. Pertanda jam buka bar telah dimulai.

"Hei, kau mau kemana?"

Seruan bernada heran itu tak menyurutkan niatnya untuk meneruskan langkahnya menembus kabut hujan yang tak terlalu deras tersebut. Bosan, dan dia tak peduli. Hanya deras hujan inilah yang dapat melarutkan semua kebosanan yang seakan mencekiknya. Laki-laki itu menggigil di bawah hujan, kemeja putihnya sudah basah seluruhnya. Menampakkan warna kulit yang kuning langsat, dan tetesan hujan seperti air terjun mengaliri lekuk tubuhnya.

Hujan, entah sejak kapan berubah menjadi deras.

Laki-laki manis itu masih setia berlari kencang menembus tirai hujan. Mulut merahnya menggumamkan bait pertama dari lagu Unbreak my Heart dengan pelan. Sementara kilasan-kilasan memori dari masa lalunya berputar cepat di otaknya. Laki-laki itu menghentikan langkahnya tepat di tepi jalan, lantas melangkah pelan menyusuri sebuah sebuah jalan setapak yang terlihat sedikit becek.

Hingga akhirnya langkahnya terhenti di sebuah tempat yang dipenuhi ilalang tinggi yang terlihat seperti tanaman tinggi dari neraka. Mungkin efek awan gelap yang menaunginya membuat pemandangan yang semula terlihat indah tanpa cela berubah menjadi menakutkan.

Laki-laki manis itu menyibak ilalang. Mulutnya masih saja menggumamkan sesuatu, selain bait lagu tadi. Tak memedulikan ujung-ujung tumbuhan itu menusuk kulitnya, wajahnya. Meninggalkan rasa gatal di permukaan dermis mulus tersebut.

"Aku mencintaimu. Apa kau tahu?"

Laki-laki manis itu terus saja menggumamkan kalimat-kalimat yang berseliweran di otaknya. Terus bergumam, terkadang terdengar seperti bersenandung dalam nada-nada kacau, kalimat-kalimat random. Sesekali kata-katanya menghilang di balik gigil yang tak tertahankan. Bibir merah itu perlahan memucat.

"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku. . ."

Hujan turun semakin deras. Sekeliling laki-laki manis itu kini telah berubah gelap seutuhnya. Membawa rasa takut yang tadi entah bersembunyi di mana. Laki-laki itu kini terduduk lemas. Terpuruk sambil menahan rasa takut yang seakan mencekik jalur napasnya.

"Kau di mana?"

Kalimat itu berganti menjadi pertanyaan. Airmata turun mengaliri pipinya, bercampur dengan air hujan. Laki-laki manis menggigil, tergugu. Perlahan, kesadarannya kembali. Dimana ini?

Aku mencintaimu.

Dan entah sejak kapan rasa cinta itu berubah menjadi rasa sakit tak terperi. Cinta itu egois. Hoax adanya bila ada yang bilang cinta tak harus saling memiliki. Namun benar adanya jika ada yang bilang cinta takkan pernah jauh-jauh dari rasa sakit. Ketika kau memutuskan untuk mencintai seseorang, maka saat itu pulalah kau harus siap untuk tidak hanya menanggung manis dan bahagianya.

Sesungguhnya rasa sakit itu bahkan lebih nyata dari kebahagiaan itu sendiri.

Dan laki-laki manis itu tahu benar seperti apa rasa sakit itu. Mencekik, terkadang tak tertahankan hingga ia pernah berpikir bahwa kematian mungkin jauh lebih baik ketimbang rasa sakit ini. Sayangnya, kematian itu sendiri seakan enggan untuk menjemputnya. Ia hanya bisa tertunduk pasrah, meresapi rasa sakit yang terkadang membuatnya lupa diri. Lupa dengan situasi dan kondisi.

A Simple ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang