Dosa itu terjadi sekali, dua kali, tiga kali. Adam berkata pada dirinya sendiri untuk menghentikan dosa itu. Sebagian dari dirinya merasa berdosa pada Abigail. Sebagian lagi mulai marah. Tidak terima. Pada situasi yang semakin hari semakin meruncing, menyudutkannya. Tanpa diketahuinya, gadis itu ternyata sudah bicara banyak pada Ibunya. Berkata macam-macam. Dan Adam tak tahu entah sejak kapan, sang Ibu lebih percaya pada gadis itu dibanding dirinya yang notabene adalah anak kandung sang Ibu.
“Kau harus segera menikahinya.”
Adam terusik. Harus berapa kali ia menegaskan bahwa ia tak mau menikah dengan gadis itu? Bahkan Abigail sekali pun, ia tak punya keyakinan untuk menikahinya. Menikah itu merepotkan. Adam tak yakin ia sanggup menjalani komitmen. Pilihan yang ada tak memberinya ruang. Adam tahu, dia takkan pernah menikahi perempuan karena pilihannya sendiri.
Namun Adam juga tak siap untuk misalnya melanjutkan hubungannya ke jenjang yang lebih serius bersama Abigail. Ia masih takut dengan cap yang diberikan orang-orang atas orientasi seksnya yang menyimpang. Selama ini saja, ia mati-matian menjaga agar tak seorang pun tahu tentang hubungannya dengan Abigail. Ia hanya memperlakukan Abigail dengan mesra hanya ketika mereka tengah berdua di dalam rumahnya. Tidak di mobil, atau di tempat-tempat umum lainnya tak peduli meskipun tak ada seorang pun yang melihat. Dan Abigail tak pernah mempermasalahkan hal itu. Jauh sekali bedanya dengan gadis itu, yang setiap kali jalan bersama harus berpegangan tangan seperti orang buta. Adam risih tapi tak berdaya menolak. Gadis itu lebih keras kepala atas semua kemauannya.
“Apakah kau mencintaiku?”
Tanya itu terlontar di suatu sore, ketika Abigail tengah membuka kancing bajunya satu demi satu. Adam memperhatikan semua itu sambil mengira-ngira jawaban macam apa yang akan diterimanya dari kekasihnya itu. Apakah Abigail akan marah, terganggu atas pertanyaan tak jelas di sore hari yang melelahkan setelah bekerja seharian di kafe?
Abigail bergerak mengambil handuk, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyuman yang luput dari pengamatan Adam yang kini mulai agak kurusan itu. Dan menahan ‘daerah selatannya’ agar tak melakukan perlawanan.
“Kenapa masih bertanya?”
Adam terdiam. Sosok Abigail menghilang di balik pintu kamar mandi.
Itu bukan jawaban yang diharapkannya. Bahkan itu sama sekali bukanlah sebuah jawaban.
‘Masih pantaskah kamu untuk kupertahankan?’
Dan akhirnya sebuah pertanyaan retorik muncul di kepalanya. Adam mematung. Dia tak dapat berpikir lagi. Sebuah pesan masuk ke ponselnya.
“Kau di mana? Bukankah sore ini jadwal check-up kandungan Isabel? Cepat temani dia!”
Dari sang Ibu. Adam meremas rambutnya kuat-kuat. Mengeluh.
~~~
“Keluarlah!”
Sebagian dari dirinya tercerabut, sebelum ego itu datang dan menghancurkan satu-satunya sisi manusiawi yang tersisa dalam dirinya. Hujan turun begitu lebat dan lelaki manis itu dalam sekejap basah oleh air hujan. Dingin. Petir menyambar-nyambar di luar. Abigail termangu tak percaya sementara Adam sekarang terlihat seperti seorang yang asing.
Tony Braxton meningkahi suasana degan lantunan hits Unbreak my Heart-nya, mengalun lirih dari dalam rumah.
“Kenapa?” tanya Abigail lirih. Sesuatu dalam dada Adam tercubit saat melihat tatapan kosong penuh kebingungan dari sang kekasih. Yang akan segera menjadi mantan. Adam mengepalkan tangan, menguatkan hati.
“Kamu tidak pernah mencintaiku, kan? Sekarang pergilah!”
Pergilah.
Satu kata itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Abigail mengerti. Hubungan mereka sudah berakhir. Adam sudah tak menginginkannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Simple Thing
Short StoryBxB content. Short story with no summary. Tinggalkan jika kamu homophobic atau semacamnya.