Retroduction. You

884 96 49
                                    

Semakin ditahan, semakin membuncah. Dan menyakitkan.

Itulah yang dirasakan Eugene setiap hari. Semakin lama dirinya hidup seatap dengan Abigail dan memahami setiap sifat serta kebiasaan Abigail membuatnya semakin takut. Takut bila suatu hari semua kebersamaan mereka akan berakhir. Takut bila dia tak dapat melihat senyuman itu kala dia membuka mata dan hendak memulai hari.

Semakin hari terasa semakin memuakkan. Eugene bahkan mulai merasa tidak bisa menahan ketakutan-ketakutannya tersebut. Setiap kali dirinya memasuki pintu depan rumahnya dan tak menemukan sosok mungil El menyambutnya, entah itu dengan berdiri di pintu depan menyambutnya seperti seorang istri yang baik. Atau sosok Abigail yang jatuh tertidur di sofa ruang tengah dengan tv yang dibiarkan menyala. Atau apapun yang berbau Abigail. Eugene sudah sangat terbiasa dengan kehadiran Abigail di ruang lingkupnya yang tidak seberapa luas itu.

Dan pernyataan dokter yang menyatakan bahwa kondisi kejiwaan Abigail sudah jauh membaik dan tidak perlu lagi pengawasan ketat seperti yang sebelumnya ia lakukan sudah lebih dari cukup untuk membuat ketakutannya tumbuh semakin menjadi-jadi.

Demi apapun, Eugene benar-benar tak sanggup membayangkan bila hari-hari kebersamaan mereka akan segera berakhir. Perjanjian yang dibuatnya dengan keluarga Abigail yang berada di Darwin, Australia untuk menjaga salah satu anggota keluarga mereka itu berlaku hanya sampai Abigail dinyatakan stabil oleh dokter. Dan Eugene tak tahu harus bagaimana untuk mempertahankan Abigail agar tetap bertahan di sisinya.

Satu-satunya cara yang terpikirkan hanyalah dengan menjadikan Abigail kekasihnya. Sesuatu yang hampir tak mungkin terjadi untuk saat ini. Masalahnya bukan hanya sekedar menanggung malu jika ditolak.

Tapi kehilangan.

Kembali lagi ke awal, ke titik dimana rasa takut itu menyerang dan mengungkungnya untuk stay freeze dan tidak melakukan apa-apa.

"Yuu? Apa kau ketinggalan kunci rumahmu sendiri?"

Teguran lembut dari warna suara yang pemiliknya sudah amat familier di telinga Eugene itu mengembalikan kesadaran laki-laki itu kembali ke dunia nyata. Eugene mengerjapkan matanya sesaat saat matanya menangkap sosok mungil Abigail yang tengah mengacungkan kunci rumah milik Eugene dengan senyuman jahilnya yang khas itu.

Eugene membiarkan lelaki mungil berparas manis itu melangkah ke hadapannya untuk memasukkan kunci ke lubang di pintu.

"Sudah saatnya kau mengganti kuncimu dengan pengaman elektronik. Kau tahu, betapa merepotkannya bila benda ini ketinggalan atau hilang?" omel Abigail sambil memutar kenop pintu dan membuka daun pintu lebar-lebar.

Eugene tak mengatakan apapun, hanya diam terpekur di depan pintu seperti orang terkena sirep. Ia bahkan tak menyimak bahkan untuk satu kata pun dari kata-kata yang dilontarkan oleh Abigail.

"Aku memanggilmu dari tadi. Kenapa kau mematung di depan pintu seperti itu? Cepatlah masuk, diluar dingin!" Eugene kembali tersentak saat merasakan tarikan tangan Abigail yang membawanya masuk dan mendudukkannya di sofa ruang tengah.

Abigail kini menatapnya intens. Menempelkan punggung tangannya di dahi Eugene dengan raut serius yang menggemaskan. Lalu kedua telapak tangannya berpindah ke pipi tirus milik Eugene. Kali ini dengan alis yang mengernyit.

"Astaga, apa kau kedinginan? Sebaiknya kau menghangatkan diri, aku akan membuatkan sesuatu yang hangat. Apa kau sudah makan?" Eugene hanya mengangguk pelan dan berlalu ke kamarnya tanpa mengucapkan apa-apa. Semakin menambah dalam kernyitan di kening Abigail atas sikap Eugene padanya.

'Dia sedang sakit atau aku melakukan kesalahan lagi?' pikirnya sambil menyalakan kompor.

Beberapa menit kemudian, Abigail memasuki kamar Eugene dengan segelas susu hangat di tangannya. Laki-laki manis itu menggoyangkan tubuh Eugene dan menyodorkan susu tersebut kepadanya. Eugene menerima gelas tersebut dan meminumnya tanpa sisa, lalu kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

A Simple ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang