"Apa menurutmu aku harus membalasnya? Kira-kira apa yang dia inginkan dari pesan ini?"
Ini masih pagi, tapi pertanyaan itu sanggup membuat wajah Eugene yang kusut menjadi semakin tak enak dilihat. Laki-laki itu hanya mendengus tanpa menggubris peryanyaan tersebut.
Sekali lagi, jangan kira Abigail tak mengerti. Cowok manis itu lebih dari sekedar mengerti arti sikap Eugene yang selalu berubah ketus setiap kali ia bicara tentang Adam. Ya, Adam akhir-akhir ini mulai mengiriminya pesan-pesan singkat lagi. Yang tak sekalipun digubrisnya. Hal itu juga bukan secara gamblang menyatakan bahwa ia benar-benar sudah menghitamkan apapun tentang Adam.
Abigail hanya sedang dalam mode berpikir. Dan jangan salahkan dirinya bila tiba-tiba menjadi begitu cerewet ketika otaknya sedang dipenuhi oleh pertanyaan. Terkadang, menjadi cerewet justru dapat membantunya memecahkan masalah dengan lebih cepat. Karena terkadang di saat pertanyaan-pertanyaan itu diucapkan, dengan ajaibnya otaknya segera menemukan jawaban dari lebih dua sudut pandang. Dan akhirnya membuatnya dapat menarik kesimpulan terbaik.
Dan seharian ini, Abigail tak henti-hentinya merasa gelisah. Bayang-bayang wajah tidur Eugene yang dibasahi airmata, pesan-pesan singkat dari Adam serta pesan singkat dari orangtuanya mengenai kepulangannya ke Darwin lebih kurang seminggu lagi. Belum lagi ditambah dengan sikap Eugene yang terkesan menghindarinya. Aaah, Abigail benar-benar pusing dibuatnya.
Hari itu, sepulang dari kafe tempatnya bekerja, Abigail tak sengaja bertemu dengan Adam. Pertemuan itu cukup mengguncang lelaki manis itu. Tak ada yang dilakukannya selain mematung menatap sosok Adam yang berjarak sekitar sepuluh meter darinya. Dengan mata bulat yang semakin bulat saat Adam datang padanya dalam langkah-langkah lambat. Abigail seketika merasakan napasnya tercekat. Serangan rasa panik itu seakan mencekiknya napasnya.
"Lama tak jumpa, babe!"
Betapa panggilan yang dulu sangat disukai oleh Abigail itu sekarang justru berubah menjijikkan. Mengerikan, karena mengingatkannya pada rasa sakit yang sama, tepat ketika ia dibuang begitu saja oleh laki-laki brengsek di hadapannya ini.
"Miss me, huh?"
Kembali Abigail membisu. Adam semakin dekat dan jarak mereka seakan membunuh Abigail. Mata bulat itu menatap nanar, sementara Adam menatapnya dengan senyum miring yang semakin menambah rasa jijik Abigail.
"I really miss you so badly."
Satu kalimat saja. Setidaknya bila ia memang sepengecut ini untuk balas mencaci, satu kalimat saja harus ia katakan.
"Dan aku tidak. Tidak sekalipun."
Payah memang. Namun setidaknya Abigail sudah mencoba. Jangan lupakan tatapan tajam nan jarang sekali diperlihatkannya itu.
"Kau bohong." Adam masih mencoba.
Sebuah dengusan lolos dari hidung Abigail. Bersama sorot tajam dan sedikit meremehkan dari mata bulat itu. Rasa sakit itu kini mulai mengambil alih.
"Apakah pedulimu bila aku berbohong? Kau bahkan melakukannya lebih dulu, bahkan sampai detik ini!"
"Oho, santai." Abigail hanya memutar bola matanya bosan.
"Ada apa kau kemari?"
"Mengajakmu kencan, mungkin?"
"Kenapa?"
"Karena aku ingin?"
"Kenapa kau ingin?"
"Kau kekasihku, masih kekasihku! Apa yang salah dari hal ini?!"
Abigail tersenyum pahit. Setelah semua yang dilakukannya, lalu sekarang masih sanggup bertanya apa yang salah? Abigail mulai paham sekarang. Ia telah mencintai orang yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Simple Thing
Short StoryBxB content. Short story with no summary. Tinggalkan jika kamu homophobic atau semacamnya.