1
Rumahku lumayan jauh dari stasiun kereta. Setelah turun dari kereta, aku harus naik bus selama satu setengah jam melewati jalan yang naik turun dan berkelok-kelok. Pemandangannya sendiri bagus dan udaranya juga segar sebab pada dasarnya di kanan dan kiri kami itu adalah hutan, meski hutan untuk keperluan industri.
Tapi mengesampingkan hal itu, desa tempatku tinggal tidak berbeda jauh dengan desa di mana Ren-chon tinggal.
Untuku sendiri, sebab aku sudah terbiasa melewati jalannya aku tidak merasakan apa-apa kecuali nostalgia. Kalau untuk Aina, dia sedang berdiri di atas kursinya untuk bisa melihat lebih jelas ke luar dengan muka senang dan kagum layaknya sedang dalam perjalanan sekolah.
Normalnya aku akan menyuruhnya untuk turun, tapi sebab dia memasang ekspresi-ekspresi sangat imut di wajah imutnya. Aku membiarkannya saja. Dia bisa jadi hiburan tersendiri saat aku mulai bosan.
Mungkin sekarang aku agak lebih paham bagaimana orang tua saat melihat anaknya yang sedang senang. Mungkin perasaannya seperti apa yang kurasakan sekarang ketika melihat keimutan Aina.
Sedangkan Qiana.
". . . . . . ."
Dia sedang menunduk dengan muka pucat. Dan aku bahkan bisa dengan jelas melihat kalau dia sedang menahan diri untuk tidak muntah. Lalu aku sendiri, sedang memegang plastik untuk bersiap kalau-kalau dia benar-benar muntah.
Aku ingin mengajaknya bicara, tapi begitu coba kuajak bicara moodnya jadi langsung tambah buruk. Jika harus dibandingkan, mungkin kesensitifitasannya sama dengan kakak perempuanku yang sedang sakit gigi. Oleh sebab itu aku hanya duduk diam di sampingnya.
Setelah kejadian dengan Aina beberapa waktu yang lalu, masalah pakaian Qiana bukan lagi masalah. Aina membawa banyak barang dari rumahnya untuk ditempatkan di ruanganku. Sekarang malah tempat tinggalku jadi kekurangan tempat karena untuk suatu alasan pakaian kedua bersaudara itu malah empat kali lebih banyak daripada pakaianku.
Sekalian pulang, aku juga ingin minta satu atau dua lemari tambahan. Sementara ini, semua pakaianku Qiana keluarkan, dan Aina tata di lantai. Tapi tentu saja hal itu tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Meski saat bangun Aina itu adalah gadis kecil baik yang penurut dan suka kerapihan, tapi saat tidur dia itu seperti pria paruh baya yang sedang mabuk.
Jika kebiasaan buruk tidurnya hanya banyak bergerak saat malam, untuk mengatasinya sangat mudah. Aku tinggal memeluknya dengan erat seperti bantal guling, meski Qiana akan marah kalau aku melakukannya tapi dengan begitu dia tidak bisa bergerak
Dan aku mendapat sebuah bantal guling yang sangat hangat dan lembut.
Dan tolong percaya padaku kalau aku sama sekali tidak berpikir mesum saat berpikir untuk memeluknya. Akan kuakui kalau aku senang mengelus-elus perutnya atau meciumi rambut panjangnya yang tipis. Tapi kesenanganku untuk melakukan kontak fisik dengannya adalah murni hanya karena keimutannya.
Maksudku, dia itu benar-benar semenggemaskan itu. Perasaaanku saat menyentuhnya persis seperti saat ketika aku dulu masih di rumah dan mengelus kucingku. Badannya hangat dan lembut, lalu bulunya di perutnya benar-benar halus, lalu ekspresinya ketika aku mengelus dagunya benar-benar manis.
Meski tidak kelihatan tapi aku ini pecinta kucing. Meski sekarang aku tidak punya kucing lagi dan satu-satunya kucing yang ada di rumah orang tuaku adalah kucing yang cukup berbahaya sampai dengan hanya mendekatinya saja seseorang bisa mati.
Uaa. . . entah kenapa sekarang tiba-tiba aku jadi membayangkan kalau Aina punya kuping dan ekor kucing. Aku jadi ingin mendadaninya seperti itu. Ok, sudah kuputuskan! saat di rumah nanti aku akan bertanya pada ayahku apakah dia punya kostum semacam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
UnMotivated Hero
FantasyDua hari yang lalu seorang gadis datang ke rumahnya dan bilang kalau dia adalah seseorang yang dijadikan jaminan oleh keluarganya. Didatangi gadis cantik harusnya jadi sesuatu yang menyenangkan, tapi sayangnya selain penampilannya pada dasarnya gadi...