Ingin Ditertawai

228 3 0
                                    

April 2007

"Udah, nangisnya?", tanyamu dengan senyum ditahan. Aku mengernyitkan dahi, bisa-bisanya orang ini tertawa saat ada yang menangis.

"Lo tuh kenapa sih, Lih. Gue nangis tuh dihibur kek, beliin eskrim kek, apa kek, ini malah ketawa", aku misuh-misuh di sebelahmu, dengan mata bengkak dan pipi basah.

"Ya abisnya kocak, masa nangis gara-gara cowo?", kau akhirnya melepas gelak tawa di sela pertanyaanmu. Aku berhenti menangis, tapi gantinya malah mengomelimu.

Januari 2008

"Hahahaha Sam, Sam, kenapa sih, ga berubah? Udah gue tinggal jauh ke Surabaya juga masih secengeng ini?", tawamu renyah sekali di ujung telepon. Aku yang sudah mulai terbiasa ditertawai olehmu setiap kali menangis hanya bisa menghela napas.

"Apa gue seburuk itu ya, Lih? Bahkan di saat gue udah berusaha gimana pun, orang-orang tetap ga bisa nerima gue?", sesaat setelah mengatakan ini aku sadar akan segera mendengar kekehanmu lagi. Aku sudah hapal betul alur percakapan kita ini; dimulai dengan aku yg bertanya adakah waktu luangmu, kemudian kau akan menyahut dengan "sini duduk cerita", yang berlanjut dengan ceritaku yang tidak jarang diakhiri oleh sedu sedan, dan akan kau tutup dengan gelak tawa.

"Lo perempuan baik, Sam", suaramu di ujung sana terdengar sedikit serius. "Ga usah dipermasalahin orang bakal baik atau ngga. Saat lo udah tau dia ga bisa ngelakuin hal sesederhana ngomong jujur, itu bukan lo yang salah", ada hening sebentar di antara kita sebelum kau melanjutkan. "Makanya lo kalo ada yang deketin lapor gue dulu lah, biar gue kasih tau dia baik apa ngga. Ntar tau-tau jadian, eh diselingkuhin, jomblo lagi, nangis, ah cupu lo", kali ini aku tertawa, entah kenapa ada perasaan hangat dan merasa terlindungi. Sejak malam itu, rasanya aku sudi ditertawai bagaimana pun asalkan itu olehmu.

Seluas SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang