Antara Samudera, Galih, dan Rinjani

58 3 0
                                    

Maret 2010

Kita kenal tidak cukup lama, Lih. Tidak sampai separuh usiaku apalagi usiamu. Tapi banyak hal yang sudah terjadi. Kau sedang sibuk-sibuknya magang di salah satu perusahaan multinasional, sedangkan aku baru lima bulan belakangan mendapatkan lisensi terbangku. Dunia kita seberbeda itu, namun aku masih suka heran apa yang buat kita bisa terus terhubung tanpa henti sejak SMA? Mungkin bagiku, aku bisa jawab itu, Lih. Tapi aku tidak pernah tahu apa yang ada di kepalamu, apa lagi hatimu.

"Tau gak gue lagi di mana", aku baru saja mendarat saat aku membuka pesan singkat darimu. Tak lama kemudian masuk sebuah foto sosokmu yang berdiri dengan latar ruang tunggu bandar udara tempat aku baru saja mendarat. Hampir aku memekik melihatnya. Buru-buru aku keluar hanggar sambil membalas pesanmu.

"Lo ngapain di sini? Gila apa ya, magang di mana weekend ke mana?", aku menggeleng-gelengkan kepala saat menemuimu di pintu kedatangan, masih dengan seragam pilotku.

"Gue juga pengen kali, sekali-kali disopirin sama seorang Samudera", kau tertawa dengan caramu yang khas. Ah akhirnya, aku punya alasan untuk tersenyum setelah dua penerbangan berturut-turut hari ini. "Gue mau bawa lo ke Rinjani, Sam", ujarmu tiba-tiba.

"Hah? Maksudnya?"

"Besok sampe minggu lo free kan? Gue udah ngecek jadwal lo, lo punya empat hari libur minggu ini dan hari Minggu lo ulang tahun kan? Gue tau lo dari jaman pendidikan udah pengen banget ke Rinjani. Jadi ya mumpung kita di sini kenapa kita ga pesta di alam aja, Sam?"

Rinjani, Maret 2010

"Lih gue seneng banget!", hanya seruan itu yang bisa keluar dari bibirku saat menginjakkan kaki di puncak Rinjani, tepat di usiaku yang ke 20.

"Selamat jadi tua, Sam!", kau pun tersenyum lebar sambil memberikan segelas jahe hangat yang asapnya masih mengepul. "Ulang tahun ke 20 dan masih jomblo?"

Hampir aku tersedak dan membakar tenggorokanku dengan jahe panas ini, kenapa sih, kau sempat-sempatnya meledekku? Tak apalah, paling tidak aku bisa lihat ketawamu. "Gue masih terlalu sibuk buat mikirin itu. Gue masih terlalu sibuk dengan target jam terbang gue, cowo mana yang tahan cuma ketemu sebulan sekali?", ujarku sembari meniup uap yang beterbangan di atas gelas. Kau naif sekali, Galih, kita sedekat nadi tapi kau tidak pernah tau apa-apa tentangku.

"Sibuk terbang itu bukan alasan, Sam. Gue tau kok yang sebenarnya", ujarmu.

Aku terperangah, tapi mencoba tetap tenang sambil menyesap jaheku. "Apa coba alasan yang lebih masuk akal lagi?", tanyaku.

"Khifan ya? Iya kan? Duh, Sam. Mau sampe kapan inget Khifan terus?", aku menghela napas lega, dalam hati. Sejenak aku kira kau benar-benar sudah tau.

"Yah, lo emang ga tau apa-apa soal gue deh kayanya, Lih. Sama sekali bukan Khifan. It's so last year. I stopped talking about him since like...almost two years ago? Ayolah, Khifan cuma cowo brengsek di masa SMA gue yang naif", aku terkekeh. "There's somebody else, for these past few years", kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.

Kau memalingkan muka kepadaku. "Oh ya? Kok gue ga pernah tau? Gue kenal orangnya?", aku malah jadi gelagapan kau todong dengan pertanyaan seperti itu.

Aku menyesap minuman jaheku agak lama sambil berpikir apa yang harus kujawab. "Yah, lo bisa aja sih kenal sama orang itu, sebenernya", jawabku dengan suara pelan. Duh, Lih sejak kapan kau peduli perkara aku jatuh cinta dengan siapa? Semoga kau tidak bertanya lagi, aku akan kerepotan meladeni rasa ingin tahumu.

"Cakep, gak?"

"Hm...cakep mah relatif kali. Kalo menurut gue cakep, menurut lo engga, siapa tahu."

"Yah bukan gue yah berarti? Kalo gue mah pasti cakep, Sam!", kemudian kau tertawa kencang.

Aku mendelik kesal ke arahmu, memang kau orangnya, Galih. Tapi baguslah, kau tidak perlu tau saat ini memang. "Kaya berasa cuma lo aja manusia ganteng di Bumi ini, Lih", aku ikut tertawa jadinya.

"Ada berapa huruf A di namanya?", oh ternyata rasa ingin tahumu masih belum berakhir.

"Lo kenapa jadi sepenasaran ini sih, tumben?"

"Ya karena orangnya bukan Khifan lagi. Jadi gue penasaran. Berapa huruf A di namanya?"

"Hm...lima?", aku menjawab asal, tapi memang di namamu ada lima huruf a, Galih Brahmasatya. Aku tidak berani melihat ke arahmu, kupusatkan pandanganku pada gelas jaheku yang isinya tinggal setengah.

"Huruf I nya?", tanyamu lagi.

"Satu....tunggu ini kenapa jadi tebak-tebakan sih? Ga sekalian lo tanyain A sampe Z sekalian?", kataku agak sewot. Bukannya aku marah, hanya takut ketahuan olehmu.

Kau tergelak di sampingku. "Lima huruf A dan satu huruf I itu bukan Galih Brahmasatya kan?"

Setelah pertanyaan itu terlontarkan, hanya kita, Rinjani, dan semesta yang tahu apa yang kukatakan. Keesokan harinya hingga lima tahun setelahnya aku tidak pernah lagi bertemu denganmu. Kita tidak pernah bertukar kabar. Aku menjauhimu, dan sepertinya kau pun mengerti dan ikut menghilangkan diri dariku.

Bulan Agustus 2011 kau sukses jadi salah satu sarjana terbaik. Sedangkan aku masih di maskapai yang sama, terbang ke banyak tempat, bertemu terlalu banyak orang, sampai-sampai setiap orang yang kutemui pun mengingatkanku tentang kau. Bagaimana hidupmu sekarang Galih?


Seluas SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang