Seluas Samudera

59 5 0
                                    

Desember 2015

Sudah empat bulan Samudera pergi. Tepat satu minggu setelah pernikahan Galih, di pangkuan Ibu, Samudera pergi dengan tenang, tanpa pertanda sedikit pun. Di hari pemakamannya, selain Ibu dan Bapak, Galih adalah orang terakhir yang beranjak dari pemakaman. Tidak seperti lima tahun yang lalu di Rinjani, kali ini benar-benar tidak akan ada Samudera lagi untuk Galih. Sahabatnya itu sudah benar-benar kembali pada Tuhan.

Galih menetap di Surabaya bersama istrinya. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Samudera hingga detik ini, Galih masih bisa merasakan ada lubang menganga lebar di hatinya. Ada perasaan kosong dan nelangsa yang terus-menerus ia sembunyikan di depan semua orang. Walaupun ia sangat yakin ia mencintai istrinya, ternyata baginya Samudera tetaplah Samudera, sosok yang punya ruang sendiri di dalam diri Galih.

'Januari 2016

Galih termenung sambil memegang amplop surat yang kusut itu. Saat ia mengunjungi Samudera tempo hari sebelum hari pernikahannya, Samudera memberikan surat itu, untuk dibaca kapan-kapan, katanya. Galih pun memutuskan untuk tidak langsung membacanya. Entah mengapa ada perasaan gamang yang membuatnya enggan dan takut untuk membuka surat itu.

Tekad Galih telah bulat. Dirobeknya amplop itu dengan hati-hati. Dibukanya lipatan kertas di dalamnya, dan dibacanya lekat-lekat tulisan bertinta hitam itu.

Untuk sahabatku, Galih.

Maafkan aku atas lima tahun yang lalu di Rinjani. Kau sudah berbaik hati merayakan ulang tahunku bersama alam yang sangat kusukai tapi aku malah berbuat demikian. Saat kau membaca ini, mungkin kita sudah di tempat yang sangat berbeda.

Ibu pernah bilang, walaupun aku perempuan tapi beliau bersikeras menamaiku Samudera. Ya, Samudera. Ibu ingin aku menjadi yang luas hatinya, lapang pemikirannya, dan besar jiwanya. Ibu ingin aku jadi seperti Samudera, Lih.

Aku tidak pernah menemuimu lagi, tidak pernah jujur tentang perasaanku, karena aku tau, kau tidak pernah melihatku dengan cara yang sama dengan caraku melihatmu. Maka aku berusaha meluaskan hati dan perasaanku padamu, Lih. Aku berusaha menjadi samudera maha luas yang mencintai bumi.

Lima huruf A dan satu huruf I, masih ingat, kan? Dengan surat ini aku berikan jawaban, ya, jawabannya memang Galih Bramasatya. Maafkan sifat kekanakanku yang langsung marah-marah padamu dan tidak pernah menghubungimu lagi sejak saat itu. Kau pun akhirnya berhenti berusaha menemuiku. Aku maklum, kau pasti kadung kesal padaku. Maaf persahabatan ini kurusak dengan keegoisanku karena menyayangimu.

Terimakasih atas masalah-masalahku yang kau tertawai sejak kita remaja dulu. Aku memang selalu mengomelimu, tapi percayalah perasaanku sangat jauh lebih ringan setelah kau tertawai. Melihatmu tertawa atas masalahku malah memberiku energi positif, membuatku jadi lebih waras dalam menghadapi semuanya.

Terimakasih atas percakapan tengah malam, atau dini hari selepas aku mendarat. Terimakasih sudah menjadi pendukung garda terdepanku, terimakasih atas pelajaran hidup darimu, terimakasih atas cerita cita dan cinta yang pernah kita bagi. Terimakasih sudah menghadiahiku Rinjani lima tahun yang lalu. Terimakasih sudah mengajariku menjadi Samudera yang hatinya seluas samudera.

Dan terimakasih sudah jadi sahabatku.

Semoga segala kebaikan dan cintamu dibalas oleh semesta. Aku tidak pernah berhenti jadi sahabatmu, meski nanti kita akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin bertemu lagi. Tetap jadi Galihku yang dulu, salam untuk Rinjani, bila kapan-kapan kau berkunjung lagi.

P.S: Undangan pernikahanmu sudah kuterima. Aku sedikit lega karena aku pergi saat kau sudah menemukan teman hidupmu, setidaknya kau jadi tidak kesepian. Selamat berbahagia, Galih!

Hasan Sadikin, Bandung, Juli 2015.

Seluas SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang