part V

13K 631 12
                                    

     BUKET mawar putih segar itu tergeletak manis diatas meja kantor Kate, tanpa melihat kartu pengirimnya, Kate bisa menebak dari siapa bunga-bunga yang terangkai indah itu.

     Alih-alih berjalan ke balik meja kantornya, Kate malah menuju ke jendela kaca yang menampakan gedung-gedung bertingkat. Ia berhasil menghindari Dean dan nampaknya sang pewaris punya banyak kesabaran menghadapi penolakan Kate.

     Dean dengan rutin memberikan perhatian dengan setidaknya mengirimkan hadiah-hadiah kecil yang akan dianggap tidak sopan bagi untuk mengembalikannya, ia tidak mungkin mengirim balik secangkir kopi dipagi hari atau semangkuk sup jagung manis saat ia lembur. Ia tidak bisa secara kasar menolaknya, apalagi keluarga Dean dan Dean sendiri termasuk klien penting bagi perusahaan.

     Kate sadar dirinya tidak adil dalam menghadapi Dean, ia bahkan cenderung bersikap acuh tak acuh dengan tidak menelpon atau sekedar mengirim kartu sebagai ucapan terima kasih. Hanya itulah yang bisa dipikirkannya untuk mematahkan semangat Dean, walau ada sebagian kecil hatinya yang tidak setuju dengan tindakannya.

     Harus Kate akui, lelaki itu hampir membuatnya terlena dan ia berpikir bisa membuka hatinya untuk lelaki itu. Kesabaran, keteguhan dan cara lelaki itu mendekatinya membuatnya kagum hingga ia bertemu dengan....

     Interkom berbunyi dan Kate bergegas menerima. "Ada tamu yang mendesak ingin bertemu dengan anda, katanya penting sekali." terdengar suara sekertarisnya seperti kehabisan napas.

     Kening kate berkerut, heran dengan nada suara Bianca yang berbeda dari biasanya selain itu jarang sekali ada yang mendesaknya untuk bertemu. Biasanya Dean akan membuat janji dulu ataupun menunggu dengan sabar diruang tamu yang tidak lagi dilakukannya sejak mereka kembali.

     Berusaha untuk menebak, Kate menyahut singkat. "Biarkan dia masuk."

     Sembari menunggu, Kate duduk dan melihat berkas yang ada diatas meja. Perabotan yang dipesan langsung dari India sudah disetujui dan begitu uang muka ditransfer maka barang akan segera dikirim dan transaksi diselesaikan, segala urusan sudah diselesaikan dan Kate bangga bisa mengubah bangunan tua itu menjadi tempat tinggal cantik dan sesuai dengan selera pemilik rumah yang lebih condong ke selera Kate.

     Begitu pintu terbuka dan merasa yang datang sudah berada dalam ruangan, Kate mengangkat kepala dan bersyukur ia sedang duduk karena tubuhnya langsung lemas melihat sosok lelaki yang berdiri ditengah ruangan dan menatapnya seksama.

     Ruangan terasa menciut dengan hanya menyisahkan Kate dan lelaki bermata elang itu, Kate merasa sesak dan harus mengerahkan segala kekuatan yang ada untuk melalui pertemuan tak terduga itu tanpa kembali membuka luka hatinya.

     "Apa kabar, Kate?" sapaan Sam dengan disertai senyuman yang sangat dikenalnya itu kembali memporak-porandakan Kate. "Bolehkah aku memanggilmu seperti itu?"

     Kate berdoa dalam hati, "Ada urusan penting apa yang membuatmu datang? Aku tidak biasa menerima tamu tanpa janji dulu." suara tenang dan terkesan profesional itu mengagetkan Sam, itu terlihat dari kilatan tidak suka dimatanya. Kate sendiri kaget, ia tidak menyangka dapat berkata seperti itu.

     "Masih menanggapku orang asing, Kate." Itu sebuah pernyataan dan Kate tidak akan menanggapinya.

     "Aku masih banyak pekerjaan dan aku amat sangat menghargai waktu, ada baiknya jika langsung pada titik pembicaraan."

     Sam melangkah mendekat dan tanpa menghiraukan sambutan dingin Kate, ia mengambil tempat duduk didepan meja Kate.

     "Haruskah seperti ini, Kate?" wajah Sam melembut, matanya menyorot sedih. "Tidak bisa memaafkanku?"

Love You MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang