BAB 1 (Who is he?)

69 12 8
                                    




Aku mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan dari pagar lantai atas. Lomba akan dimulai beberapa menit lagi, dan aku ingin melihat upacara pembukaan lomba nasional itu. Sekaligus menghilangkan gerogi.

"Sendirian?"

Aku terkejut. Seorang anak laki-laki ber-almamater hitam yang gagah tiba-tiba terlihat dari sudut mata. Berada hanya tiga langkah di samping kanan.

Aku lekas menengok, sosok tinggi itu tersenyum memandangku. Berjas rapi dan bersepatu hitam, layaknya orator.

"M...maaf siapa ya?" Dengan alis bertaut, aku tergeragap. Wajah itu menatap dan mengulas senyum ramah. Aku seperti pernah melihatnya, tapi... di mana?

"Kayaknya kita pernah ketemu," ujarnya. Sekarang malah ia yang mengernyitkan dahi, mencoba mengingat, begitu pula aku.

Usai berpikir sejenak, ia berseru,

"Oh, ya, aku masih ingat. Kamu ... yang pernah ikut ESC sampai antar kecamatan itu kan? Tahun ... 2012 lalu?" ujarnya, dengan binar mata menebak.

Aku hanya bisa mengangguk heran. Kenapa cowok berkulit putih bersih ini tahu? 2012 itu berarti tiga tahun silam, sudah lama sekali. Dan bahkan kini aku sudah mengenakan putih abu-abu. Apakah memang kami sebelumnya pernah bertemu?

"Dulu, kita sama-sama seruangan lomba." Ia mengulurkan lengan. Seperti sebelumnya, aku pun hanya bisa menjawab uluran tangan hangat itu. "dan Alhamdulillah bisa lanjut tingkat kabupaten. Tapi, aku nggak nemuin kamu lagi di lomba selanjutnya!"

Sekarang, aku benar-benar tak bisa berucap!

Dia ... pernah seruangan lomba denganku? Itu berarti, dulu kami pernah bertemu. Mengapa dia menunggu hingga tingkat kabupaten? Padahal ketika itu, aku gagal mendapat juara pertama, hanya bisa membawa pulang piala dengan angka 2 tertera. Ah, terlalu banyak tanda tanya yang muncul di benak.

Siapa sebenarnya dia?

"Aku ..."

"Hasna! Ternyata kamu di sini!"

Kuhela nafas lega. Raina datang di saat yang tepat, sebelum aku linglung dan salah tingkah.

Napas Raina memburu, bagai habis lolos dari kejaran orang gila. "Dari tadi aku cari-cari, sampe ke toilet, ternyata udah ke ruang lomba dulu... an"

"Hasna, sudah ngasih teks pidatonya belum ke dewan juri? Siap-siap, lomba pidatonya sebentar lagi mulai!"

Aku mengangguk, lantas mengikuti langkah guru pendamping di belakang Raina untuk menyerahkan apa-apa yang diperlukan ke panitia, meninggalkan lelaki itu sendirian. Sebelum benar-benar hilang dari pandangan, aku menengok ke arahnya sekali lagi.

"Ke ... kemana?"

Aku melayangkan pandangan hingga ke sudut lorong. Aneh! Kemana ia sekarang?! Hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Padahal, sepertinya tadi masih ada ketika Pak Dimas muncul di ambang tangga.

Aku menebak-nebak kemana gerangan. Ruangan lomba berada di lorong paling ujung. Oh, mungkin dia masuk ke dalam kembali?

Namun, lamunan itu harus buyar ketika mendengar suara Raina, sehingga aku terkejut dibuatnya.

"HAS! Kenapa sih? Ngelamun gitu?"

"E ... eh, ng ... nggak... Cuma..." kataku, sambil menunjuk arah balkon.

Raina mengerutkan kening. Tapi sama sekali tak mengindahkan ucapanku. Gadis berkerudung putih yang datang sebagai supporter itu lekas menarik lengan menuruni anak-anak tangga.

***

"By the way, tadi pagi sebelum lomba dimulai, kamu ngelihat aku ngobrol sama siapa?"

Perlahan, kuaduk segelas cappucino di kantin sekolah. Menerawang, dan perlahan lekukan senyum lelaki itu terbayang.

"Uhm ... Banyak sih yang aku lihat. Ada Nadia, Evan, Pak Dimas ..."

Lantas, kutendang tulang kering sahabatku pelan. "Bukan itu! Maksudku tadi, pas kamu dan Pak Dimas nyusul aku ke lantai atas!"

"Oh! Itu! Aku sih ..." Raina berhenti sejenak untuk berpikir. "Nggak lihat kamu ngobrol sama siapa-siapa!"

"Bener?"

"Iya! Kamu cuma sendirian kok!"

DEG! Aku tersentak, bagai ada yang memaku tubuhku di kursi, membuat Raina khawatir dan terus memanggil, melihat tiba-tiba tubuhku kaku seketika.

"Hasna! Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku!" seru Raina, mengguncang bahu dengan kencang. "HASNA!"

"Rai, kamu bener nggak lihat aku ngobrol sama siapa-siapa? Bener nggak lihat ada cowok di samping aku pas itu?"

Mungkin ketika itu, sepasang bola mataku yang melebar beberapa inci sukses membuat Raina ketakutan. Ia menggeleng cepat.

"E ...enggak! Hasna, ada apa sih!"

Aku tak langsung menjawab, dan mengulurkan lengan. "Cubit Rai!"

"A...apa?"

"Cubit!" Untuk kesekian kali, Raina menggeleng. Tapi, ia terpaksa mencubit lenganku dengan agak kencang, setelah desakan itu.

"Raina, denger deh, ta...tadi ada cowok di samping aku, pas kamu naik ke lantai atas kok! Masa' nggak lihat?"

"E ... enggak... Tadi tuh kamu perasaan sendirian di lantai atas! Habis itu kita turun, dan papasan sama peserta-peserta lain di tangga!"

Aku menelan ludah. Sebenarnya, Raina yang tak memperhatikan, atau mataku yang salah? Tapi jelas-jelas tadi ada sosok laki-laki tinggi berkulit putih dan beralmamater mengajakku berbicara. Hm... memang aku belum melihatnya sedari lomba berlangsung, karena ruangan putra dan putri dipisah.

Lalu, siapa gerangan pemilik wajah tampan itu?

Bukan manusia? Ah, maksudku, manusia tapi beda dimensi?

TIDAAAK! Tidak mungkin! Kubuang jauh-jauh pikiran itu, dan mencoba mengenyahkannya. Dia pasti manusia sama sepertiku!

***

Pengumuman lomba mungkin masih lama. Para juri harus menilai seluruh peserta, dari lomba English Speech Putra dan Putri, Arab Speech, dan lomba lainnya. Dan ketika itu aku pun ikut sabar menunggu bersama supporter lain.

***

"Jadi ... kesimpulannya ada cowok yang ngajak kamu ngobrol tadi pagi, padahal nggak ada siapa-siapa di sana?"

Aku mengangguk. Tak tahu sih, tapi aku nggak min atau plus kok! Jelas-jelas dia masih ada ketika Raina muncul.

"Berarti, kemungkinan anak itu pergi saat kita sibuk berbicara, atau pas kamu nengok ke arah aku. Bisa juga, kemungkinan besar, dia itu hantu."

Analisis-analisis konyol Raina membuat tamparan pelan di bahunya. "Jangan nakut-nakutin aku dong!"

Gadis itu hanya menyeringai jenaka. "Ih, aku serius! Menurut buku yang aku baca nih ..."

Aku memonyongkan bibir lima senti mendengar penjelasannya. Lagi-lagi tentang buku fiksi yang dia baca! Hfft...

"Atau mungkin ... dia hantu yang naksir kamu!" Perkataan Raina membuatku geram bercampur geli. Ah, sahabatku ini, selalu saja bisa merekahkan senyum orang-orang sekitar dan membuat tertawa terbahak.

***

-TO BE CONTINUED-

N.B. Ini fiksi seluruhnya, dan ada sedikit bagian yang terinspirasi dari kisah nyata.

Dilarang mengutip atau mencuri ide cerita. Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SOSOK PESERTA MISTERIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang