(4) Suicide

742 79 26
                                    


Suatu hari aku pernah bermimpi...
Aku dan dia tinggal bersama, setiap hari menyenangkan karena dia cerewet dan manja. Hari demi hari berlalu, sebuah masalah membuat hubungan kami renggang dan kami saling tak peduli. Aku diam seakan tak peduli, di hari aku ingin mengajak berbaikan, dia justru mengalami kecelakaan dan nyawanya tak tertolong, yang tersisa hanyalah penyesalan karena aku tak bisa melindungi sosok yang kusayangi. Hal paling menakutkan bagiku adalah ketika melihat dia terluka parah dan tak bernyawa, itu adalah mimpi buruk yang sering menghampiriku.
Satu hal yang paling aku ingat adalah kuingat adalah ketika dia mengucapkan
'Hitung mundur sepuluh sampai satu, lalu temukan aku'

Itu hanyalah mimpi... mimpiku tentang kehilanganmu, sebuah mimpi yang membuatku mati-matian melindungimu karena takut mimpi itu menjadi kenyataan.

I Want Hear Our Promise Chapter 4
Cast: Woogyu, Myungso, Sungjong.
Genre: Mistery, Friendship.
Author: Luksa Gyueren.

Cerita sebelumnya.
Woohyun tak sengaja menembak ayah Gyu karena mengira pistol yang dipegangnya adalah mainan, sejak itu Woohyun tak muncul lagi dihadapan Gyu. Belasan tahun berlalu akhirnya mereka kembali dipertemukan, Gyu kini telah jadi seorang CEO dan nyawanya diincar oleh seseorang. Musuh Gyu adalah seorang pria bernama White yang mengaku keluarganya dihancurkan oleh ayah Gyu yang seorang mafia. Woohyun berjanji akan melindungi Gyu sebagai penebusan dosa karena dulu telah membunuh ayahnya Gyu, tanpa ia ketahui bahwa.... dulu ayah Gyu meninggal ditembak orang lain, peluru yang ditembakan Woohyun justru mendarat ke tembok. Kini White berusaha membunuh Gyu, salah satunya dengan memasang bom di sebuah mall yang dikunjungi oleh Gyu.

==Lanjutan chapter 3===

Woohyun menjadi seorang polisi bukan hanya sekedar 'tittle', ia juga punya kemampuan bertahan di atas rata-rata. Hari ini telah terjadi pengeboman di sebuah pusat perbelanjaan, untuk saat ini belum ada informasi resmi tentang berapa korban tewas dan korban luka, orang-orang masih dievakuasi untuk menjauh dari lokasi kejadian.
Gyu ada di lantai atas, ia mencari jimat yang diberikan oleh Woohyun untuknya. Sebenarnya Gyu tak terlalu mempermasalahkan isi jimat karena baginya barang pemberian apapun harus dijaga baik-baik.
Woohyun berlari menaiki eskalator yang sudah mati, ia nyaris terkena reruntuhan tapi berhasil bersembunyi di balik rak, gerak cepat membuatnya terhindar dari masalah serius. Andai geraknya lambat, mungkin ia sudah tertimpa pilar atau mengalami cedera di kaki.
"GYU!" Suara Woohyun terdengar jelas di area lantai tiga. Gyu berdiri tak jauh dari Woohyun, ia tampak kebingungan.
"Woohyun?"
Woohyun mempercepat langkah, nafasnya memburu dan tak beraturan, ia baru bisa lega setelah berdiri di hadapan namja yang dari tadi membuatnya khawatir.
"Apa yang kau lakukan disini!?"
"Jimatnya..."
"Huh?"
"Jimatnya.... hilang." Gyu bicara terbata-bata.
Woohyun tak menyangka Gyu kembali lagi ke dalam mall untuk mencari benda pemberian Woohyun, ternyata Gyu tak secuek yang ia pikirkan.
"Nanti kuberikan yang baru." Kata Woohyun pelan. "Lagipula itu hanya jimat biasa."
"Bukan masalah bendanya apa, tapi kau sudah memberikannya."
"Aku bisa memberikannya lagi, itu tak penting."
"Tak penting?" Gyu mulai salah paham, "Jadi kau memberiku sesuatu yang tak penting?"
"Kenapa kau justru membahas hal seperti itu?" Woohyun menarik tangan Gyu supaya ikut turun bersamanya. "Aku tak akan marah meski kau menghilangkannya."
"Itu benda yang kudapat pertama kali darimu!" Gyu melepas tangannya dari Woohyun. "Mungkin orang lain akan menertawakanku karena meributkan sebuah jimat yang menurutmu tak penting. Tapi bagiku itu penting karena......... kau tak pernah memberikan apapun untukku sebelumnya."
Woohyun teringat lagi mimpinya, bagi dia yang paling penting sekarang adalah nyawa Gyu, sebuah nyawa yang berharga ribuan kali lipat dibanding sebuah jimat kecil.
"Aku tak mau kau meninggal lagi." Woohyun memperkecil suaranya.
"Meninggal lagi?" Gyu bingung, dia kan masih hidup dan sehat. Apa Woohyun sedang mabuk?
"Nyawamu adalah yang terpenting." Ia meyakinkan Gyu untuk segera turun dan melupakan benda pemberian Woohyun yang kini terjatuh entah dimana. "Dibanding semua benda apapun, nyawamu tak tergantikan. Kau mau menuruti ucapanku kan?"
Intonasi suara Woohyun tak setinggi saat ia membentak Gyu barusan, Gyu mengangguk dan mengalah, mereka turun pelan melewati banyak rak berjatuhan, tembok rusak dan pilar yang membuat lantai retak.
Setiap langkahnya Woohyun mengingat kembali mimpi yang sering menghampirinya saat Gyu meninggal karena kecelakaan, ia sangat takut mimpi itu jadi kenyataan, karena itulah ia menggenggam erat tangan Gyu untuk tetap bersamanya.
"Maksudnya apa......." Gyu memberanikan diri bertanya tanpa mengurangi kecepatan langkahnya. "Kenapa kau bilang takut aku meninggal lagi, aku masih hidup dan belum pernah meninggal."
"Aku tahu." Woohyun membalas cepat. "Mungkin aku hanya bermimpi."
Gyu tak mengatakannya pada Woohyun tapi ia juga sempat memimpikan hal serupa saat dirinya mengalami kecelakaan berupa tabrakan, ia mimpi tewas meninggalkan Woohyun, tapi kenapa mereka berdua bisa memimpikan hal sama? Apa ini semacam petunjuk?
Gyu langsung memperhatikan Woohyun dari ujung kaki sampai rambut, syukurlah Woohyun baik-baik saja dan tak mengalami luka saat menjemputnya, White pasti kecewa karena misinya gagal.
Keduanya berhasil keluar dengan selamat, di gerbang depan juga sudah banyak polisi berjajar mengamankan tempat.
Woohyun ingin mengantar Gyu pulang tapi tak bisa karena sebagai polisi ia masih harus bertugas, terutama saat ada keributan seperti ini.
"Aku bisa pulang sendiri." Gyu memilih naik taksi.
"Jaga dirimu baik-baik." Woohyun masih khawatir.
Percakapan mereka terpotong setelah taksi datang, Gyu kembali memasang ekspresi dingin terhadap Woohyun, mungkin karena ia malu sudah membahas masalah jimat. Selama di taksi, ucapan Woohyun terus membuatnya bingung,
'Aku tak mau kau meninggal lagi'
"Memang kapan aku pernah tewas?" Gyu bergumam, ia lalu mengajak supir taksi bicara. "Maaf, menurut anda aku bagaimana?"
"Bagaimana apanya?" supir ikut bingung.
"Apa aku seperti hantu?"
"Apa kau punya uang bayar taksi?" Supir mengalihkan pertanyaan.
"Punya."
"Berarti kau bukan hantu karena hantu tak punya uang untuk bayar taksi."
"Ah, okay." Gyu berhenti berfikir macam-macam. Mungkin Woohyun memang sedang bicara ngawur saja, atau sedang setengah bermimpi.
Jika nanti Gyu bertemu lagi dengan Woohyun, ia wajib menanyakan hal ini sebelum ia jadi hantu penasaran.
Sesampainya di rumah, di gerbang depan ada Myungsoo berdiri sendirian, Myung menghela nafas lega ketika melihat hyungnya turun dari taksi.
"Hyung!"
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku khawatir, ada bom di kota, beritanya ramai di Tv." Myung memegang erat bahu Gyu, memastikan hyungnya baik-baik saja. "Hyung baik-baik saja kan?"
"Iya, tak perlu khawatir."
"Syukurlah- Mamanya hyung pulang besok, tadi ia menelepon."
"Uri eomma?"
"Iya."
Meskipun ibunya Gyu menikah dengan ayahnya Myungsoo, tapi Myungsoo masih segan memanggil ibunya Gyu dengan sebutan 'eomma', ia lebih sering menyebut 'mamanya hyung'. Awalnya Gyu dan Myung juga tidak dekat, tapi mereka lambat laun bisa akrab karena tinggal serumah. Jujur saja berita kedatangan mamanya Gyu adalah sebuah berita kejutan.
***

I Want Hear Our PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang