DUA

103K 1.5K 61
                                    

WARNING. HANYA UNTUK USIA 21++

Telaga mendongak. "Daripada melakukannya sendirian, lebih baik melakukannya denganku. Aku bisa membantumu. Kujamin kepuasan yang kaudapat akan berkali-kali lipat."

Kata-katanya membuatku sangat malu sekaligus takut. Selama ini kami hanya berteman, dan selama ini baik-baik saja. Dia selalu menyukai wanita lain, begitupun aku, menyukai pria lain. Kami tidak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, kali ini jantungku berdetak sangat cepat.

"Tidak, Laga, aku tidak ingin melakukannya tanpa perasaan apa pun."

"Itu tidak perlu, Annie. Kita tidak perlu melakukannya dengan hati. Aku hanya ingin membantumu. Kau tahu istilah sex-friend kan? Tetapi, kita tidak perlu melakukan hubungan intim. Aku hanya akan melakukannya dengan jari-jariku atau mulutku."

Aku bertahan agar tidak tergoda, tetapi Telaga terus-menerus meyakinkanku dengan kata-katanya. Sekelebat bayangan erotis memenuhi otakku, membuat bagian bawah tubuhku kembali basah. Terasa menyiksaku. Saat tengah membayangkannya, aku tidak menyadari celana selutut dan celana dalamku telah teronggok di sekitar mata kakiku. "Jangan, Telaga!"

Terlambat. Kedua tangan pria itu sudah mencengkeram erat bokongku, sementara wajahnya mendekat ke bagian kewanitaanku. Kurasakan sesuatu yang lunak sekaligus kuat menekan-tekan kewanitaanku, awalnya permukaan, lalu menyelinap masuk, meliuk-liuk seraya menekan-tekan bagian dalamku, membuatku membungkuk dan meraih kepala serta bahunya untuk berpegangan.

Tidak pernah merasakan yang seperti ini. Tidak pernah membayangkan yang seperti ini. Aku tidak dapat menggambarkan dengan jelas apa yang srdang kurasakan. Aku hanya bisa berkata bahwa rasanya sangat luar biasa, dan aku tidak ingin ia berhenti. Lidah dan mulutnya bermain di vaginaku, dan kakiku terasa lemas. Tapi, Laga menopangku.

Mataku setengah terpejam, dengan desahan dan erangan yang kini tanpa malu-malu lagi kulontarkan hingga menggema di dalam ruangan penuh buku yang senyap ini.

"Telagaaaa ...!!!!" Kupeluk kepala Telaga dengan erat sementara kepalaku sendiri terdongak ke belakang, dengan bokongku yang bergoyang liar menyambut puncak kenikmatanku. Rasanya aku terbang tinggi sekali, berada di atas awan. Lalu saat terhempas kembali ke tanah, kurasakan jantungku berdetak cepat, membuat napasku terengah-engah. Seluruh tubuhku lemas sekali seolah tak bertulang.

Kini aku berlutut dalam dekapan hangat Telaga.

"Bagaimana rasanya?"

"Aku tidak tahu ...."

"Katakan dengan jujur."

Karena tidak menatap matanya, hanya menatap bagian atas kemejanya yang tidak terkancing, aku menjawab, "Luar biasa."

"Kau mau lagi?"

Saat ini, jujur saja perasaan bersalah dan malu merasuki hatiku, lebih daripada jika aku melakukannya seorang diri. Aku dan Telaga hanya berteman, dan kami bukanlah pasangan kekasih. Jadi, kugelengkan kepalaku. "Cukup sekali ini saja."

Telaga melepaskan dekapannya, lalu mempersilakanku untuk merapikan pakaian. Ia tersenyum. "Kalau begitu, aku tunggu di depan."

Sambil merenung aku mengenakan celana dalam dan celana hitam selututku. Masih memikirkan ucapan Telaga, aku berjalan perlahan menuju meja depan. Mataku memandangi sosoknya yang tengah berdiri bersandar pada meja, dengan tas ransel hijau tua yang sudah tersampir nyaman di punggung tegapnya. Seketika jantungku berdebar hangat.

"Laga," ucapku saat kami tengah berjalan bersisian menelusuri lorong lantai tiga yang hanya mendapat penerangan sekadarnya.

"Ya," sahutnya menoleh.

"Kurasa ... aku mau melakukannya lagi, aku menginginkan hal tadi."

Tiba-tiba pria itu tertawa pelan. "Aku senang mendengarnya."

"Ha-hanya sampai salah satu dari kita mendapatkan pasangan, tidak apa-apa kan?" ucapku setelah mengumpulkan semua keberanianku.

Telaga merangkul bahuku. "Ya, Annie."

Lalu lamunanku buyar karena pria bermata hijau pemilik rahang kokoh ini menggebrak meja peminjaman atau meja sirkulasi perpustakaan. Aku menatap gugup pada Telaga dan menyapanya, "Se-selamat sore."

Telaga, salah satu mahasiswa di kampus ini berdiri menjulang di hadapanku. Matanya menyipit sementara sebelah alisnya terangkat. "Sudah menjelang malam, Bu Annie, jangan terlalu sering melamun. Nanti kalau kemasukan makhluk halus yang lewat, bisa gawat kan. Terlebih lagi ... jam-jam segini perpustakaan juga cukup sepi kan."

Aku menunduk tersipu seraya menaikkan kacamataku yang melorot.

"Aku pinjam ini." Pria bertubuh altelis itu meletakkan sebuah buku kumpulan puisi di hadapanku. "Lumayan untuk merayu para wanita yang kuincar." Ia mengedipkan mata kanannya.

Aku tersenyum lalu lalu mencatat buku yang ia pinjam. Setelah itu ia berpamitan.

Kuhela napas berat lalu bertopang dagu. "Beginilah nasib wanita introvert sepertiku yang tidak laku," keluhku seraya kembali melamun, "sudah mau tiga puluh tiga tapi belum pernah sekalipun memiliki pacar, apalagi berciuman dan bercinta! Kurasa ini gara-gara aku menolak lamaran kakak kelasku beberapa tahun yang lalu. Nasib oh nasib!"

*END*

KEGIATAN RAHASIA DI PERPUSTAKAANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang