1

18 3 0
                                    

"Ta, kamu sedang apa? Ohh kebiasanmu ya" Mama datang dari dapur sembari menbawa limun dan beberapa brownies.

"Ma, apa aku bisa ketemu lagi sama Nathan?" Tanyaku masih menatap jendela, menatap rintik hujan yang membasahi kaca jendela.

"Nathan terus yang kamu pikirin Ta, apa gak ada cowo lain di dunia ini?, sini duduk sama Mama"

Aku mengiyakan ajakan Mama untuk duduk di sampingnya, aku mulai bercerita dengannya sampai akhirnya Bang Vero datang.

"Ah Mama, kaya gatau anak gadisnya aja. Dia kan anaknya dramatis gitu Ma suka galau-galauan bahkan buat move on aja susah" deg! Kata-kata Bang Vero barusan cukup membuat hatiku tergetar.

"Apaansi Bang, gak lucu tau!" Tegasku sambil menolak menatap matanya.

"Tuh Ma, liat pasti sekarang yang ada di pikiran dia itu cuma Nathan!" Lagi-lagi Bang Vero membuatku ingin menumpahkan limun ini di wajahnya yang ya, lumayan tampan?.

"Udah udah kalian udah gede masih aja suka ribut, Mama mau lanjutin masak dulu" Mama pun pergi meninggalkanku dan Bang Vero di ruang keluarga.

Papaku memang jarang di rumah, dia seseorang yang workholic. Papa selalu menghabiskan sorenya di kantor, paling-paling saat aku sudah tidur nanti dia baru sampai di rumah dan pergi lagi sebelum aku duduk di meja makan. Hari-hariku tanpa melihat sosok ayah sudah biasa, toh setiap akhir pekan Papa tetap bisa bertemu keluarga walaupun banyak sekali klien yang menghubunginya.

***

Meja bernomor 16 di kafe ini seperti sudah menjadi punyaku. Ini adalah tempat ternyaman bagiku walau aku hanya sendiri. Sepulang sekolah tadi aku menyempatkan diri untuk mampir menyesap vanilla latte di kafe ini. Sejak dulu, aku memang sudah sering kesini bahkan pelayannya sudah hafal apa yang aku pesan bahkan namaku. Iya kafe ini, selalu aku datangi bersama Nathan. Sampai suatu ketika Nathan tidak datang bersamaku ke ke kafe ini, pelayan yang sudah hafal dengan kami pun bertanya

"Lah, gak bareng Nathan?"
"Berantem ya sama Nathan?"
"Kok sendiri terus kesininya Ta? Nathan mana?"

Dan pertanyaan itu semua hanya aku balas dengan senyum. Senyum yang dipaksakan. Senyum getir yang membuat dadaku sesak. Ah, apa benar kata Bang Vero kalau aku ini terlalu dramatis? Terlalu berlebihan? Ah iya Bang Vero!. Aku belum memberitaunya kalau aku ada di kafe ini.

Renata Ayudia: Bang aku ada di kafe biasa. Jangan jemput, nanti aku pake taxi aja.

Vero Nugraha: Kalau nyokap nanya gimana Ta? Lo sendiri kan disitu?

Renata Ayudia: Bilang aja gue lagi butuh waktu sendiri, nyokap bakal ngerti kok.

Vero Nugraha: Yaudah si, tapi gue saranin lo jangan terlalu larut dalam kesedihan ya, haha.

"Apaansi garing banget, untung abang gue lu" Aku bergumam sendiri sembari meletakkan handphone ku lagi.

Aku menatap ke arah jendela, melihat jalanan yang dipadati manusia. Padahal kota ini ramai, tapi kenapa aku selalu merasakan sepi?. Semenjak Nathan meninggalkan aku, hidupku menjadi sepi. Sepi karena kamu Nath batinku lirih.

Aku tau Nathan tak benar-benar pergi, dia akan kembali saat dunia sudah tak membenci kami lagi. Dia hanya perlu waktu satu tahun lagi untuk menepati itu. Di umur 17 nanti, Nathan janji akan menemuiku. Mengapa harus 17? Sampai saat ini aku juga belum tau apa alasannya.

"Tata, kamu lucu kalau bibirnya di monyongin gitu! Hahahaha" tawa Nathan sambil mencubit pipiku.
"Ih Nathan, kamu jahat!" Aku pura-pura marah padannya.
"Iya aku memang jahat ke banyak orang, tapi ke kamu gak bisa Ta,hehe" deretan gigi putih Nathan membuatku gemas.
Kami berlari di taman belakang rumahku, kami sering main kesini. Bahkan ada rumah pohonnya, aku suka menunggu hujan reda bersama Nathan di rumah pohon itu.
"Nathan, aku capek. Kita udahan aja ya larinya" aku mulai duduk di bangku taman yang dibuat untuk bersantai itu.
Nathan duduk di sebelaku, "Kamu baru dikejar aku aja udah capek, apalagi dikejar kenyataan?"
"Kenyataan? Apa maksud kamu?"
"Tata, suatu saat nanti kamu pasti bakalan gak kuat sama kenyataan. Makanya kamu harus lari, yang kenceng. Lari dari kenyataan" jelas Nathan.
"Aku masih gak ngerti Nath, hehe" lagi-lagi Nathan mencubit pipiku.

Aku tersadar dari lamunanku, senja semakin dekat. Aku harus segera pulang, takut Mama khawatir denganku. Sepanjang perjalanan pulang aku kembali mengingat masa-masa bersama Nathan. Nath, aku udah ngerti sekarang lari dari kenyataan itu apa. Dan seperti yang kamu bilang, aku terlalu payah dalam hal olahraga, apalagi lari. Aku udah capek lari, lari dari kenyataan. Tapi aku juga capek nerima kenyataan.


Maaf banget kalo kata-katanya selebay yang kalian baca wkwk tapi ya emang gitu, tokoh Renata nya emang dibuat sengaja susah move on gitu kayak author, eh:v
Tinggalin komentar sama vote kalian ya biar aku juga semangat nulisnya!

Petrichor In 11:11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang