Yang Terbuang

152 16 1
                                    

Tuhan,
Bila jemari rapuhku ini hendak berimajinasi,
Kumohon biarkanlah ia mengukir senja demi senja itu kembali.

Tuhan,
Bila ayal ini sudah hilang,
Mengapung jauh ke samudera,
Menenggelamkan asa yang telah mati.
Kumohon,
Biarkan diriku ikut tenggelam bersamanya
Ke palung emosi terapuh sekalipun.

Jika semuanya telah hilang,
Jika semuanya telah pergi,
Ke mana lagi aku harus mencari sandaran?

Jika semua rasa telah tenggelam mati,
Apa gunanya lembaran-lembaran kuning memori yang telah kita patri?
Apa gunanya senja-senja yang dahulu kita isi?

Memang, perkataan kau di depan dua cangkir kopi ada benarnya.
Emosi adalah benda mati, yang membelenggunya adalah dirimu sendiri.
Yang menjebakmu untuk jatuh kepadanya adalah dirimu sendiri.

Relung hatimu ibarat sebuah perahu yang kau biarkan kosong, menunggu tumpahan air-air ekspresi untuk memenuhinya.
Terkadang, kau luput dengan bagaimana air-air itu memenuhi seka perahu kosong milikmu.

Air-air bah itu, mengisi hingga ke sekat paling tersembunyi, yang bahkan belum pernah sekalipun mencicipi air.
Kau biarkan dirimu yang belum pernah menyentuh rasa untuk tenggelam lebih jauh.

Adalah Rindu, yang membuatmu terkadang lupa untuk apa Tuhan memberikan semua emosi itu.
Kau biarkan rindu itu menyesaki rongga-rongga dirimu, membiarkan dirimu mati kehabisan nafas rasa.

Ayolah,
Tuhan memberikan semua emosi agar hidupmu lebih warna,
Agar kau selalu mengingat bahwa Dia-lah yang telah memberikan semua kebahagiaan yang patut untuk disyukuri.

Bukan untuk membiarkan duniamu berhenti hanya karena emosi yang abstrak.

Satu hal yang mungkin kau lupakan dari dunia ini adalah logika.
Logika-lah yang harus bertindak ketika emosi itu telah melampaui batas.
Kebahagiaanmu bersumber dari-Nya, bukan dia yang kau rindukan.

Suatu hari di bawah senja,
Kupersembahkan untuk kalian--remaja tanggung yang terkadang lupa.

GapaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang