WHO ARE YOU?

181 55 114
                                    

"Jadi, aku simpulkan, namaku Evelyne...Evelyne Wilson."

"Ya."

"Aku istri dari Ben Wilson, yang mana itu adalah kau sendiri."

"Ya."

"Aku seorang akuntan di sebuah perusahaan di tengah kota."

"Ya."

"Hobiku memasak dan berkebun."

"Ehem..." Diikuti tawa kecil Ben.

"Kenapa kau tertawa? Apa ada sesuatu yang salah?"

"Tidak, tidak, semua benar, hanya ada yang perlu ditambahkan saja, jangan lupakan tentang masakanmu yang selalu berakhir dengan terlalu asin atau malah kau lupa menaruh garam di dalamnya," ujarnya diikuti tawa yang semakin keras.

"Apakah seburuk itu?" tanyaku serius. Melihat wajah seriusku, tawanya malah makin menjadi-jadi.

Aku merubah raut wajahku dari serius menjadi kesal. Melihat perubahan raut wajahku itu Ben menghentikan tawanya, mencoba meraih pergelangan tanganku, dan menggengamnya.

"Apapun yang kau lakukan, selalu indah. Apapun itu. Bagaimana pun rasa masakanmu, aku janji akan terus memakannya, bahkan jika aku sudah sangat kenyang," ujarnya sembari menatapku, tatapan yang begitu tulus, tatapan cinta yang tulus.

"Apa selalu seperti ini?" tanyaku memecah suasana canggung ini, ya mungkin hanya aku yang canggung, karena dia terlihat biasa saja.

"Apanya?" tanyanya.

"Lupakan!" Aku kembali memfokuskan diriku dan menarik perlahan tanganku yang tadi Ia genggam, "Kita lanjutkan, oke?" aku memberinya senyum yang terkesan menambah kecanggungan perbuatanku tadi.

"Baiklah," jawabnya santai, seakan dia mengerti kenapa aku masih bersikap menjaga jarak padanya.

"Kita tinggal di daerah pinggiran kota, walau agak menyusahkan untuk pulang pergi menuju kantor dan rumah, terlalu jauh. Kita harus berangkat pagi-pagi sekali dan tiba saat matahari sudah terbenam. Namun kita memilih rumah tersebut karena impianku adalah memilih rumah dengan halaman yang luas untuk bisa..."

"Berkebun," ujarnya melengkapi kata-kataku seraya mengangguk.

"lalu?"

"Lalu apa?" tanya nya balik.

"Apa lagi, maksudku, hal lain yang bisa kau ceritakan padaku, tentangku. Mungkin kalau kau bisa menceritakan lebih, aku bisa, mungkin...mulai mengingat kembali."

"Eve," ujarnya pelan, "Dokter bilang tidak usah terburu-buru. Kita santai saja. Penyakitmu ini ada diingatan. Sebaiknya jangan membebani pikiranmu dengan semua ingatan yang berlebihan untuk orang yang baru sadar dari koma," Ben menatapku dengan tatapan andalannya, tatapan yang seolah menggambarkan kalau dia memang tulus mencintaiku.

Aku terdiam, tidak berani menatap balik tatapannya itu, hanya menatap kosong ke arah lutut yang kini tertekuk dan dipeluk dengan kedua tanganku, ya kini aku sudah bisa duduk, tidak terbaring lagi. Aku rasa tubuhku butuh banyak pergerakan. Tidur selama hampir empat bulan membuat tubuh ini kaku seperti es.

"Kalau begitu, bisakah kita keluar, maksudku, aku bosan disini," ujarku memelas.

"Tapi kau butuh banyak istirahat. Kau baru saja sadar dari ko...."

"Aku sudah tidur selama empat bulan, Ben. Aku rasa yang kubutuhkan adalah udara segar," Semoga dia mengerti maksud kata-kataku, ternyata tidur selama empat bulan bukan hanya membuat sendi-sendiku kaku, cara menyatakan apa yang ingin kumaksud pun kelihatan seperti ratu es, dingin.

beLIEveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang