WHAT ARE YOU THINKING?

98 36 53
                                    

"Kau yakin kau tidak apa-apa, Eve?" pertanyaan itu sudah kudengar lebih dari sepuluh kali, kurasa ini adalah yang ke sebelas kalinya.

"Aku sudah baikan, Ben."

"Bagaimana dengan sakit di kepalamu? Apa sudah..."

"Aku bilang , aku sudah baikan, Ben! Tolong jangan tanyakan pertanyaan yang sama terus-menerus seperti ini!"
Aku menambahkan nada kesal di akhir kalimatku.

Kesalku bukan hanya pada Ben dan pertanyaan menyebalkannya itu. Aku juga kesal karena kehilangan kontak dengan suara aneh di kepalaku. Bagaimana caranya aku bisa menghubunginya lagi. Suara itu tampak tahu segalanya tentangku. Aku pun yakin begitu. Lagipula, kenapa suara itu menyuruhku untuk tidak bercerita apa yang kuingat kepada Ben. Siapa yang harus kupercaya.

"Eve, maafkan sikapku. Aku hanya khawatir kepadamu. Sudah empat bulan kau tak sadarkan diri, dan aku tak mau kehilanganmu lagi," suara Ben bergetar, menahan kesedihan, seakan kata-katanya tentang takut kehilanganku benar adanya.

Aku menoleh ke arahnya, dalam raut wajah yang sedih itu, dia masih bisa melemparkan senyumnya. Oh Ben, apa kau sengaja menarik ulur perasaanku. Semenit yang lalu, aku masih mencurigaimu dengan sangat, namun sekarang kau berhasil membuat kecurigaanku hilang tanpa bekas dengan senyuman tulusmu itu.

"Aku sudah tidak apa-apa, Ben. Percayalah," Aku membalas senyumannya. "Sekarang lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita. Aku sudah tidak sabar melihat bagaimana rumah favoritku," ucapku di akhiri senyum tipis.

Ben hanya mengangguk menandakan ia setuju dengan perkataanku, dan melanjutkan perjalanan kami yang tadi sempat terhenti.

***

"Itu dia, yang berwarna oranye," Ben menunjuk sebuah rumah yang menurutku sangat luas untuk keluarga kecil seperti Ben, Aku dan Rose, anak kami.

Rose! aku hampir melupakan dia, ya walaupun kenyataannya aku bahkan tak ingat sama sekali tentang siapa si Rose itu.

Halaman rumah itu juga begitu luas, seperti yang Ben katakan saat di rumah sakit. Setidaknya sampai titik ini, semua dugaan negatifku tentang Ben belum satupun terbukti. Mungkin semua pikiran aneh itu hanyalah dampak dari penyakit yang sedang kualami sekarang. Aku menjadi semakin banyak berhalusinasi tentang yang tidak-tidak.

Tapi, tentang suara itu?

"Eve, kita sudah sampai!" suara Ben memecah lamunanku.

"Oh, ya ampun, maafkan aku Ben. Apa aku kembali melamun?"

"Kau hanya keasyikan melihat semua tanaman kesukaanmu, sampai panggilan keempatku lah yang baru kau dengar," tawa khas Ben kembali terdengar.

Aku hanya meliriknya dengan gelak tawa yang kucoba untuk tahan. Hanya senyuman simpul yang kutunjukan pada Ben. Sikap humoris Ben kini bisa membuatku ikut tertawa juga, walau aku tidak mau terlalu memperlihatkannya pada Ben. Aku masih tetap ingin menjaga jarak dengannya. Ya, sampai aku tahu kenyataan yang sebenarnya.

Aku keluar dari mobil Ben, memandang sekeliling area rumah kami. Begitu luas dan udaranya... Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya, sangat segar.
Baru kusadari, rumah kami adalah satu-satunya rumah di jalan ini. Kiri-kanan rumah kami hanyalah pepohonan yang menjulang tinggi. Tidak satupun terdapat rumah tetangga. Mungkin daerah ini benar-benar di pinggiran kota dan hanya ada satu dua tetangga dengan jarak yang cukup jauh dari satu rumah ke rumah lainnya.

Ben membuka pintu rumah kami, sedikit kesulitan dalam memilih kunci mana yang tepat, ada begitu banyak kunci bercampur dalam satu gantungan. Setelah pintu terbuka, Ben mempersilahkanku masuk. "Rumah yang indah," batinku.

beLIEveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang