WHO IS HE?

92 29 42
                                    

"Kau begitu cantik, Eve," rayu Ben. "Walau kau masih belum mengingat tentang beberapa hal, tapi aku sangat senang kau bisa tahu bahwa gaun yang kau kenakan itu adalah gaun yang paling kau suka," lanjut Ben.

Aku benar-benar tersipu malu. Rona merah jambu pasti sudah muncul di pipiku sekarang. Namun aku masih menjaga sikap. Aku tidak mau Ben mengetahui hatiku yang mulai melunak padanya.

"Kau juga terlihat berbeda hari ini ... Lebih berwibawa," Aku sama sekali tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk memujinya. Semoga kata-kataku tadi tidak terdengar aneh di telinganya.

Namun apa yang aku katakan kepada Ben adalah sebuah kejujuran. Dia memang sangat gagah, terlihat berwibawa dengan pakaian formalnya. Ben yang selama ini aku kenal, walau baru beberapa hari ini aku mengenalnya, selalu menggunakan kaos warna hitam dan celana hitam. Ben dalam pakaian formal seperti ini membuatku semakin ... Menyukainya.

"Terima kasih Eve. Aku sangat senang mendengar pujianmu. Kau benar-benar sudah kembali menjadi Eveku," Ben menatapku dengan genit, aku malah menjadi semakin salah tingkah. "Walau setiap detiknya kau memang Eveku," tambah Ben yang membuat jantungku makin berdegup kencang.

Ayolah Eve, itu hanya rayuan biasa. Bisa saja Ben hanya bercanda dengan menggodamu seperti itu. Tapi kenapa kau malah terbawa suasana dan malah menyikapi semua ini dengan serius?

"Permisi, Tuan Wilson. Meja yang anda pesan masih ada di dalam daftar tunggu, masih ada beberap meja lagi setelah itu Tuan Wilson dan Nyonya baru bisa mendapatkan meja. Apakah Tuan Wilson masih ingin memesan atau membatalkannya?" Seorang pelayan wanita muda mendatangi kami saat kami baru tiba di restoran yang Ben sebut sebagai restoran kenangan kami berdua.

"Berapa meja lagi kami harus menunggu? Aku tidak ingin mengecewakan ratuku untuk menunggu terlalu lama," ujar Ben diiringi lelucon andalannya. Aku tahu di dalam lelucon itu, Ben menyelipkan rayuan untukku. Namun aku pura-pura tidak mendengar bagian rayuannya itu.

"Sekitar tiga meja lagi, tuan."

"Bagaimana Eve? Apa kau masih ingin makan di sini dan menunggu, atau kita cari tempat lain?" tanya Ben.

Sejujurnya aku mulai merasa lapar, siang tadi aku hanya memakan sedikit kentang tumbuk dan beberapa sosis. Tapi aku bisa melihat keinginan kuat Ben untuk bisa makan di sini, di tempat yang punya banyak memori penting dan berkesan bagi Ben tentang kami.

"Aku masih bisa menunggu, Ben. Aku belum terlalu lapar sekarang," aku memberikannya senyuman tulus namun kenyataan yang tidak benar. Rasa lapar di perutku semakin menjadi-jadi dan aku harus bersikap setenang mungkin.

Ben membalas senyumku, lalu melanjutkan pembicaraan dengan pelayan wanita tadi. Pembicaraan mereka selesai dan pelayan wanita tadi mempersilahkan kami untuk menunggu di sebuah bar kecil.

Baru saja sampai di bar kecil yang ditunjukan oleh pelayan wanita itu, dering telepon genggam Ben berbunyi. Ben merogoh saku kiri celananya dan mendapatkan barang yang ia cari. Raut wajah Ben berubah serius saat ia mulai berbicara dengan lawan bicaranya itu.

Ben menutup sambungan teleponnya. Oh tidak, raut wajah itu. Raut wajah yang selalu Ben tunjukan saat ia ingin meminta izin untuk pergi meninggalkanku.

"Aku tahu Ben," Aku langsung berbicara sebelum Ben memulainya. Lagipula aku sudah tahu apa yang akan Ben katakan.

"Apa kau yakin kau mau menunggu? Atau bagaimana kalau aku mengantarmu pulang saja lalu aku mengurus urusa..."

"Tidak apa-apa Ben, aku menunggumu saja, tidak akan lama juga, kan?" ujarku sembari memberikannya senyuman terbaikku.

"Hanya setengah jam. Jika kau benar-benar ingin menunggu...." Ben menatapku, "Eve, benar kau tidak keberatan?" Ben masih belum yakin akan sikapku.

"Iya Ben, apalah artinya aku menunggu tiga puluh menit sementara kau sudah menghabiskan waktu empat bulan menungguku terbangun," aku mencoba melemparkan lelucon yang pasti sangat konyol untuk didengar di saat seperti ini.

beLIEveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang