Satu

627 83 19
                                    

Park Sooyoung POV

Aku berjalan tersaruk-saruk seraya menyeret koper besarku, sambil sesekali mengelap keringat yang mengucur deras dipelipisku.

Aku terus mendumel sepanjang jalan, mengutuk sifatku yang terlalu polos hingga lebih cocok disebut bodoh.

Aku baru datang satu jam yang lalu dari Jeju dijemput oleh Eunkwang, sepupuku yang lebih cocok disebut licik daripada pintar.

Seusai mengantarku hingga halte bus yang katanya tidak jauh dengan kost baru yang akan aku tempati, dia pamit pergi dengan alasan ada mata kuliah berat dan dia tidak bisa meninggalkannya.

Aku yang lugu manut-manut saja karena alasannya terdengar cukup masuk akal karena dia sudah semester tujuh sekarang, apalagi dia juga telah memberi petunjuk lokasi kostku itu.

Akan tetapi, saat aku mengecek media sosialku dengan niat hendak memberi kabar pada teman-teman SMA ku bahwa aku telah tiba di Seoul –Ibu kota negeri ini, aku malah menjumpai wajah Seo Eunkwang diberanda twitterku sedang merangkul mesra seorang bocah SMA.

Aku mendengus, mengeluarkan seluruh sumpah serapah dari mulutku yang manis ini, tidak pernah aku menyumpah lebih dari 10 kali dalam setahun, namun tampaknya aku akan menambah koleksi omongan kasarku sejak tiba di Seoul.

Masih tersaruk, aku meronggoh saku dress merah jambuku yang penuh motif bunga kecil-kecil, melirik secarik kertas yang ditinggalkan Eunkwang,

Unit 705 Myeongnyun Dong, Jongno-gu.

Aku melihat flat-flat kecil penuh dengan angka disekitar sini, beberapa menit lalu aku melihat angka 702, lalu selang tiga detik aku melihat bangunan dengan 704 dan disebelahnya terdapat bangunan dengan nomor 706.

Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, aku linglung seperti orang dungu.

Sinar matahari kota seoul sangat terik hari ini, kulitku yang putih pucat akan terbakar sebentar lagi.

Aku menunduk hendak mengambil sesuatu dari tas selempangku yang sedari tadi kulilitkan secara asal, aku mengambil payung lipat berwarna biru dengan motif lipstick yang banyak. Kutekan besi kecil pada tongkat payung, dengan segera payungnya membentang.

Aku berhenti sejenak untuk berteduh, sedikit kesulitan membawa barang-barangku.

Tangan kiriku sibuk menyeret koper besar berwarna merah jambu, pundakku juga sedang bekerja keras dengan ransel besar, tas selempangku yang berukuran sedang menggelayut manja di bahu kananku, sedangkan jari-jari tangan kananku yang cantik memegang payung, tinggal meneriakkan “anting-anting”, maka aku akan sama persis dengan tukang anting yang sering lewat depan rumahku, menawarkan jasa pembetulan anting atau perhiasan lain yang rusak.

Seorang laki-laki yang sepertinya berumur satu atau dua tahun lebih tua dariku lewat sambil menenteng buku besar, Hukum Perdata, judulnya tercetak tebal.

Lelaki itu memiliki gaya rambut longer natural hair slick pomp yang sangat menawan, rambutnya pun dicat keabu-abuan. Kulitnya sangat pucat mirip denganku dengan raut wajah yang tidak cukup bersahabat.

Aku memberanikan diri mendekat padanya hendak menanya lokasi kost ku, siapa tahu dia bisa membantu, karena jika dilihat dari penampilannya dia tampak seperti seorang mahasiswa.

UNIT 705 (Sungjoy) Slow UpdateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang